Terletak di ujung paling barat Pulau Jawa, yang tentunya membutuhkan usaha ekstra untuk dicapai, Pulau Peucang tak diragukan lagi menyimpan keindahan alam memukau. Potret pasir putih di pantai-pantainya telah menghiasi album para pejalan. Beberapa menyebutkan bahwa pulau yang termasuk dalam Taman Nasional Ujung Kulon ini memiliki alam yang masih liar.
Saya bertandang ke sana Januari lalu. Perjalanannya memang tak bisa dibilang sulit, pun tidak mudah. Dari Jakarta saya menempuh hingga delapan jam menuju Pandeglang, lalu bus ¾ yang saya tumpangi mogok karena terperosok di lumpur pada pukul lima pagi. Hampir dua jam terbuang untuk menarik ban yang terperangkap. Penduduk yang terjaga pun bergotong royong menarik bus dengan odong-odong, sebutan saya untuk mobil L300—orang Cengkareng pasti mengerti.
Bus melaju kembali dan tak sampai tiga puluh menit tiba di Desa Sumberjaya, Kecamatan Sumur. Di sini ada dermaga yang menghubungkan ke pulau-pulau kecil di sekitar. Mendadak cuaca memburuk, hujan turun dihiasi angin kencang. Saya buru-buru menaiki perahu. Dua perahu, untuk menampung saya dan rombongan, pun meluncur menembus ombak. Untunglah cuaca membaik di tengah perjalanan selama dua jam setengah, saya pun tiba di Pulau Peucang, disambut hamparan pasir putih nan bersih. Rupanya potret yang tersebar di Google benar adanya.
Tak ada pengunjung lain Sabtu itu, hanya saya dan teman-teman. Kami pun berterbaran ke sana-sini seperti anak kecil yang baru pertama kali menginjak suatu pulau. Di Pulau Pecang hanya terdapat satu penginapan yang dikelola PT Wanawisata Alam Hayati, yang tarifnya berkisar lima ratus ribu ke atas. Namun, pada trip ini kami menempati rumah yang ditinggali oleh pengelola taman nasional.
Berikut ini 7 hal mengasyikkan yang akan kamu temukan di Pulau Peucang dan sekitarnya.
1. Pantai pasir putih yang indah
Siapa yang tak suka bersantai sambil berenang-renang di pantai pasir putih yang indah, dan bersih? Teriknya matahari di sini dijamin akan membuat kulit matang sempurna. Karena itulah, dari bincang-bincang dengan pengelola, saya mendengar banyak turis asing yang mengunjungi pulau ini.
2. Hewan liar berlalu-lalang di segala tempat
Inilah yang membedakan Peucang dan pulau-pulau lainnya yang pernah saya kunjungi. Saat berjalan menuju wisma, saya terkejut melihat rusa dan monyet yang mondar-mandiri di lapangan rumput. Dan ternyata, dari tadi monyet-monyet bergelantungan di atas kepala saya. Selain rusa tampan dengan tubuh tegap, sungguh berbeda dengan rusa di Kebun Raya Bogor, babi hutan atau celeng pun tak ragu-ragu menghampiri kita saat makan. Mereka biasanya tidak menyerang, asalkan tidak diusik. Perhatikan pulang barang-barang kita karena monyet senang mengambilnya jika kita lengah, bahkan baju yang dijemur, dan selalu kunci pintu kamar karena paginya saya terbangun menyaksikan monyet mengacak-acak dapur.
3. Tak ada sinyal seluler
Pulau Peucang adalah tempat bersantai, pelarian dari rutinitas, yang sempurna karena tak terjangkau sinyal seluler. Tak perlu repot-repot mengunggah selfie di pantai atau saat dijambak monyet, simpan telepon genggam dan nikmati liburan singkat ini.
4. Trekking ke Karang Copong
Trip ke Pulau Peucang tak lengkap tanpa trekking ke Karang Copong, sebuah karang bolong mirip Tanah Lot di sebelah barat pulau, tempat favorit untuk menikmati matahari terbenam. Sebelum perjalanan sebaiknya mengonsumi obat antimalaria dan membawa losion antinyamuk. Kenakan sepatu atau sandal gunung dan pakaian yang nyaman. Trekking memakan waktu hingga satu jam. Di sepanjang jalan saya berpapasan dengan biawak, dan hutan ini adalah habitat burung elang, burung hantu, dan merak. Saya pun sempat berhenti saat melihat pohon menjulang dengan akar raksasa, pohon kiara namanya.
5. Berburu banteng di Cidaon
Cidaon berjarak sekitar dua kilometer dari Peucang, sekitar dua puluh menit dengan perahu. Terletak di kawasan utama Taman Nasional Ujung Kulon, Cidaon terkenal sebagai tempat berkumpulnya kawanan banteng. Di sini juga terdapat menara untuk menikmati panorama dari ketinggian.
6. Bermain kano di Muara Cigenter
Setelah dua kali trekking dan berenang-renang, saya menjajal aktivitas lain yang ditawarkan Ujung Kulon, yaitu bermain kano—atau lebih tepatnya menumpang kano. Dari Pulau Peucang perahu meluncur ke Pulau Handeuleum, singgah sebentar, lalu melanjutkan perjalanan ke Muara Cigenter. Perahu kurus-panjang menyambut saya, juga sang tukang perahu. Kami diberi dua dayung jika ingin turut mendayung. Saya tentu saja lepas tangan karena panik dengan perahu yang seperti hendak kandas, air laut sejajar dengan perahu dan guncangan karena ombak sungguh mendebarkan. Untunglah, begitu memasuki muara, ombak berangsur tenang, dengan pohon-pohon aren menghiasi di kanan-kiri. Saat kembali ke perahu utama, saya tak berhenti tertawa karena tukang perahu meminta saya menggayung air yang merembes.
7. Snorkeling di Cihandarusa
Hal yang saya nanti-nantikan pun tiba, pada hari terakhir trip, setelah aksi menggayung kano yang menegangkan, saya menjajal snorkeling di Cihandarusa pada perjalanan kembali menuju Pulau Peucang. Air yang jernih dan terumbu karang yang indah membuat saya tak puas-puas menyelam.
Sungguh, petualangan dua hari di Pulau Peucang terasa begitu berkesan. Mungkin ada yang beranggapan bahwa atraksi di sini tak liar-liar amat dibandingkan tempat lainnya di Indonesia, tapi Pulau Peucang tetap istimewa. Ia memiliki versi liarnya sendiri, dengan rusa dan babi hutan yang mengitari kita saat makan, dengan biawak yang melintas saat kita menuju kamar mandi, dengan monyet yang berlompat-lompat saat kita berbaring di hammock pada malam hari. Pulau Peucang tiada duanya dan saya tak ragu untuk kembali ke sana.
P.S. Jangan lupa luangkan waktu sebentar untuk dukung saya ikutan #KeralaBlogExpress di sini, ya. Vote kalian sangat berarti. Terima kasih! 🙂