Pacu Jawi: Hajatan Petani di Tanah Datar

Saya sudah mendengar tentang Pacu Jawi beberapa tahun silam. Seorang kawan pernah menceritakan pengalamannya, ia begitu terpukau. Tahun ini saya kembali mendengar kabar dari kawan yang lain, ia malah sudah menjajal permainan tradisional ini. Bahkan, wajah cantiknya yang berlumpur saat mengendalikan sapi terpampang di mana-mana. Ia adalah pembawa acara sebuah program olahraga ekstrem.

Tak terduga, saya pun mendapat kesempatan untuk menyaksikan langsung atraksi budaya dari Sumatera Barat ini.

Secara harfiah, Pacu Jawi berarti ‘balap sapi’. Di Minangkabau, sapi disebut “jawi” karena berasal dari Tanah Jawa. Bicara soal balap sapi, mungkin yang terbayang adalah Karapan Sapi yang berasal dari Madura. Hampir sama memang. Bedanya, Pacu Jawi dilangsungkan di sawah berlumpur, sementara Karapan Sapi di tanah kering.

Pacu Jawi adalah tradisi yang berkembang di Kabupaten Tanah Datar, tepatnya berlangsung di empat kecamatan, yaitu Kecamatan Pariangan, Rambatan, Lima Kaum, dan Sungai Tarab. Melihat latar belakang tradisi ini, mungkin memang tepat terlahir di Tanah Datar yang masih didominasi oleh persawahan dari ujung ke ujung.

Sebagai negara agraris, tak heran balap sapi menjadi hajatan yang dapat ditemukan di berbagai tempat di Indonesia.

pacu jawi ohelterskelter.com
Sapi yang akan bertanding di Pacu Jawi

Tradisi Ratusan Tahun di Tanah Datar

Pacu Jawi diperkirakan sudah diadakan selama ratusan tahun di Kabupaten Tanah Datar. Sebagai bentuk perayaan seusai musim panen. Ketika petani punya waktu luang, mereka menggotong alat bajak, memasangnya pada dua ekor sapi, lantas menaiki alat tersebut untuk memacu kedua sapi.

Sungguh pun, nilai filosofi permainan tradisional ini sangat kuat. Walaupun dijadikan perlombaan, Pacu Jawi tidak dilangsungkan dengan mengadu sapi yang satu dengan yang lain secara langsung. Sepasang sapi dan jokinya akan memacu diri di lumpur tanpa kehadiran lawan. Konon, ini untuk menghindari munculnya pertaruhan di antara penonton. Selain itu, dua sapi yang dipakai menyimbolkan bahwa pemimpin dan rakyat dapat berjalan beriringan.

Yang dinilai adalah selurus apa lari kedua sapi dan sepandai apa joki mengendalikan sapinya agar ia tak terlempar sebelum keluar dari garis akhir di sawah yang memiliki panjang sekitar dua puluh meter. Hidup manusia pun diibaratkan sebaik-baiknya adalah selurus jalan sapi tersebut. Sapi yang menang adalah yang jalannya lurus, manusia pun demikian.

pacu jawi ohelterskelter.com
Sapi diboyong ke area pacu
pacu jawi ohelterskelter.com
Pacu Jawi dimulai
pacu jawi ohelterskelter.com
Sapi melesat kencang

Selain itu, Pacu Jawi juga memiliki nilai ekonomis bagi petani setempat. Sapi-sapi yang sering memenangkan perlombaan akan ditawar dengan harga tinggi oleh pembeli, dengan begitu akan menjadi nafkah tambahan bagi petani. Roda ekonomi pun akan bergulir di desa tersebut.

Pacu Jawi biasanya diadakan setiap hari Sabtu selama empat pekan setiap tahunnya, berganti dari satu kecamatan ke kecamatan lainnya. Pada 6 Agustus yang lalu, saya beruntung dapat menyaksikan babak semifinal di Jorong Padang Panjang, Nagari Pariangan, Kecamatan Pariangan. Ketika tiba sekitar pukul dua siang, petani sedang mengairi sawah yang akan dijadikan arena balap. Puluhan sapi berbaris di tanah lapang, diberi makan oleh sang pemilik. Sinar matahari begitu terik, tapi angin tak kalah kencang.

Barisan fotografer dari Tiongkok terlihat siap dengan perlengkapan kameranya di hadapan arena Pacu Jawi. Ada yang bersembunyi dari panas, ada yang memakai payung. Fotografer domestik juga bertebaran, dengan lensa tele sepanjang gagang sapu. Semua tak sabar menanti Pacu Jawi.

