“Back off, DUMBASS!”
Barangkali itulah yang ingin saya katakan saat melihat pemuda Arab yang menggoda–lebih tepatnya mengganggu–saat saya ke Puncak di hari Minggu sebulan yang lalu.
***
Hari Minggu itu sama seperti hari Minggu yang sudah-sudah, saya sedang bermalas-malasan sambil menonton acara ajaib di televisi. Tiba-tiba Yuya, adik saya, keluar dari kamarnya dan berteriak histeris.
“Kita ke Puncak, yuk!”
“Males, ah. Sama siapa?”
“Sama Rossi, sama Mami juga.” (Rossi: pacar Yuya)
“Mau ngapain?”
“Ya, main-main aja.”
AHA! Sebuah ide pun terbersit di pikiran saya. Oh iya, dari dulu saya pengen mencoba paralayang di Puncak.
Ide itu muncul karena sehari sebelumnya saya melihat-lihat foto lama ketika parasailing di Tanjung Benoa tiga tahun silam. Saya juga pernah melihat foto-foto teman saya yang paralayang di Puncak dan berniat mencobanya suatu hari nanti.
Saya pun meraih iPhone untuk googling. Hasilnya adalah, tempat paralayang di Puncak bernama Bukit Gantole. Lokasinya tak jauh dari area wisata kebun teh setelah melewati Masjid At-Ta’awun. Saya menemukan ada beberapa tarif yang beda, ada yang menyebutkan lima ratus ribu rupiah, ada yang tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Hmmm, lumayan mahal juga untuk terbang tak sampai lima belas menit.
Karena Mami harus memasak dulu untuk pria-pria penjaga rumah, Papa dan Abang saya, kami baru berangkat sekitar pukul dua belas siang. Lumayan kesiangan, apalagi ternyata jalan agak macet. Kami sampai di Ciawi tepat saat jalur menuju Puncak sedang ditutup. Yang dibuka adalah jalur turun.
Mau tak mau kami harus menunggu hingga jalur naik dibuka. Pukul setengah empat sore perjalanan baru bisa dilanjutkan. Kami sampai di Bukit Gantole pukul lima sore. Ternyata ada tiket masuknya, kalau tidak salah delapan ribu rupiah per orang.
Saat mencapai Bukit Gantole, saya kaget melihat pengunjung yang begitu ramai. Ada yang sedang foto-foto, ada yang piknik, ada yang mojok pacaran (padahal tidak ada pojokan). Wah wah, ternyata banyak pengunjung yang datang untuk duduk-duduk dan menikmati pemandangan sambil peluk-pelukan. Bukan bermain paralayang. Dan pengunjung yang saya maksud didominasi oleh orang Arab.
Cape deh!
Mereka sangat ribut dan rusuh. Saat bermain paralayang pun berteriak-teriak kehebohan, yang menurut saya sangat dilebih-lebihkan. Menurut saya, lho.
Setelah bertanya pada tukang jagung bakar yang terlihat ber-IQ tinggi (?), saya pun menghampiri tempat penjualan tiket.
“Mas, paralayang berapa, ya?”
“Tiga ratus lima puluh ribu.”
“Masih banyak yang antre gak?”
“Delapan orang lagi. Kalau mau Mba yang terakhir, ini mau tutup.”
“Boleh sendiri, Mas?” Ngana pikir?
“Gak bisa, harus tandem, kecuali Mba sudah ikut pelatihan.”
“Ya udah, saya mau deh.”
“Mau sama saya?”
Saya langsung membayar dan mendapatkan secarik kertas bertuliskan nama dan nomor urut antrean. Kemudian, saya mengajak Mami, Yuya, dan Rossi mojok seperti pengunjung lainnya. Sayangnya, kami tak membawa bekal, dan Boombox.
Sore semakin gelap, sudah setengah jam saya menunggu. Nama saya belum dipanggil juga. Saya semakin resah, takut hujan turun karena cuaca yang mendung, dan uang tiga ratus lima puluh ribu hangus. Apalagi udara semakin membuat dengkul menggigil, bodohnya saya yang datang dengan celana pendek. Untungnya lima belas menit kemudian giliran saya tiba. Rasa panik dan grogi pun menyergap.
