Geliat Silek Lanyah di Padang Panjang

Ranah Minang tak hanya ternama akan gastronomi, pula keelokan alam darat dan perairannya, ia juga menjadi inspirasi seni dan budaya Nusantara. Salah satunya dalam seni bela diri. Siapa yang tak kenal dengan pencak silat dari Minangkabau? Semenjak Iko Uwais beraksi dalam film “Merantau” pada tahun 2009, silat kian menduduki singgasana bela diri Indonesia.

Di Minangkabau terdapat banyak jenis pencak silat, seperti Silat Kumango, Silat Harimau, Silat Tuo Gunuang, dan lain-lain. Silat, yang dalam bahasa Minang disebut “silek”, berkembang ke seluruh penjuru Sumatera Barat. Tiap daerah punya aliran sendiri. Dan, saat berkesempatan mengunjungi Desa Kubu Gadang di Kelurahan Ekor Lubuk, Kecamatan Padang Panjang Timur, Kota Padang Panjang, beruntung saya dapat menyaksikan salah satu silek yang berkembang di sana.

Silek Lanyah namanya. Yang secara harfiah berarti silat di atas tanah basah atau lumpur. Di Kubu Gadang, yang kini merintis diri sebagai Desa Wisata sejak penetapannya tahun 2014 silam, Silek Lanyah dilakukan di petak sawah yang basah. Lahannya berpindah-pindah, tergantung petakan mana yang tersedia. Saat saya dan kawan-kawan berkunjung, ia dipertunjukkan di sawah tepat di pinggir jalan.

Sebenarnya, Silek Lanyah merupakan atraksi silat yang dikembangkan dari Silek Tuo Gunuang yang diwariskan dari masa ke masa di Desa Kubu Gadang. Ia dilahirkan kembali bertepatan dengan gelar baru yang disandang Kubu Gadang. Maka, penggagas silat ini kebanyakan anak muda, dari usia tujuh hingga lima belas tahun. Jumlah mereka belum banyak–tak sampai sepuluh, jadwal latihan pun tak tentu, tapi kesungguhan mereka melestarikan tradisi tak bisa dianggap sepele.

silek lanyah
Kuda-kuda memasuki arena silat

Begitu turun dari mobil, saya buru-buru mengenakan kain yang diberikan saat memasuki desa. Sesuai tradisi di sana, pengunjung yang memakai rok atau celana pendek akan dipinjamkan kain secara gratis. Warga desa juga sudah berbaris di tepi parit, siap menyaksikan atraksi silat kebanggaan mereka.

Saya pun duduk begitu gendang ditabuh. Pemain musik terdiri dari empat orang, sang pemimpin meniup serunai dan tiga lainnya menabuh gendang. Kemudian, tiga pasang pesilat turun ke sawah dengan kuda-kudanya.

Pesilat-pesilat muda ini jelas terlihat masih awam, tapi ekspresi mereka memancarkan gelora. Saya makin bersemangat saat menyaksikan jurus bantingan dan air yang berkecipak ke mana-mana. Sesekali mereka beradu jurus, sesekali pula mengeluarkan senjata untuk menyerang lawan. Silat ini bagaikan tarian jebakan. Terkadang menawan, terkadang menaklukkan.

Tak jarang, penonton ikut berteriak mengikuti entakan gendang dan bantingan kaki pesilat. Senja kian luruh. Pesilat pun berganti. Kali ini perempuan, dan adu jurus tak kalah seru. Air masih bercipratan ke udara. Menit demi menit mengagumkan berjalan begitu cepat. Tahu-tahu pertunjukan berakhir. Setelah menjura ke penonton, satu demi satu pesilat berhamburan ke arah saya dan kawan-kawan.

silek lanyah

silek lanyah

silek lanyah

silek lanyah

silek lanyah

Para pesilat cilik begitu gembira menyambut kami, bahkan ikut menyantap kelapa muda yang disediakan untuk kami. Bukannya membasuh tubuh, mereka bertanya ini-itu penuh rasa ingin tahu. Tentang asal kami, tujuan kami, berapa lama kami tinggal, sungguh khas anak kecil. Padahal, sesekali tubuh mereka gigil.

Selain pertunjukan Silek Lanyah, kunjungan ke Kubu Gadang juga dilengkapi wisata kuliner. Karena hari sudah petang, kami diajak mengikuti ritual Makan Baradaik. Prosesi makan adat yang biasanya disertai sambutan dari tuan rumah sebelum dan sesudah makan. Hidangan juga diletakkan sesuai aturan, dengan nampan besar berisi piring-piring lauk.

Menu makan malam itu dendeng batokok, gulai telur puyuh, sayur urap, dan singkong kering balado. Sederhana memang, namun menyantapnya bersama-sama sambil lesehan di gubuk bambu sungguh nikmat. Udara sepoi-sepoi, serangga malam bernyanyi. Setelah beberapa kali menyendok nasi, saya dan kawan-kawan bersantai sambil tiduran. Menikmati akhir perjalanan hari itu.

Di saat-saat seperti ini, saya merasa beruntung dapat menemukan hal demi hal baru dari tiap perjalanan. Dapat memiliki kawan jalan baru yang satu frekuensi. Dapat menyimpan alasan untuk kembali lagi ke sana. Ke Tanah Minang.

Perjalanan, entah kenapa, semakin lama semakin membuat saya mudah jatuh cinta pada segala hal–yang terkadang mungkin sepele bagi orang lain. Seperti saat melihat jejak-jejak kaki itik yang pulang petang. Senyum malu-malu bocah yang menyapa. Dua potong semangka manis. Aroma pelembut pakaian yang menguar dari kain batik yang membungkus paha saya. Obrolan ringan dengan kawan. Semua punya makna. Semua punya peran.

Dan peran Desa Wisata Kubu Gadang, kalau bukan kita yang dukung, siapa lagi?

silek lanyah
Itik pulang petang
silek lanyah
Menu Makan Baradaik
silek lanyah
Bersama para pesilat Silek Lanyah

Buat yang penasaran ingin menyaksikan Silek Lanyah, bisa langsung menghubungi Yulita Zein (085263809321) selaku pengelola setempat. Saat ini pertunjukan Silek Lanyah hanya diadakan sesuai pesanan. Jangan ragu-ragu, kapan lagi bisa menyaksikan salah satu warisan budaya Minang di Desa Kubu Gadang.

silek lanyah

a travel writer and blogger who have a big passion for writing and editing, social media, and photography.

Related Posts