“Kita harus ke Liverpool!”
Tama tiba-tiba menyahut, lantas menunjukkan tabel warna-warni pada laptopnya. Kami diburu waktu, petualangan musim dingin tinggal hitungan minggu dan visa mesti diajukan dan rencana perjalanan mesti dirampungkan. Saya tahu mengapa ia memilih kota maritim itu, tentu untuk mengunjungi kandang klub sepak bola favoritnya yang berslogan tak pernah berjalan sendirian itu. Saya pun menunggu kelanjutannya.
“Terus kita bisa ikut tur The Beatles!”
Dan Tama mulai mendendangkan lagu grup musik yang berdiri pada 1960 itu, antara “Strawberry Fields Forever” atau “All My Loving,” saya lupa persisnya.
Yang pasti saya kemudian balas menyanyikan “Across the Universe,” lagu favorit saya.
Jai Guru Deva Om…
Bus tingkat biru yang kami tumpangi tiba di Liverpool One Bus Station sekitar pukul lima pagi. Lima jam perjalanan dari London ternyata kurang memuaskan hasrat yang belum terpenuhi sejak pendaratan di Inggris. Malam pertama setelah penerbangan belasan jam malah dihabiskan di kursi, bukan kasur.
Sesuai jadwal, Megabus yang ongkosnya cuma lima poundsterling menurunkan kami di halte yang dinginnya minta ampun. Musim dingin di Inggris seyogianya tak sedingin negara lain, tapi ini pagi buta. Matahari baru akan meluncur tiga jam lagi.
Dan penumpang lain entah bagaimana tiba-tiba kompak menghilang. Mungkin mereka punya ilmu teleportasi.
Tinggal saya dan Tama menahan gigil. Nyawa belum terkumpul, apalagi kemampuan analisis spasial. Kami kelimpungan. Apesnya begitu kena angin, saya kebelet buang air kecil. Melihat dua carrier babon tergeletak di lantai, saya meminta Tama menunggu sementara saya berburu toilet. Kantor perwakilan bus terlihat di ujung gedung yang menyambung dengan Hotel Hilton (seandainya kami menginap di sini), lampu menyala dan pintunya terbuka, tapi ternyata pintu toiletnya dikunci.
Saya pun bertanya pada seorang pria yang melintas. Ada di gedung parkir, tunjuknya. Saya berlari mengikuti arah telunjuknya dan begitu melihat jajaran mobil, pesimis rasanya bisa menemukan toilet. Kalau diculik orang pun takkan ada yang tahu. Saya langsung lega saat melihat petugas keamanan di sebuah ruangan, saya bertanya soal toilet dari balik kaca dan ia menunjuk ke samping. Ya ampun, toiletnya tepat di depan muka.
Ternyata, bukan saya saja yang butuh jamban. Begitu kembali ke halte yang lumayan jauh–sampai rasanya ingin buang air lagi, gantian Tama ingin buang air besar. Begitulah, tiga puluh menit pertama direpotkan urusan kakus.
Kami lantas membopong tas menuju ruang tunggu bus yang hangat; yang ternyata pintu toiletnya sudah bisa dibuka. Sialan, kenapa tadi masih dikunci, kutuk saya. Hari beranjak terang saat kami mengudap roti khas Wales, Welsh Cake, yang diberikan teman Tama di London. Semacam pai kering berisi kismis yang enak dan mengenyangkan.
Begitu cahaya keemasan mengintip, kami bergegas keluar. Misi pertama adalah menaruh tas di loker Liverpool Lime Street Station, dari situlah sorenya kami bertolak lagi. Bermodal Google Maps, kota yang pernah berjaya pada masanya ini mulai memamerkan diri. Gedung-gedung bertingkat khas Inggris berjajar rapi, didominasi dinding bata. Trotoar lebar yang nyaman untuk pejalan kaki. Gang-gang yang menyembunyikan kreativitas kontemporer.
Stasiun bisa dicapai dalam sepuluh menit, tapi dengan kondisi saat itu rekornya dua kali lipatnya. Setelah beban di punggung hilang, barulah saya menyadari bahwa sepanjang jalan dari halte menuju stasiun adalah pusat perbelanjaan dan pertokoan dan restoran. Saya tergoda untuk melipir, tapi Tama mengingatkan bahwa misi kedua adalah mengejar tur The Beatles. Tiketnya mesti dibeli di dekat area pelabuhan bernama Albert Dock.
Ternyata, Albert Dock bukanlah pelabuhan. Ia adalah komplek gudang bongkar-muat yang dibuka pada 1846 untuk menyimpan kargo berharga, seperti brandy, katun, teh, sutra, tembakau, gula, dan gading.
