Kopi Es Tak Kie dan Obrolan tentang Ayah

Sudah beberapa kali saya dan Tama mendatangi kedai kopi yang berada di wilayah Pancoran, Glodok, itu pada Sabtu petang. Begitu pula Minggu siang. Tapi, Tama tak pernah berjodoh dengannya. Kedai itu selalu tutup. Saya sebenarnya sudah beberapa kali ke sana. Kedai bernama Kopi Es Tak Kie itu saya kenal akrab sejak masih bersekolah di SMAN 2. Sepulang sekolah saya sering berjalan kaki ke Glodok demi belanja ini-itu, mulai dari peralatan tulis di Toserba Gloria yang tutup bertahun-tahun silam–di gang sebelahnyalah, Kopi Es Tak Kie berada, menyelip di antara pedagang yang menjajakan menu serbababi.

Tiap menyusuri Glodok, kenangan saya akan pasar yang semarak melayang-layang. Dahulu kawasan ini meriah, dipenuhi pedagang dan pengunjung. Segalanya dapat ditemukan, VCD film biru, telur penyu, empedu ular kobra, obat kuat, pakaian, hingga beragam snack khas Tiongkok dan Singapura.

Dan, jika berbicara tentang kopi es, sebutan yang sangat saya kenal sebagai orang Medan, ingatan selalu terbang pada ayah saya. Kopi bercampur susu kental manis yang disajikan di Tak Kie begitu mirip dengan kopi buatan ayah. Yang selalu ia bikin setiap pagi untuk saya.

***

Kopi Es Tak Kie
Suasana kedai
Foto-foto dari masa lalu
Foto-foto dari masa lalu
Seorang bapak sedang menghitung uang
Seorang bapak menghitung uang
Pesta mi ayam
Pesta mi ayam
Berbincang dengan pemilik kedai
Berbincang dengan pemilik kedai

Kopi Es Tak Kie konon berdiri sejak tahun 1930, diteruskan secara turun-temurun. Pendirinya, orang Tionghoa bernama Kwie Tjong, adalah perantau sebagaimana orang Tionghoa lain yang datang dan menetap di Indonesia. Berdagang pun bagaikan falsafah mereka. Dan, ia memilih berjualan kopi di gang kecil.

Kepopuleran Kopi Es Tak Kie yang diwartakan melalui media televisi dan media sosial mendatangkan pengunjung dari segala penjuru. Yang saya yakin belum tentu penikmat kopi. Pernah suatu kali saya melihat satu meja diisi pria-pria berdandan retro. Mereka asyik berfoto-foto. Kehadiran mereka sungguh janggal di antara bapak-bapak yang menyantap mi ayam dan nasi campur babi sambil sesekali menyeruput kopi.

Begitulah, orang datang dan pergi. Akan tetapi, penikmat kopi sesungguhnya, yang kebanyakan warga sekitar, tentu akan kembali ke Tak Kie. Saya dan Tama akhirnya mendapati kedai ini buka pada Sabtu pagi beberapa minggu lalu. Tama bernapas lega. Ini kali ketiga ia ke sana. Pun, semua meja penuh. Kami menunggu dengan santai sambil berdiri di dekat meja kasir.

“Kok, kemarin-kemarin saya ke sini tutup melulu?” sapa saya pada sang pemilik kedai yang rambutnya putih seluruh.

“Ah, kami buka setiap hari, dari jam sembilan sampai dua,” balasnya.

Pantas saja, sebelumnya kami selalu datang pukul empat sore.

Kami kemudian menumpang duduk di meja yang lebih dulu ditempati ibu-ibu yang sibuk menelepon. Dua kopi es yang kami pesan tiba di meja. Sedotan merah jambu mencolok di gelas. Tama menyeruput kopinya, saya mengikuti.

Tama menikmati kopinya
Kopi es pertama Tama
Tahun yang baru
Tahun yang baru
Bapak berpeci menyantap mi ayam
Bapak berpeci menyantap mi ayam
......
Tiba-tiba sendu…

Kopi yang dibuat ayah selalu panas, ia benci es. Ia menuduh es sebagai sumber penyakit, itu yang dikatakannya setiap kali saya sakit. Dengan bandelnya, saya akan tetap minum es diam-diam walaupun batuk menghajar tenggorokan. Ayah saya kolot, simpul saya setiap kali.

Ada yang juga berubah dari Kopi Es Tak Kie yang saya pesan. Rasanya tak sekental dahulu. Mungkin karena esnya terlalu banyak dan mencair. Entahlah. Saya teringat ketika suka meminum kopi ayah saya diam-diam karena jatah kopi saya sudah habis sekali tenggak. Saya tiba-tiba merasa rindu pada kopi ayah. Kopi yang dulu tersaji di cangkir merah jambu di meja makan. Kopi buatan ayah.

Seiring waktu, kopi yang dibuat ayah memang berubah. Ia mulai mengganti merek susu kental manis yang digunakannya. Awalnya susu Cap Nona–ini merek favoritnya sejak kami masih tinggal di Medan, kemudian Cap Enaak, dan belakangan Carnation yang berlambang bunga. Tahun berganti, begitu pula merek susu

Hingga akhirnya ia berhenti membuat kopi untuk saya. Saya lupa kapan tepatnya.

Kopi Es

Photos: me & tamagraph

 

a travel writer and blogger who have a big passion for writing and editing, social media, and photography.