Sulitnya Menukar Uang di Jepang

Sebelum bertandang ke luar negeri, ke mana pun itu, saya lebih suka menukar rupiah ke dolar daripada ke mata uang negara yang dituju. Waktu ke Korea, saya membeli dolar di daerah Mangga Besar dan menukarnya di Bandara Incheon dan pusat perbelanjaan Myeongdong. Nilai tukar dari dolar biasanya selalu lebih tinggi. Setelah dihitung-hitung, nilai tukar dolar ke won lebih tinggi apabila dibandingkan langsung membeli won dari Jakarta.

Ringkasnya begini, sebelum ke Jepang saya membeli 100 dolar (@9.780 rupiah) di Jakarta seharga 978.000 rupiah. Saat ditukar di Jepang, 100 dolar (@99,29 yen) menghasilkan 9.929 yen. Padahal, di Jakarta 978.000 rupiah (@100 yen) hanya mendapatkan 9.780 yen. Jadi, selisih keuntungan adalah 149 yen atau 14.900 rupiah. Kalau kamu menukar lebih banyak, pasti selisihnya juga semakin besar.

Dengan prinsip yang sama, saya pun tidak membeli yen di Jakarta saat berwisata ke Jepang. Ternyata, saya memang untung lagi. Dolar selalu lebih berharga daripada rupiah.

Baca juga: Panduan Praktis Cara Mengurus Visa Jepang

Saya pun bersenang-senang di Jepang. Namun, hal tak terduga terjadi pada hari ketiga sebelum berakhirnya petualangan solo backpacking saya. Saya terlalu irit menukar dolar sehingga uang yang saya pegang tinggal 5.000 yen dan koin recehan, padahal dolar masih cukup banyak. Saya sudah menukar yen saat belanja di Ginza, tepatnya di World Currency Shop di Gedung Ginza Core, lantai 5. Tapi, yen itu terpakai juga untuk belanja dan jajan-jajan.

Nah, waktu di Ginza saya sudah menyadari adanya keganjilan. Di sana tidak terlihat Money Changer sama sekali, mungkin ada namun tempatnya tersembunyi. Padahal, Ginza adalah pusat perbelanjaan yang dipenuhi berbagai merek asing terkenal: Louis Vuitton, Burberry, Furla, Gucci, Mont Blanc, Bally, Rolex, Swarovski, dan lain-lain. Ya, bisa saja orang yang berbelanja menggunakan kartu kredit. Saya juga mengandalkan kartu kredit waktu belanja di H&M dan Uniqlo. FYI, kartu debit Mandiri juga bisa dipakai untuk transaksi di H&M dan Zara dan toko sejenis.

Ginza Shopping District
Ginza Shopping District
West Exit Shinjuku Station

Saat ke Korea, di mana-mana saya bisa melihat Money Changer, atau dalam bahasa Malaysia Pengurup Wang, dengan mudah. Di pusat perbelanjaan, di basement hotel, di stasiun, di mana-mana. Bahkan, bank-bank lokal Korea seperti Hana Bank dan Woori Bank memiliki mesin ATM yang bisa digunakan untuk menarik uang dari kartu debit internasional. Saya pernah mencoba menarik uang dari kartu debit Mandiri di Hana Bank dengan biaya administrasi yang sangat murah. Karena itu, ketika berkunjung kedua kalinya ke Korea, saya hanya membawa sedikit uang tunai.

Di Jepang hal itu berbeda seratus delapan puluh derajat. Sehari sebelum ke Toyama (jaraknya sekitar tujuh jam via bus dari Tokyo), saya hanya memiliki uang tunai 5.000 yen. Biaya Japan Alpine Tour yang ingin saya ikuti sekitar 10.000 yen. Saya pun pusing tujuh keliling!

Dari Ginza saya sampai di Shinjuku Station sekitar pukul setengah delapan malam (pukul sebelas harus naik bus Willer Express menuju Toyama) dan memutuskan mencari Money Changer. Ternyata, butuh perjuangan keras mencari Money Changer di stasiun sebesar itu. Saya berkeliling di area West Exit dan tidak menemukan satu pun tempat penukaran uang. Tanya orang lewat, mereka tidak tahu. Tanya satpam, katanya tidak ada Money Changer di stasiun ini. Stasiun secanggih dan seramai ini tidak punya Money Changer. Saya syok!

Tiba-tiba saya teringat, pertama kali berkeliling mencari kereta, saya melihat ada sebuah kios kecil Money Changer. Tapi, saya lupa di mana. Jadilah saya berputar-putar hampir satu jam tanpa hasil. Kaki pegal-pegal dan otak makin stres. Kalau uang tunai tidak cukup, bisa-bisa gagal ikut tur yang saya idam-idamkan. Saya sempat berpikir mungkin di Toyama ada Money Changer. Tapi, di Tokyo saja sulit apalagi di daerah terpencil sana.

Saya pun mencari mesin ATM yang sangat langka di stasiun itu. Ada peringatan dalam bahasa Inggris di bodi mesin bahwa mesin itu tidak dapat digunakan untuk kartu internasional. Ingin rasanya saya menendang mesin itu!

