Tentang Travel Writing

“What gives value to travel is fear.”

-Albert Camus

 

Saya menemukan kalimat itu dari sebuah buku yang baru saya beli di POST, toko buku kecil milik teman saya yang berada di sudut Pasar Santa. Kalimat itu berdiam di bagian Kata Pengantar. Setelah membacanya, saya pun terdiam. Sialan! Begitu batin saya. Kalimat itu sungguh sialan.

Saya memang tipe pembaca yang menyenangi bagian pembuka sebuah buku. Entah itu Kata Pengantar, Sekapur Sirih, ataupun Pendahuluan. Bagi saya, kuda-kuda sebuah buku terletak pada pendahuluan. Kuda-kuda inilah yang menentukan kepamungkasan sebuah buku. Pendahuluan yang bagus tentunya akan membuat kita penasaran untuk menjelajah halaman demi halaman, kalimat demi kalimat yang menanti.

Mungkin kalian pun mulai bertanya-tanya, dari buku apa kalimat sihir Camus itu saya kutip. The Best American Travel Writing 2014, itulah dia. Lantas, mengapa kalimat itu membuat saya memaki hingga dua kali? Kalian bertanya lagi, barangkali. “Karena saya memang senang memaki.” Kalian pasti tak ingin jawaban seperti itu. Tapi, sungguh itu benar. Kau bisa menanyakannya kepada orang terdekat saya.

Karena sang editor buku itu, Jason Wilson yang Agung, mengutip sebuah kalimat yang sungguh mujarab untuk membuka, dan menggambarkan, isi bukunya. Saya pun terdorong untuk bersegera membalik halaman dan membaca tulisan yang pertama. Kira-kira begitu jawaban kerennya.

Bagi yang belum tahu, “The Best American Series” adalah seri antologi dari Penerbit Houghton Mifflin yang berisi tulisan-tulisan terbaik di Amerika Serikat yang dipilih setiap tahunnya untuk dikumpulkan dalam satu buku. Seri-serinya antara lain Short Stories, Essays, Mystery Stories, Science and Nature Writing, Comics, Travel Writing, dan lain-lain. Untuk seri Travel Writing sendiri diterbitkan sejak tahun 2000 dan Jason Wilson sudah menjadi editornya sejak seri pertama. Tulisan-tulisan yang dimuat berasal dari berbagai majalah dan diterbitkan dalam rentang tahun yang bersangkutan.

Tulisan pertama merupakan sebuah kisah perjalanan menuju negara-negara di Semenanjung Balkan, Eropa Tenggara, yang berawal dari Rumania. Sang penulis ikut dalam perjalanan itu karena ayahnya, seorang dokter spesialis ginjal, sedang meneliti tentang penyakit gagal ginjal yang menyerang beberapa wilayah di semenanjung itu. Penyakit itu diberi nama BEN, singkatan dari Balkan Endemic Nephropathy. BEN merupakan penyakit yang memiliki fase tidur yang cukup panjang, sepuluh hingga lima belas tahun, dan suatu ketika pengidapnya akan terjaga dan ginjalnya tak mampu berfungsi lagi.

Asal usul BEN tak jelas. Satu ahli mengatakan bahwa BEN disebabkan oleh sejenis tanaman gandum beracun yang tanpa sengaja tercampur ke dalam bahan pangan yang dikonsumsi masyarakat. Ahli lain menyebut soal kandungan zat kimia beracun dari area pertambangan batu bara. Ada pula yang menyebut zat asam beracun dari obat-obatan herbal Tiongkok. Sayangnya, semua hipotesis itu saling bertentangan dengan kenyataan yang terdapat di lapangan.

Bayangkanlah! Betapa keren tulisan yang dibuat oleh penulis itu!

Processed with VSCOcam with hb2 preset

 

Cerita selanjutnya adalah mengenai prostitusi di kawasan sepanjang pantai di Havana, Kuba. Sebuah Red Light District yang disebut The Malecon. Cerita ini tak kalah bagus. Sang penulis yang mengikuti kehidupan sehari-hari seorang gadis tuna susila, harus berusaha menjaga diri agar tetap profesional menjalani perannya sebagai penulis, bahkan ketika gadis itu meminta bantuannya agar diberi visa untuk bekerja di Meksiko. Sang penulis juga sempat menetap di Kuba selama dua tahun untuk memperdalam risetnya. Saya pun tertegun berulang kali mengingat perjalanan-perjalanan dan riset yang dijalani kedua penulisnya.

Sialan, bukan?

Maaf, lagi-lagi saya memaki. Bagaimanapun, kedua tulisan—baru dua tulisan itu saja—sudah membuat saya tertohok. Bagaimana tidak, travel writing tak sesederhana yang saya bayangkan ketika memulainya setahun silam. Ketika saya mulai mendongengkan perjalanan saya.

Ya, saya bisa menangkap gagasannya. Ketika kita hanya menulis cara bagaimana menuju suatu destinasi wisata atau menjabarkan apa saja daya tariknya—pantainya, gunungnya, tempat belanjanya, kulinernya—apa bedanya kita dengan reporter? Agak serupa dengan perbandingan antara turis dan pejalan. Suatu hari kau akan jenuh, dan pembacamu akan mengeluh.

Saya tahu, masalah sosial—masalah manusia dan lingkungan sekitarnya—tak akan pernah habis untuk dibahas. Selalu ada keresahan-keresahan yang patut disampaikan kepada orang banyak. Dan, ketika saya hanya mengeluhkan keresahan-keresahan pribadi, saya merasa sempit.

Saya pun diburu pertanyaan, kapan saya bisa mencapai tahap seperti yang dijalani kedua penulis itu. Ketika akhirnya saya bisa menyampaikan ketakutan-ketakutan. Keresahan-keresahan…

Ya, bagaimanapun, seperti kelanjutan kalimat Jason Wilson, “Travel are also about love and memory.” Barangkali saat ini saya masih memiliki jatah cinta dan kenangan manis yang bisa saya bagi. Barangkali saya masih harus menggoda kalian dengan cerita romantis dan jenaka. Barangkali kalian masih akan terus membaca kisah saya. Maka, tunggu saja.

 

 

*This post was written during the 4-Hours Writing Challenge at POST, a space for books, gatherings and all things creative in Pasar Santa that started by my friends, the lovely couple of The Dusty Sneakers, and Steven.

Location: Gili Trawangan

Photos: @tamagraph

a travel writer and blogger who have a big passion for writing and editing, social media, and photography.

Related Posts

8 Responses
  1. Yuki, review-nya bagus! Aku tunggu cerita-cerita perjalananmu, terutama dari road trip terkini 😉 Tulisan ini kami share di blog dan Twitter-nya POST, ya 🙂

  2. Wah, sama! penentu bacaanku itu terus atau tidak adalah paragraf pertamanya..
    Salah satu kaki-dashi favoritku dari bukunya Orhan Pamuk, My Name is Red. Kalimat pertamanya, bahkan satu paragraf menjelaskan kenapa cerita buku ini harus ada 😀

    “Kini aku hanyalah sesosok mayat, sesosok tubuh di dasar sebuah sumur.”

    walaupun buku itu baru selesai dua bulan kemudian… 😀

Leave a Reply