Membahas sejarah Indonesia tak pernah terlepas dari bayang kolonialisme dan penjajahan. Ini sudah ditelan bulat-bulat sejak buku pelajaran sejarah masih berjudul Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa hingga berganti Sejarah semata. Yang paling saya ingat–dan mungkin juga anak sekolah seangkatan saya, adalah bahwa Indonesia, misalnya, dijajah Belanda selama 350 tahun. Bahwa alasan utama bangsa Eropa datang ke Nusantara adalah memburu hasil bumi kita yang berlimpah. Rempah-rempah.
Yang pada masanya dimanfaatkan sebagai bahan penghangat tubuh di Eropa yang dingin sana; entah dibikin kue saat Natal atau dicampur dalam teh dan cerutu.
Namun, sebagaimana sejarah dituturkan secara sepihak dan mesti dihapal selama berpuluh-puluh tahun, kemajuan penyebaran informasi saat ini membuat masyarakat lebih mudah mencari referensi lain. Semisal, apa betul Belanda menindas Indonesia selama tiga setengah abad?
Rempah-rempah adalah pembentuk sejarah Nusantara. Jauh sebelum bangsa Eropa menginjak tanah air, Maluku sudah dikenal sebagai penghasil rempah-rempah yang diperebutkan pedagang India, Persia, Arab, Tiongkok, hingga Mesir. Dunia mengenal Jalur Sutra sebagai jalur perdagangan antara dunia Barat dan Timur. Padahal, sutra hanyalah sampiran kecil dari transaksi, komoditas utamanya rempah-rempah. Menurut sejarawan JJ Rizal, rempah-rempah yang diperdagangkan bahkan mencapai 188 jenis. Selama beratus-ratus tahun hasil bumi Ternate, Tidore, Makian, Bacan, dan Moti dibawa ke Malaka dan Manila, meja dagang antara Barat dan Timur.
Bangsa Eropa pun penasaran dengan komoditas yang konon berharga melebihi emas. Apalagi setelah Perang Salib, Kesultanan Utsmaniyah menutup jalur pedagangan ke Timur. Orang Eropa tidak ingin gigit jari; mencari akal untuk menemukan sumber rempah-rempah. Pada abad ke-16 dan 17, para penjelajah samudra mulai berlayar memburu Kepulauan Rempah yang melegenda.
Pada tahun 1512, menempuh samudra sejauh 14.000 kilometer, pelaut Portugis bernama Fransisco Serrão menjadi orang Eropa pertama yang berhasil melewati Malaka dan menginjakkan kaki di Maluku. Ekspedisi perburuan sumber cengkih dan pala ini diprakarsai oleh Afonso de Albuquerque, Jenderal Portugis yang memiliki misi menguasai perdagangan rempah-rempah sekaligus menyebarkan agama Kristen.
Kedatangan Serrão bukanlah untuk bertamu dan menyesap kopi sambil berbincang di teras rumah. Terlebih, ketika itu Kesultanan Ternate dan Tidore sudah menjalankan perdagangan rempah-rempah sendiri. Tujuh tahun kemudian, sepupu Serrão yang sesama penjelajah, Ferdinand Magellan, juga hendak memulai ekspedisi ke Maluku di bawah bendera Spanyol. Mereka berjanji untuk bertemu di Maluku. Dua bersaudara yang berada pada pihak yang memperebutkan Kepulauan Rempah.
Pertemuan itu tak pernah terjadi. Pada April 1521 kapal Magellan berhasil mencapai Filipina, tapi ia mesti tewas dalam pertempuran–walaupun ekspedisinya berhasil menambatkan jangkar di Tidore delapan bulan kemudian. Pada waktu yang sama, Serrão diduga tewas diracun oleh Sultan Tidore dengan semacam daun sirih. Pada akhirnya, Portugal menguasai Ternate selama 63 tahun (1512-1575) dan Tidore oleh Spanyol selama 142 tahun (1521-1663).
***
Petang itu, tepat setahun yang lalu, usai meliput Gerhana Matahari Total di Benteng Tolukko, saya dan kawan-kawan melanjutkan perjalanan ke Pulau Tidore. Itu adalah kali pertama saya menginjak pulau yang dijuluki Kie Duko. Pulau Bergunung Api. Mengacu pada Gunung Marijang yang kini tak aktif lagi. Dari Pelabuhan Bastiong, kami menyusuri dermaga yang dipenuhi juru angkut. Salah satunya tersenyum dan melambaikan tangan pada saya–ataukah pada kawan bule saya?