Ketika itu, pergudangan ini dianggap revolusioner karena menerapkan sistem pemuatan kargo langsung dari kapal ke gudang, juga karena memiliki gudang tahan api pertama di dunia. Bangunan rancangan Jesse Hartley dan Philip Hardwick ini memang dibangun dari besi cor dan batu bata dan granit, tanpa kayu sama sekali–kecuali fondasinya yang terdiri dari 13.729 kayu gelondongan yang membentang sejauh 77 kilometer untuk menstabilkan segala yang berada di atasnya.
Desain yang mencolok dari pergudangan yang dibangun di tepi Sungai Mersey ini adalah pemasangan pilar besi merah setinggi 4,6 meter yang bergaya Dorik dari Yunani–mungkin karena itu Albert Dock disebut memiliki gaya arsitektur Cyclopean Classicism, yang terinspirasi dari peradaban Zaman Perunggu di Mykines.
Pemilihan besi ketimbang granit untuk bahan pilar diduga karena lebih ekonomis. Versi lain menyebut granit habis terpakai untuk konstruksi dinding raksasa gudang. Saking tingginya kebutuhan granit, mereka membangun sendiri tambang granit di Kirkcudbrightshire, Skotlandia. Kualitas bahan dan ukuran gudang ini merepresentasikan kemakmuran Pelabuhan Liverpool pada era itu.
Meski dianggap mahakarya, pergudangan ini berulang kali jatuh-bangun. Ia sempat terbengkalai usai Perang Dunia II karena pemiliknya, Mersey Docks and Harbour Board, mengidap krisis keuangan.
Saat itu Albert Dock menjadi basis pertahanan angkatan laut Inggris. Tercatat mulai dari kapal selam, kapal perang, hingga kapal pengangkut tank pernah berlabuh di sini. Ia terluka parah pada tahun 1941 ketika dibom oleh Jerman.
Setelah itu Albert Dock terkatung-katung dioper dari pebisnis ke pemerintah ke pebisnis lagi dan seterusnya. Kondisi politik yang berkiblat ke Eropa pun memunculkan tren pergudangan baru di berbagai wilayah lain di Inggris, Liverpool tersisih. Apalagi saat itu penemuan peti kemas amat mengubah sistem pengiriman dan pemuatan barang. Barulah pada 1952, teknologi dan arsitekturnya yang adiluhung diberi status Grade 1  Listed Buildings.
Setelah renovasi pada 1980 dan Albert Dock Company Ltd (pemiliknya kini) membuka peluang bagi industri wisata pada 2007, Albert Dock menjadi salah satu atraksi wisata paling populer di Inggris di bawah London. Ia terdaftar dalam World Heritage Maritime Mercantile City UNESCO yang dikunjungi hingga empat juta turis tiap tahunnya.
Dari lima bangunan gudang yang berdiri kokoh, kita bisa mengunjungi Merseyside Maritime Museum, Tate Liverpool (ini museum seni yang kece banget!), dan The Beatles Story. Untuk akomodasi, Holiday Inn dan Premier Inn siap menampung.
Menyusuri selasar Albert Dock tidak bisa dilakukan barang sebentar. Dari ujung ke ujung banyak hal yang membuat kaki tak henti menjelajah, entah tergoda oleh toko yang memajang pernak-pernik bertema kelautan ataupun galeri seni yang mengapresiasi gelora kontemporer. Perahu-perahu kecil yang bertambat menciptakan pantulan yang menawan di air. Keluar dari komplek Albert Dock yang berbentuk persegi panjang, kita akan menemukan Hartley Bridge, jembatan hidrolik yang mengantar ke sisi lain pelabuhan. Ada Canning Dock dan Salthouse Dock yang juga menjadi situs bersejarah.
Di luar pergudangan kita bisa menemukan lebih banyak kapal layar warna-warni. Pengunjung asyik berfoto di depannya. Juga di depan lokomotif tua yang dimodifikasi menjadi kedai es krim. Di ujungnya terdapat menara pompa yang kini menjadi restoran bernama The Pump House. Kalau punya anggaran lebih, sisihkanlah untuk makan malam di sana sambil menikmati langit senja. Suasananya menyenangkan.
Matahari menyusup dari jentera putih yang berada di sisi kiri Albert Dock. Saya dan Tama menyusuri pinggir sungai menuju Anchor Courtyard di Atlantic Pavilion. Di sana terdapat kantor penjualan tiket tur The Beatles. Kami mengincar tur paling awal, pukul sebelas, karena siangnya mesti ke Anfield. Tiba-tiba gerimis turun dan kami berlari menuju bangunan bundar serupa menara sempit di atas puri. Dan, ternyata tiketnya habis!
Untuk tur jam pertamanya.
Kami melangkah keluar dengan ceria, dua tiket pukul satu sudah di tangan. Tinggal Tama yang pusing takut tidak sempat mengejar tur Anfield.
Dan apa yang harus dilakukan jika punya waktu luang beberapa jam? Keliling Albert Dock tentunya!
Photos: me & @tamagraph