A Strange Little Thing Callled Love

Ruang dan waktu adalah dua dimensi yang selalu membawa manusia pada pertemuan—disengaja ataupun tidak. Manusia bisa berencana—membuat janji untuk bertemu dengan siapa pun, tetapi tak dapat menduga adanya pertemuan lain yang mungkin hadir, termasuk cinta.

Bisakah kamu menebak pertemuanmu dengan cinta?

Winston Groom menuliskan hal ini melalui beragam pertemuan yang dialami Forrest Gump. Pertemuan dengan Jenny saat kecil menggiringnya pada pertemuan-pertemuan aneh yang mengubah hidupnya. Sepintas, serupa yang dialami Yuki dan Tama. Mereka seperti diatur oleh sang Penulis agar bertemu dalam sebuah acara. Duduk di meja yang sama, tetapi seperti terhalang oleh sebuah tembok. Mereka, tentu saja, tak tahu bahwa pertemuan itu adalah sebuah awal dari pertemuan-pertemuan sebelumnya yang tak mereka sadari.

Cinta, pun bagaimana, adalah bakat alami. Engkau lahir sepaket dengannya, dengan pemahaman akan cinta, atau tanpanya. Begitu kata Gabriel García Márquez, dan Yuki memilih yang pertama. Apalagi yang bisa ia ragukan dari seorang tukang cerita yang membuatnya terlena dengan perjalanan cinta ketika kolera mewabah di Kolombia. Mungkin cinta pun ada samanya dengan kolera, membuat perutmu bagaikan diterjang badai di tengah laut. Dan mimpi-mimpi buruk yang dialaminya di masa lalu adalah sebuah jawaban baginya, bahwa ia belum saatnya menemukan cinta. 

Tama, di sisi lain, berkutat dengan perasaannya. Dan pada hari-hari berikutnya, ia bagaikan seorang filsuf yang selalu mencoba mempertanyakan segala hal untuk meyakinkan diri. Ia mulai memandang-mandangi tembok dengan pikiran aneh, ia mulai berandai-andai bahwa itu histeria semata. Ataukah cinta? Ia belum yakin betul. Ia mengutuk Milan Kundera untuk hal itu, yang membuatnya sulit terjaga tiap malam.

Cinta itu aneh.

Milan Kundera rupa-rupanya ahli betul tentang hal-hal yang aneh. Semenjak pertemuan di POST satu tahun lalu, dari gurauan seorang kawan, Yuki dan Tama mulai menyusuri jejak renjana di antara kenangan-kenangan itu. Pertemuan pada akhirnya memang selalu menerbitkan kenangan. Baik atau buruk. Kenangan, menjadikan kita “ada” pada kehidupan orang lain.

Tak heran, Kafka Tamura pun serius betul mengatakan kepada perempuan aneh yang dicintainya bahwa apabila engkau mengingatku, aku tak peduli andaikan dunia sebaliknya. Yuki dan Tama pun bertanya-tanya apakah mereka merasakan hal yang sama.

Pun, cinta tak selamanya indah, seperti tragedi Hanna Schmitz dan Michael Berg dalam The Reader. Yang hingga kini membuat Yuki sesak mengingatnya. Terkadang hati mudah lengah, lalu terluka. Cinta pun menjadi semakin rumit seperti kisah Snow Country. Dan saat itu terjadi, kenangan sering kali ingin disudahi. Joel dan Clementine, dengan perseteruan demi perseteruan, memutuskan untuk menghapus kenangan satu sama lain.

Lalu, apa yang tersisa dari cinta ketika kenangan sudah alpa?

Selalu ada cahaya bagi yang alpa. Selalu ada matahari yang akan menyinari jiwa yang bersih, begitu kata Christopher Grau. Yuki dan Tama pun tak perlu repot menemui cenayang, apalagi sampai terbang ke Paris demi berkonsultasi dengan psikiater ternama bernama Hector. Seperti yang pernah diungkapkan pria mungil berkaca mata itu, “Terkadang kita selalu bertengkar dengan orang yang paling kita cintai.”

Maka, bukankah perselisihan adalah sepele semata, lumrah saja bagi kekasih. Dan lagi-lagi, cinta adalah ketika kau tersenyum melihat pasanganmu. Paling tidak itulah yang hingga kini membuat Yuki dan Tama bertahan, menanti senyum pada wajah masing-masing.

Only the happy ones return to contentment. Those who were sad return to despair.

Pada akhirnya, mereka memilih untuk berbahagia. Berbagi kehangatan. Inilah yang Yuki dan Tama lakukan hari ini. Mencoba menyatukan jalinan kenangan yang terurai melalui dua belas cerita cinta aneh dari buku-buku yang mereka pilih. Merayakan momentum dua belas bulan pertemuan di tempat ini. Mereka pulang dengan berlembar-lembar potret yang membingkai kenangan mereka. Seperti Oliver Tate dalam Submarine, Yuki dan Tama ingin menyampaikan hal serupa: I took a photo of us, mid-embrace. When I am old and alone I will remember that I once held something truly beautiful.

IMG_8603

 

Penuh cinta,

 

Yuki no Tama

 

P.S. Terima kasih banyak kepada Teddy dan Maesy yang telah memberi kami kesempatan untuk menjadi tuan rumah POST selama satu hari dengan kurasi buku dan foto kami untuk edisi pertama #FriendsofPOST. nantikan edisi-edisi kurasi berikutnya!

a travel writer and blogger who have a big passion for writing and editing, social media, and photography.

Related Posts

7 Responses
  1. Esai kuratorial yang manis, Yuki. Kami jadi kepikiran minta calon kurator buku lain di POST untuk melakukan hal yang sama. 🙂

    Terima kasih untuk kolaborasi yang menyenangkan, Tama dan Yuki. Kami tunggu post selanjutnya :*

Leave a Reply