Menumpang perahu motor selama beberapa belas menit, tibalah kami di Pelabuhan Rum yang sejuk. Lucunya, begitu melangkah keluar, barisan becak motor dengan musik berkumandang berebut menghampiri. Walaupun ingin, saya belum bisa menumpang bentor dulu. Mobil jemputan siap mengantar kami ke Pantai Tugulufa untuk menyaksikan Festival Gerhana Matahari Total.
Di jalan pulang, kami singgah di Benteng Torre yang berada di Soa Sio. Berbeda dengan kondisi Benteng Tolukko yang cukup utuh, Benteng Torre sebagian besar tinggal dinding. Benteng yang konon dibangun pada tahun 1578 oleh Kapten Portugis Sancho de Vasconcelos ini berdasarkan persetujuan Sultan Gapi Baguna yang saat itu memerintah. Nama Torre diyakini berasal dari nama Kapten Portugis lainnya, yaitu Hernando de la Torre.
Namun, semenjak Spanyol menguasai Tidore–jauh setelah Portugal lebih dulu menguasai Ternate, dibangun pula sebuah benteng yang diberi nama Santiago de los Caballeros de Tidore atas perintah Gubernur Cristobal de Azcqueta Menchacha (1610-1612). Benteng ini rampung tahun 1615, pada masa kekuasaan Gubernur Don Jeronimo de Silva (1612-1617), dan namanya kemudian dikenal sebagai Benteng Tahula. Ia menjadi basis militer Spanyol hingga tahun 1662. Sebuah tengara Spanyol di Pulau Seribu Jin.*
Kedua benteng ini dibangun di atas bukit batu, di pesisir barat Pulau Tidore yang menghadap Ternate. Fungsinya memang menjadi pusat pertahanan atas hegemoni rempah-rempah. Menapaki tangga menuju Benteng Torre, saya sempat terengah-engah karena anak tangga yang seperti tiada habisnya. Di kedua sisi saya batu-batu besar bersusun acak; bayangkan kalau tidak ada tangga. Bagaimana orang zaman dulu naik ke benteng ini? pikir saya sekilas. Di pemberhentian pertama berdiri sebuah pondok dan beberapa kawan menertawakan saya. Mas Yoan, kawan dari National Geographic, lebih dulu tiba di puncak. Saya terkesan melihat taman di depan benteng yang cukup rapi, dan beberapa pemuda bercengkerama di pondok-pondok yang tersedia.
Langit mulai gelap, saya buru-buru memasuki benteng, ke menara pengawas di sebelah kanan. Ada jendela kecil di sana, menghadap laut dan pulau di seberang. Mengamati kondisinya saat ini, bisa dibilang benteng ini tinggal separuh. Bagian belakangnya hanya berupa tumpukan batu besar muntahan dari gunung berapi. Yang pasti, arsitektur Benteng Torre lebih sederhana ketimbang benteng Portugis yang ada di Ternate.
Menyebut Ternate, saya teringat pada Serrão yang berjanji menunggu Magellan di sana. Konon, ia sengaja menunjukkan arah yang salah kepada Magellan–yang ketika itu mewakili Spanyol mencari Kepulauan Rempah. Mungkin ia tahu, bahwa ekspedisi itu juga demi menaklukkan Maluku, merebut monopoli perdagangan rempah-rempah.
Serrão benar adanya; terbukti Spanyol berhasil menguasai Tidore hingga seratus tahun lebih. Dan kedua negara Eropa ini terus bertikai sambil menggerogoti tanah mereka berpijak. Hingga akhirnya Belanda menyingkirkan keduanya dan mengawali kolonialisme di Nusantara.
Memandang senja yang merayap, saya teringat pada Benteng Tahula yang berada tak jauh. Benteng bikinan Portugal dan Spanyol berdampingan hingga kini. Apakah Serrão dan Magellan akhirnya menggenapi janji mereka karena berada di atas tanah yang sama? Entahlah, saya pun tak sempat ke Benteng Tahula sore itu karena mesti kembali ke Ternate.
Anehnya, saya merasa masih berutang karena belum mengunjungi Benteng Tahula. Mungkinkah dengan menginjak benteng kembar ini saya akan mendapat penglihatan baru. Bahwa semalang-malangnya perselisihan dua saudara, lebih malang lagi melihat pertikaian antara Ternate dan Tidore dahulu kala. Dua bersaudara dari Kepulauan Rempah yang diadu domba.
Hingga kaki ini bisa menginjak Tidore lagi, saya menantikan saatnya mengucapkan to ado re, Tidore. Daku telah sampai…
*Meminjam istilah Mahandis Yoanata Thamrim dalam tulisannya “Remah Benteng di Bentang Rempah” di National Geographic Traveler edisi Mei 2016. Pulau Seribu Jin mengacu pada kepercayaan masyarakat yang sering berkomunikasi dengan jin.