Buku-buku Berdebu di Sudut

Books are a uniquely portable magic.”

-Stephen King

 

Sungguh, saya sangat setuju dengan kutipan Stephen King—salah satu penulis horor favorit saya—tersebut. Bagi saya, buku bagaikan sebuah tongkat ajaib yang bisa mengabulkan impian terliar kita. Bagaikan Pintu ke Mana saja milik Doraemon yang bisa mengantar ke mana pun. Ketika membaca buku, saya bisa merasakan diri saya terbang melayang ke negeri para Elf, berenang bersama penguin hingga Samudera Antartika. Apalagi jika membaca buku-buku cerita fantasi karangan Terry Pratchett* dan Neil Gaiman. Siapa yang takkan terpesona dengan sihir buku? Itulah yang saya rasakan saat membaca Hector and the Search for Happiness, yang saya yakini telah mengantarkan kaki saya ke Paris. Saya tersihir oleh Hector. Pernahkah kalian merasakan hal yang sama?

Dalam keseharian sebagai editor, sering kali saya tidak memiliki kesempatan untuk membaca buku-buku yang disenangi. Entah karena sudah lelah membaca ataupun penat dengan tuntutan membaca beragam buku di kantor. Terkadang saya bisa curi-curi waktu membaca saat menumpang bus Transjakarta atau pada malam-malam tertentu ketika tidak telanjur terlelap. Karena itu, ketika hendak berliburan, saya selalu menyisihkan tempat di tas untuk membawa buku. Yang nantinya dapat dibaca saat duduk di pesawat terbang atau dalam perjalanan menuju lokasi yang dituju. Bisa pula menjadi teman bersantai menikmati sore hari di pinggir pantai. Seperti yang saya lakukan saat berkunjung ke Gili Trawangan pada Mei 2014 lalu.

Ritual membaca di Gili Trawangan
Ritual membaca di Gili Trawangan
Buku yang belum saya tamatkan sampai sekarang...
Buku yang belum saya tamatkan sampai sekarang…

Waktu itu saya membawa Hector and the Secrets of Love (Penguin, 2011), buku kedua seri Hector’s Journey yang saya cintai. Selagi ibu saya menikmati renang petangnya di area pantai yang sepi, yang terletak di hadapan Pondok Santi Village Resort, saya asyik membaca buku di bawah teduh pepohonan. Itu adalah kali kedua kami ke Gili Trawangan dan kami masih melakukan ritual yang sama.

Ketika saya kembali pada Desember 2014, saya pun memperkenalkan pantai favorit itu pada seorang teman. Kami menunaikan ritual bersantai dan membaca buku lagi, diterpa sejuknya angin pesisir. Pada siang yang nyaman itu saya membawa buku The Best American Travel Writing 2014 yang saya pinjam (karena baru dibayar sebulan kemudian) dari POST, toko buku teman saya, Teddy-Maesy dan Steven.

Akan tetapi, hari itu saya menemukan hal lain di Gili Trawangan. Yang tak pernah saya sadari sebelumnya. Toko buku. Ya, toko sekaligus penyewaan buku. Tak jauh dari gerbang pulau—yang ditandai dengan loket karcis kapal dan pondok tempat menunggu—terdapat sebuah toko buku yang seperti menyamar, yang dipenuhi oleh perlengkapan snorkeling dan menyelam.

 

Temuan 1: Toko Buku Tak Bernama

Toko buku itu lengang. Pemiliknya pun tak tampak. Saya memasuki ruangan yang berisi rak-rak kayu tua. Buku-buku berdebu cenderung usang berderet berebut tempat. Ada yang mencuat hampir jatuh. Kebanyakan adalah buku lama, ada pula yang berupa fotokopi. Saya mengenal beberapa nama penulis Amerika populer, dan Sastrawan Nobel seperti Pearl S. Buck dan Gabriela García Márquez. Selain buku berbahasa Inggris, saya juga menemukan novel To Kill a Mockingbird Harper Lee yang berbahasa Finlandia. Buku berbahasa Jerman dan Italia pun tak ketinggalan. Kehadiran buku-buku itu seperti sihir, kita takkan pernah tahu asal usulnya. Entah berapa jauh perjalanan yang mereka tempuh hingga berpindah tangan ke sebuah toko buku di pulau kecil ini.