“Ayo cepat, ini yang terakhir, Mba.”
Mas-mas bernama Alex, yang akan tandem dengan saya, langsung menyodorkan sebuah tas ransel besar, yang seperti memiliki alas untuk dudukan. Mas-mas yang lain sibuk memasangkan tali dan memberikan helm, lalu menyiapkan parasut yang akan kami pakai.
Ternyata, mereka buru-buru karena hari sudah sangat sore dan angin mulai menghilang. Itu akan menyulitkan karena paralayang sangat bergantung pada angin.
Alex pun langsung berdiri dengan tas parasutnya di belakang saya.
“Lari terus sampai ujung, ya, Mba.” Alex memberikan instruksi.
Saya melihat ke ujung landasan terbang yang dipenuhi pengunjung.
“Satu, dua, tiga!”
Kami serentak berlari dan tiba-tiba…
“Berhenti, Mba.” Alex berteriak sebelum kami terbang.
Parasut kami menyangkut di barisan pengunjung yang duduk di pinggir landasan. Orang-orang pun tertawa. Alex mengajak saya mundur kembali sementara teman-temannya merapikan parasut. Mendadak sesosok pria Arab muncul sambil menunjuk-nunjuk saya dan berteriak tak jelas. Jujur saya, saya merasa sangat terganggu. Sudah tahu orang mau terbang, dia malah berdiri menghalangi sambil tertawa-tawa.
“Ngomong apa, sih, dia?” tanya saya kepada Alex.
“Tau, stres kali!”
Seorang bapak-bapak petugas pun berteriak kepada pria Arab itu dalam bahasa Arab. Yang kemudian saya ketahui berarti: “Minggir kau, dia bukan muhrim-mu!”
Pria Arab itu mondar-mandir tak jelas di depan kami, masih tertawa heboh sendiri.
Duh, kayak orang gak pernah lihat cewek aja! *benerin poni*
Sementara itu, Yuya dan Rossi sudah siap dengan kameranya di depan landasan. Saya pun berdadah-dadah. Semenit kemudian saya sudah melayang di udara dan gembira luar biasa. Saya tidak panik atau gemetar sama sekali. Rasanya enak sekali bisa melayang-layang di udara dan melihat pemandangan yang indah dari atas.
Pertama-tama kami berbelok ke kiri lalu ke kanan, dan saya meminta Alex berputar lagi ke tempat yang sama supaya bisa terjangkau untuk difoto.
“Balik lagi, Mas.”
“Iya, tapi gak bisa deket banget, anginnya susah.”
“Oke!”
Saat asyik menikmati suasana, Alex pun bertanya.
“Mba gak bawa kamera?”
“Oh iya!”
Saya mengeluarkan iPhone dan mulai selfie berbagai gaya, dan Alex tak kalah norak dari saya. Saya sarankan untuk memasang tali pada ponsel atau kamera yang dibawa, takutnya kalian gemetar dan menjatuhkan gadget kesayangan.
Setelah memasukkan iPhone ke kantong celana masnya, tiba-tiba Alex menggoyang-goyangkan parasut dengan kencang. Saya pun berteriak kehebohan. Sensasinya sama seperti ketika bermain roller coaster. Sangat menegangkan!
“Lagi-lagi, Mas!” saya malah ketagihan.
Akhirnya kami mendarat dengan pantat mulus di landasan yang berada di antara area wisata kebun teh di bawah Bukit Gantole. Dari sini, kita harus menaiki ojek untuk kembali ke atas. Tarifnya dua puluh lima ribu rupiah. Sudah dipatok, sulit ditawar. Rossi dan Yuya tidak mau menjemput karena jalan macet parah.
Sesampainya di parkiran Bukit Gantole, saya menghampiri si Yaris Biru.
“Gila, enaaaak banget!” saya berteriak heboh sambil masuk ke mobil. “Mana-mana, lihat fotonya, dong!”
“Foto pas baru terbang gak dapet,” jawab Rossi.
***
Hati saya mencelus. Benar saja!
“Back off, DUMBASS!“