Lalu, saya menuruti petuah satpam stasiun kalau saya lebih baik ke Sumitomo Mitsui Bank untuk menukar uang. Katanya ATM di sana buka 24 jam. Jujur, saya sebenarnya ragu. Benar saja, dari stasiun, gedung pencakar langit itu terlihat dekat. Padahal, jaraknya lumayan jauh. Dugaan saya pun benar, gedungnya saja sudah tutup, apalagi ATM.

Saya kembali ke Shinjuku dengan frustrasi. Kali ini menuju Tokyo Metro Line untuk menggunakan WIFI. Saya googling tentang Money Changer di Shinjuku. Sudah banyak curahan hati pejalan senasib seperti saya yang kesulitan menukar uang di Shinjuku. Ada yang bilang cari di Mall Odakyu di depan stasiun, tapi mal sudah tutup malam itu.

Sudah pukul setengah sepuluh malam dan saya hampir menangis karena lelah dan kesal. Saya pun berkeliling lagi mencari Money Changer yang rasa-rasanya pernah saya lihat. Aha, ketemu! Kios Money Changer seukuran satu kali dua meter itu memang ada. Tapi, tutup! Akhir pekan buka pukul sebelas pagi hingga lima sore. Kenapa Money Changer itu tega-teganya tutup pukul lima sore? Harapan saya pun pupus. Saya langsung menuju pool bus Willer untuk berangkat ke Toyama karena waktu sudah mepet.

Saya tiba di Toyama Station sekitar pukul enam pagi. Stasiun mungil ini sudah jelas tidak punya Money Changer. Saya melihat ada Lawson di samping stasiun, langsung saya datangi. Setelah bertanya-tanya dengan bahasa Inggris campur Korea* campur Jepang campur isyarat tubuh, terungkap bahwa tidak ada tempat penukaran uang di sini dan berhubung ini hari minggu, semua bank tutup. Dan menurut si ibu penjaga toko, saya cuma bisa menukar uang di Citibank, yang lokasinya entah di mana. Setelah berterima kasih, tak lupa saya memohon agar mereka mau menukar dolar saya dengan yen mereka. Gagal total!

Uang segini mana cukup ikut tur!
Uang segini mana cukup ikut tur!

Belum patah arang, saya menyeberang menuju mini market lain dan bertanya tempat menukar uang. Mereka tidak tahu. Saya menyeberang jalan lagi ke sebuah hotel besar bertingkat sepuluh. Tidak ada pula. Karena suasana kota yang sepi, mobil yang lewat bisa dihitung jari, begitu pula pejalan kaki, saya langsung menuju Dentetsu-Toyama Station dengan galau dan langkah gontai. Saya membeli tiket menuju Tateyama Station. Berharap ada keajaiban di Tateyama sehingga saya tetap bisa ikut tur gunung es yang terkenal sebagai Swiss-nya Jepang itu.

Ternyata, loket tur di sana menerima pembayaran dengan kartu kredit dan debit! Saya pun membayar paket tur dari Tateyama** hingga Kurobeko seharga 10.490 yen. Akhirnya, cita-cita saya mengelilingi pegunungan salju bisa terkabul.

Siapa yang tidak gembira bisa ke sini?
Siapa yang tidak gembira bisa ke sini?

Berdasarkan perburuan tanpa hasil itu, saya menyimpulkan:

  • Kalau ada paket tur yang menyediakan pembayaran online, mungkin kamu bisa mempertimbangkan pembayaran dengan metode ini kalau sudah yakin 100% mau ikut tur itu.
  • Untuk tiket Bus Willer Express, hanya bisa dibeli dari negara asal untuk turis asing.
  • Kalau punya kartu kredit atau debit, lebih baik gunakan saat belanja di toko-toko besar. Ya, kecuali kamu bawa uang tunai sekoper!
  • Lebih baik tukar saja seluruh dolar kamu kalau bisa, untuk mencegah ada keperluan mendadak dan sulit menemukan Money Changer.
  • Kalaupun penasaran dan kurang kerjaan ingin berburu Money Changer seperti saya, lebih baik googling dulu lokasi dan jam operasionalnya.
  • Seluruh mesin ATM bank lokal di Jepang tidak menerima pemakaian kartu internasional!
  • Lebih untung menukar sisa uang yen kita ke dolar daripada rupiah, saya sudah mencoba sendiri! Sesampainya di Indonesia, baru tukar ke rupiah atau simpan saja sampai dolar jadi dua puluh lima ribu.
Menuju puncak Tateyama!
Menuju puncak Tateyama!

Begitulah kisah menukar uang di Jepang. Persiapkan anggaran keuangan kalian dengan cermat sebelum berangkat, ya!

 

*Saya kira banyak orang Jepang bisa berbahasa Korea karena mereka juga terkena wabah K-Pop dan jaraknya dekat dengan Korea.

**Saya terinspirasi ke Tateyama berkat Arievrahman.

a travel writer and blogger who have a big passion for writing and editing, social media, and photography.

Related Posts

4 Responses

Leave a Reply