Koleksi buku berbagai bahasa
Koleksi buku berbagai bahasa
Sesekali saya terbatuk karena debu saat memilah-milah buku
Sesekali saya terbatuk karena debu saat memilah-milah buku
Toko Buku Tak Bernama
Toko Buku Tak Bernama

Buku-buku di sini tampak sudah lama tak tersentuh. Entahlah, saya belum sempat bertanya kepada sang pemilik. Di depan toko, terdapat sebuah rumah yang ternyata memajang dua rak buku lagi. Koleksi di sini kebanyakan novel. Selain menyewakan, toko ini juga bersedia membeli buku-buku turis asing yang mungkin sudah ditamatkan—daripada disobek dan dibakar setelah dibaca, seperti dalam film “Wild”.

Saya yakin toko buku ini sangat berjasa. Seumur hidupnya, ia pasti telah mengobati kepenatan berbagai macam orang yang mungkin kehabisan bacaan. Saya pun teringat pada pengalaman ketika rapat dengan perwakilan dari Penerbit Simon & Schuster di Frankfurt Book Fair 2014. Ia mengatakan bahwa perkembangan buku digital, tak dimungkiri, telah mengikis sedikit demi sedikit pangsa pasar buku fisik. Orang cenderung lebih memilih membaca buku melalui smartphone dan Kindle yang bisa memuat ratusan buku, ketimbang buku-buku fisik yang membebani ransel. Apa pun rupanya, saya yakin, buku tetaplah buku.

(Update per 14 April 2015, tarif penyewaan buku di sini adalah Rp75.000,-/buku dan harga jual Rp200.000,-/buku.)

 

Temuan 2: William Book Shop

Langkah saya tidak sampai di situ. Saya kembali berburu, menyusuri jalan menuju Gili Trawangan Art Market atau Food Night Market, yang setiap malam dipenuhi berbagai penjaja makanan serba lezat. Kayu Café yang menyediakan Illy Coffee Cream nikmat pun dipenuhi pengunjung saat saya lewati. Dari depan pasar malam saya melihat papan petunjuk sebuah toko buku. Tepat di belakang Restoran Le Petit Gili. Di situlah William Book Shop menyudutkan diri. Selain toko buku, William Book Shop juga menjual kartu pos dan melayani jasa pos. Kita bisa membeli kartu pos seharga sepuluh ribu rupiah dan mengirimkannya ke tujuan yang diinginkan. Saat saya singgah, dua orang wanita asing hendak memborong lima puluh kartu pos. Saya sampai terkejut.

Papan petunjuk William Book Shop yang berada di belakang Food Night Market
Papan petunjuk William Book Shop yang berada di belakang Food Night Market
Suasana di depan toko buku
Suasana di depan toko buku
Pengunjung sedang memborong kartu pos
Pengunjung sedang memborong kartu pos
Koleksi buku dan Kotak Pos di William Book Shop
Koleksi buku dan Kotak Pos di William Book Shop

Di toko buku berdinding bilik ini, koleksi buku terpajang di etalase kaca dan rak kayu tua di samping dan belakang. Saya melangkah ke sisi kanan toko, mengarah ke dalam rumah, dan melihat dua buah rak kayu lagi. Lagi-lagi kebanyakan buku lama. Namun, saya tak pesimis. Toko-toko kecil seperti ini seakan-akan menegur saya. Bahwa di mana pun keberadaan buku tak boleh terpisahkan dari manusia, bahkan di sebuah pulau yang terkenal dengan ingar-bingarnya ini—saya teringat pada POST, toko buku mungil yang bagaikan oasis di tengah hiruk pikuk Pasar Santa. Bahwa perkembangan digital tak perlu ditakuti. Bahwa buku yang tersusun dari lembaran kertas demi kertas akan selalu dirindukan. Bahwa aroma buku yang baru dibuka akan selalu menerbitkan senyum sang pemiliknya.

Bahwa di suatu sudut perahu kita mungkin saja melihat seorang bapak tua berkacamata membaca buku. Seperti ungkapan Hemingway, tak ada teman yang lebih setia daripada buku.

 

P.S.: Setelah menemukan toko buku di Gili Trawangan, mata saya lebih peka dan menemukan toko sejenis di Legian. Ada pula beberapa toko buku yang terlihat lebih rapi dan bagus di Ubud.

*) RIP Terry Pratchett, kenangan terakhir saya tentangnya adalah saat saya mencari-cari bukunya di stand Random House di Frankfurt Book Fair 2014.

 

Photos: Me & @tamagraph

a travel writer and blogger who have a big passion for writing and editing, social media, and photography.

Related Posts