Sementara, warga juga membuka warung dadakan, menjajakan minuman dingin dan makanan ringan. Terlihat juga booth sebuah merek rokok. Sepertinya popularitas Pacu Jawi memang kian meningkat tiap tahun, terbukti banyak fotografer asing dan lokal yang berburu foto Pacu Jawi yang konon selalu memenangkan kompetisi fotografi. Ya, karena itulah, Pacu Jawi sudah termasuk dalam kalender tahunan wisata Pemerintah Kabupaten Tanah Datar.

Saya langsung mendekati arena balap, sepetak sawah sedang diairi, sementara petani memboyong sapi dan menggotong alat pacu yang terbuat dari bambu. Alat pacu yang dipasang di tubuh sapi yang menjadi pijakan joki merupakan alat bajak yang sehari-hari digunakan untuk membajak sawah. Jadi, permainan ini bisa dibilang sangat sederhana.

Pacu Jawi umumnya dimulai sesudah zuhur, jadi sebaiknya persiapkan waktu menuju lokasi. Dari Padang, Tanah Datar dapat dicapai sekitar dua jam, sementara dari Bukittinggi satu jam saja. Dan Pacu Jawi dapat disaksikan secara gratis, tanpa tiket masuk. Ini adalah hajatan rakya, semua bebas menonton dan memeriahkan. Kita hanya perlu memonton di sekitar pagar yang dipasang untuk membatasi arena balap. Pagar ini juga untuk melindungi penonton dari sapi yang mungkin saja berbelok arah semaunya.

pacu jawi ohelterskelter.com
Joki berjuang mengendalikan sapi
pacu jawi ohelterskelter.com
Para pemburu foto Pacu Jawi
pacu jawi ohelterskelter.com
Joki membawa alat bajak

Menggigit Ekor Sapi Supaya Kencang Larinya

Saat kedua sapi sudah berada di depan arena, joki memasangkan alat pacu di punggung sapi. Untuk acara ini, alat pacu juga dihias dengan cat warna-warni. Kedua sapi juga dihubungkan dengan seutas tali agar tak terpencar. Lantas, untuk memacu sapi, joki pun menepuk pantat sapi sambil berteriak.

Kedua sapi melesat secepat kilat. Tak jarang, di tengah lajunya, sang joki menggigit ekor sapi untuk mendorong sapi agar melesat lebih pesat. Itulah momen-momen yang dinantikan para fotografer, juga penonton seperti saya, untuk menyaksikan saat joki menggigit ekor sapi sepersekian detik. Tak jarang, sang joki terpental ke lumpur, terseret, atau bahkan terpelanting jauh. Penonton bersorak saat itu terjadi. Sekali balapan, waktu yang dibutuhkan hanya sekitar lima detik.

Awalnya mata saya sulit menangkap keseluruhan proses. Setelah beberapa kali balap, barulah saya menemukan temponya. Saya bisa merasakan derap kaki sapi yang mengguncang, peluh joki yang bercampur lumpur yang bercipratan, dan degup jantung para penonton.

Sungguh perlombaan yang menakjubkan!

Karena seekor sapi bisa mengikuti balap berulang kali, tak heran pula jika kemudian mereka kelelahan dan kehilangan konsentrasi. Penonton adalah sasaran empuk, sapi bisa menyeruduk kapan saja. Juga, sang joki yang kelelahan bisa saja terpental pada detik pertama pacuan. Penonton dan fotografer yang memotret di sekitar arena mesti waspada. Sesekali lumpur juga menciprati pakaian dan kamera.

Ukuran sapi yang tak seimbang satu sama lain juga mengakibatkan pacuan terkadang tak berjalan mulus. Ada sapi yang kemudian tertinggal, ada pula yang melenceng ke arah samping hingga terlepas. Inilah menariknya Pacu Jawi, banyak hal tak terduga terjadi, yang mungkin memancing tawa. Lihat saja ketika seorang turis asing terjatuh saat pagar di dekatnya diseruduk sapi.

pacu jawi ohelterskelter.com
Mengigit ekor sapi
pacu jawi ohelterskelter.com
Sapi yang memberontak
pacu jawi ohelterskelter.com
Mencapai garis akhir

Tanpa terasa satu jam berlalu, Pacu Jawi masih berlangsung. Saya agak linglung karena kepanasan. Di balik payung fotografer lain, saya melongok mencari kawan-kawan seperjalanan. Mereka berkumpul di ladang jagung di samping sawah. Saya pung menghampiri, ternyata drone kawan saya melesat terbang dan jatuh di luar kendali. Angin kencang penyebabnya. Kami pun harus mengakhiri tontonan.

Saat meninggalkan arena balap, saya melewati tanah lapang yang dipenuhi sapi. Beberapa ternoda lumpur, beberapa masih mulus dengan kulitnya yang berwarna putih dan cokelat muda. Petani menarik salah satu sapi, saya memandanginya dan terharu. Mata sapi, konon, juga memancarkan keharuan.

