Berburu Bintang di Bukit Kingkong Bromo

Terlalu banyak hal pertama dalam hidup saya, seperti begadang demi memotret bintang di Bukit Kingkong di Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS) baru-baru ini. Ya, paling tidak itu berarti saya masih harus belajar banyak hal, dan banyak misteri menanti saya. Karena itu, ketika pemandu wisata kami bertanya apakah saya harus memilih rute Pananjakan atau Bukit Kingkong, dengan semangat saya menjawab Bukit Kingkong.

Saya belum pernah ke Bukit Kingkong Bromo, apalagi ditemani rombongan fotografer dan videografer kece. Sebut saja Mas Widhi dari Landscape Indonesia dan Mas Yudhie dari DCImaji. Malam itu Mas Widhi begitu bersemangat bercerita bahwa hari itu akan terjadi hujan meteor yang cukup banyak–saya curiga profesi aslinya adalah ahli nujum. Saya, Sefin, dan Satya pun siap menjadi model cabutan, sambil berharap dapat melantunkan permintaan kepada bintang jatuh. Yang belum saya pahami betul adalah, bahwa kami harus berangkat pukul dua belas malam! Dan waktu itu jam sudah menunjuk angka sepuluh. Duh!

Saya dan Sefin pun buru-buru menuju kamar, yang ternyata cukup makan waktu karena menggunakan lift keren yang jalannya cukup lambat. Lift ini berada di luar ruangan, tepatnya di antara undakanΒ yang membentuk penginapan Bromo Cottages. Walaupun tak terlihat jelas karena gelap, dijamin besok pagi akan terlihat pemandangan indah. Lima belas menit kemudian kami tiba di kamar, lalu bergegas tidur dan menyetel alarm pukul sebelas lewat empat puluh menit.

Baru satu jam tidur, alarm berdering dan kami bersiap-siap seperti zombie. Jalan terseok-seok dan mata terkantuk-kantuk. Kami tiba di lobi pukul dua belas malam, tepat ketika kereta kencana Cinderella kembali menjadi labu. Dan, tak ada siapa pun di sana! Kami lupa kalau orang Indonesia sering ngaret, dan kami terlalu taat peraturan.

Akhirnya rombongan kami baru berangkat dengan Jeep sekitar pukul dua, saya dan Sefin menunggu sampai ketiduran di lobi. Setelah proses masuk area taman nasional yang cukup lama, kami tiba di Bukit Kingkong Bromo sekitar pukul tiga. Bukit ini berada tepat di bawah Pananjakan dan memberikan akses lebih jelas menghadap Kawah Bromo dan Gunung Semeru serta area pasir di sekitarnya. Lampu-lampu mobil yang berkelip di kejauhan menunjukkan rombongan lain yang siap menyongsong matahari terbit di Pananjakan.

Sementara itu, saya dan kawan-kawan menggigil betul. Udara sangat dingin, ditambah angin berembus kencang, tangan saya kaku dan mati rasa. Entah sudah berapa lapis kain bergulung di tubuh saya. Kaus dua lapis, jaket tebal dan parka, kaus kaki dua lapis dan sepatu, tetapi belum mampu menangkis udara dingin. Saya mempersiapkan kamera sambil melompat-lompat seperti penari memanggil hujan. Satya dan Mas Widhi siap dengan tripodnya di posisi terdepan, begitu pula Mas Yudhie dan Mas Deta. Saya malah sibuk mencari sandaran di pagar karena tak bawa tripod. Agak bodoh, memang. Walaupun tak terlalu mengincar foto bintang, saya sadar tak semahir itu, paling tidak saya mendapat banyak ilmu dari pakar foto bintang dan Galaksi Bima Sakti: Mas Widhi.

“Lihat, barusan ada bintang jatuh,” ujar Mas Widhi tiba-tiba. Saya pun menengadah ke langit. Tidak ada. Sepertinya sudah lewat. “Ada lagi,” tunjuk Mas Widhi. Kali ini saya melihatnya walaupun terlalu sekilas. Saya bahkan belum sempat komat-kamit. Ahli Nujum berkacamata ini pun memamerkan jepretannya, tampak sebuah titik terang berekor melintas di langit. Ah, beruntung betul kami malam ini.

bukit kingkong bromo
Foto bintang pertama saya, yeay!

Foto-foto timelapse mereka pun tiada duanya. Saya senang dapat mencoba memotret bintang, menjelang pagi akhirnya saya meminjam tripod Satya. Sebuah pengalaman yang menarik. Salut untuk foto-foto bintang yang diambil di gunung, atas waktu berjam-jam yang dihabiskan dalam gigil.

Tanpa terasa kami betah di Bukit Kingkong Bromo hingga matahari mengintip dari balik awan. Entah dari mana pengunjung pun muncul berbondong-bondong. Ramai betul. Saya terpegun memandangi langit, sambil sesekali menggosok-gosok tangan. Sinar matahari keemasan yang terpantul di pepohonan dan rerumputan terlihat begitu magis. Belum lagi Gunung Semeru yang terbalut kabut dan awan. Saya tak bisa mengungkapkan kegembiraan bisa kembali lagi ke Bromo. Walaupun akhirnya tak kembali ke Bukit Teletubbies dan Pasir Berbisik, pengalaman berburu bintang ini takkan terlupakan. Sampai jumpa lagi, Bromo!

bukit kingkong bromo
Para pekerja yang membangun pagar di Bukit Kingkong
bukit kingkong bromo
Bukit Kingkong dilihat dari kejauhan
bukit kingkong bromo
Kawah Bromo yang mengembuskan asap tebal

Surabaya (Bromo termasuk di dalamnya) adalah kota ketiga yang dituju dalam acara Social Media Trip & Gathering 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia (www.indonesia.travel). Temukan foto-foto dan video perjalanan ini di Twitter dan Instagram melalui tagar #PesonaIndonesia dan #SaptaNusantara.

a travel writer and blogger who have a big passion for writing and editing, social media, and photography.

Related Posts

18 Responses
  1. Jam ngaretnya orang Indonesia luar biasa banget, dua jam molor hehehe. Pertama kali jepret milky way malah di Taman Nasional Baluran, itupun modal pinjem lensa punya teman hahaha. Keren lah kak, ditunggu kisah di kota selanjutnya πŸ˜‰

  2. aku gagal kmrn mw ke bromo…tepar kecapean, krn sebelumnya kita baru dari dieng mendaki puncak sikunir -__-.. Ampe skr blm ada wkt trus kesana… jd penasaran dinginan mana ama sikunir Ki? .. kmrn di sikunir jam 2 pagi gitu suhunya 3 derajat.. makin dingin aku makin suka sih sbnrnya πŸ˜€

    1. aku pernahnya ke Prau dan dingin jg sih pas malemnya, tapi kayaknya lebih dingin Bromo apalagi kalau foto kan di luar kena angin dll beuh…
      iya, aku juga suka dingin. ?

  3. Haha … kok bisa ya, tidur 1 jam doang … kl aku mungkin udah bablas …

    Belum pernah nih ke bukit Kingkong … kenapa namanya Kingkong ya πŸ˜€

    Wah pasti seru ya punya pengalaman mengejar bintang bersama fotografer2 profesional, bisa sekalian belajar πŸ™‚

Leave a Reply