Mencicipi Kuliner Lokal: Itiak Lado Mudo

Sebelum menyaksikan Pacu Jawi, saya bertolak dari Kota Bukittinggi. Dan berkunjung ke Bukittinggi rugi rasanya tanpa menikmati kulinernya. Salah satu yang paling terkenal adalah Itiak Lado Mudo, hidangan bebek muda yang dimasak dengan cabai hijau muda.

Tempat terbaik untuk menikmati Itiak Lado Mudo adalah Ngarai Sianok. Di kawasan lembah paling terkenal di Sumatera Barat ini berderet restoran yang menyajikan Itiak Lado Mudo sebagai hidangan utamanya. Pilih saja salah satu restoran di sana, dijamin kita bisa menikmati daging bebek yang empuk dengan pemandangan yang indah. Harga sepotong Itiak Lado Mudo cukup terjangkau, sekitar tiga puluh ribu per potong.

pacu jawi ohelterskelter.com
Itiak Lado Mudo yang lezat

Kunci kelezatan Itiak Lado Mudo ada pada bebeknya. Bebek yang dipilih berumur sekitar enam bulan. Mula-mula bebek dipotong, lalu direndam air panas dan dicabuti bulunya hingga bersih. Kemudian, daging bebek digodok dengan bumbu bawang merah, bawang putih, kunyit, dan lengkuas, juga cabai hijau. Bebek dimasak tanpa santan agar rasa daging lebih segar selama 24 hingga 48 jam untuk mendapakan cita rasa yang diinginkan. Daging tidak amis dan bumbu meresap sempurna.

Setelah menyantap nasi panas dengan daging bebek, jangan lupa juga memesan Teh Talua atau Teh Telur. Ini adalah minuman khas Sumatera Barat yang terbuat dari campuran teh, gula, dan kuning telur serta perasan jeruk nipis. Udara sejuk di sekitar akan membuat santap siang kita semakin nikmat dan berkesan.

Tips Menyaksikan Pacu Jawi
1. Periksa jadwal Pacu Jawi secara saksama, bisa dengan mengecek laman www.pacujawi.com atau menghubungi agen wisata setempat.
2. Pacu Jawi berlangsung sesudah zuhur, datanglah lebih awal untuk mendapatkan posisi menonton atau memotret yang diinginkan.
3. Kenakan sandal jepit atau sandal gunung karena mungkin saja akan menginjak lumpur.
4. Pakailah topi dan kacamata hitam karena sinar matahari sangat terik, bisa juga membawa payung.
5. Siapkan plastik atau cover apa pun untuk melindungi kamera dari cipratan lumpur.
6. Siapkan baju ganti kalau-kalau terciprat lumpur cukup parah.
7. Jangan takut kehabisan air minum, banyak pedagang di area perlombaan. Siapkan saja uang kecil.

pacu jawi ohelterskelter.com
Sapi jagoan Tanah Datar

a travel writer and blogger who have a big passion for writing and editing, social media, and photography.

Related Posts

12 Responses
  1. Mbak Yuki, saya orang Padang tapi belum pernah melihat pacu jawi dari dekat. Foto-fotonya bagus banget. Semoga tahun ini aku pulang kampung dan kesampaian nonton pacu Jawi. Amin 🙂

    1. iya, mas farchan. seru sekali ini menyaksikan Pacu Jawi, kalau berkesempatan ke Tanah Datar lagi juga pengin nonton lagi dengan lebih santai, enggak perlu foto dengan ambisius kayak fotorgrafer yang numpuk di atas, hahaha. 🙂

    1. makasiiih, fanny.
      iya, aku juga suka banget liat sapinya tegap-tegap dan bersih-bersih kulitnya, apalagi yang warna putih cakep-cakep. sapi ini juga untuk membajak sawah sehari-hari, sih, memang dirawat dengan baik sepertinya, ya. 🙂

  2. aku sebenernya udah komen di sini. ga tau kenapa g muncul ya 🙁

    yg jelas, aku pengen banget menyaksikan scr langsung pacu jawi. tulisannya mba Yuki selalu apik ee.
    Foto2nya juga semakin keren. Ganti kamera apa skrg mba?

    1. sabar, ya, Hanif, ini muncul juga akhirnya. 🙂

      iya, wajib banget nonton Pacu Jawi di Padang, semoga bisa segera tercapai, ya.
      sekarang pakai Fuji, nih, karena pengin lebih ringan. alhamdulillah, kalau makin baik tulisan dan fotonya, berarti ada peningkatan. 😛

Leave a Reply