Tak pernah saya duga sebuah pameran maskapai penerbangan nasional dua tahun silam telah menjebak saya hingga tak bisa beranjak dari kursi lebih dari empat jam. Pameran mesti usai, jam menunjuk sepuluh lebih. Barangkali, agen yang saat itu melayani saya, kalaulah bukan kawan, pasti hendak membakar kemenyan dan mengusir saya jauh-jauh. Saya agak bebal memang, ganti tanggal dan jam berulang kali, ganti nama, ganti ini, ganti itu. Kawan saya pasti dapat pahala besar malam itu. Ya, paling tidak bonus lumayan karena saya memborong dua puluh enam tiket.
Berarti ada tiga belas kepala yang akan terbang ke Ambon. Dan bertambah menjadi delapan belas saat keberangkatan pada tahun depannya.
Tentu saya pusing tujuh keliling; kami seperti rombongan tarkam yang akan menyerang kampung orang.
Perjalanan ini akan rusuh, memercikkan konflik, membakar emosi. Kecemasan melanda. Untunglah, mungkin karena saya rajin menyembah matahari, delapan belas mulut dan tiga puluh enam kaki yang terbagi dalam dua mobil sewaan itu akur-akur saja hingga kini.
Dan, itu menjadi salah satu perjalanan paling berkesan dalam hidup saya. Pada hari keempat, pemain gugur tinggal tiga belas. Melanjutkan penerbangan ke Pulau Kei Kecil, Kepulauan Kei, Maluku Tenggara, kami tiba seperti rombongan peraih medali emas. Bandara Satsuitubun yang berada di Langgur tak besar-besar amat, tapi terasa lapang, dan menyenangkan karena udaranya nyaman. Cukuplah untuk menyambut rombongan kami yang berjalan seperti iringan itik.
Satsuitubun adalah satu-satunya bandara di Kepulauan Kei, tepatnya berlokasi di Pulau Kei Kecil. Mengapa di Kei Kecil, bukan Kei Besar? Karena kontur Kei Besar yang berupa hutan lebat dan perbukitan tak memungkinkan untuk dijadikan landasan pesawat terbang. Mungkin juga karena kampung John Kei ada di sana.
Kepulauan Kei terdiri atas dua pulau utama, Kei Kecil dan Kei Besar. Keduanya berada di Kabupaten Maluku Tenggara, dengan ibu kota Langgur. Maluku Tenggara memiliki 119 pulau dan 6 kecamatan, yaitu Kei Besar Utara Timur, Kei Besar Selatan, Kei Kecil Barat, Kei Kecil Timur, dan Kei Kecil. Mayoritas penduduknya adalah Suku Kei, diikuti oleh Jawa, Bugis, Makassar, dan Buton. Dalam perjalanan ini kami hanya menjelajahi Kei Kecil karena waktu yang terbatas, tiga hari sahaja.
Dua mobil sewaan sudah menunggu, Avanza dan angkot. Kami sengaja menyewa satu angkot agar tas-tas raksasa kami bisa muat. Ada beberapa angkutan umum di Kei Kecil, tapi begitulah, rute dan armadanya terbatas. Bahkan, tak ada lampu lalu lintas di sana. Gampangnya memang sewa mobil untuk menjangkau tujuan yang diinginkan.
Bukan hanya urusan transportasi, pesan penginapan pun cukup sulit. Jangankan berharap email cepat dibalas, telepon lebih sering tidak aktif. Itulah yang terjadi saat kami mencari penginapan di Pantai Ngurbloat atau yang lebih populer disebut Pasir Panjang. Tadinya kami mengincar Coaster Cottage, tetapi karena penuh beralih ke penginapan Mama Tita. Namanya Villa Monica.
Ternyata, penginapan ini asyik sekali, kami dapat satu rumah dengan lima kamar. Harga menginap termasuk makan tiga kali sehari. Ada dua kamar mandi yang tersedia–sesuai kebutuhan kami–yang selebar kamar mandi di stadion bola. Oh, yang paling penting, dari Villa Monica hanya perlu jalan kaki lima menit menuju Ngurbloat!
Ini dia tiga hal penting yang kami lakukan di Pulau Kei Kecil selama tiga hari.
Hari Pertama: Keliling Pantai
Jangan heran kalau ada banyak betul pantai berpasir putih nan indah di Pulau Kei Kecil. Tentunya yang paling populer adalah pantai di depan villa kami. Pantai Ngurbloat atau Pasir Panjang. Pasir di pantai ini sangat halus, dan saya patah hati saat mengetahui pasir yang saya bawa dalam botol jauh-jauh ternyata dipakai tanpa izin oleh abang saya untuk kandang burungnya. Kenapa pula kandang burung butuh pasir putih?
Dari Ngurbloat, kami menuju Pantai Ngursarnadan yang masih satu garis dengan Ngurbloat. Pantai ini serupa cantiknya, jaraknya lima belas menit saja.
Setelah bertanya-tanya kepada Bang Ari, supir sekaligus pemandu yang merupakan lulusan Fakultas Hukum Trisakti, mobil diarahkan ke Pantai Madwaer. Lokasinya lumayan jauh, satu jam lebih dari penginapan. Namun, pasir putih dan barisan pohon kelapa di sini sungguh menggoda. Apalagi hampir tak ada pengunjung lain di sana. Kami menunggu matahari terbenam sambil menikmati kelapa muda, dan menggodai anak-anak kecil yang berenang.
Menunggu senja.
Hari Kedua: Wisata Gua dan Bukit dan Hopping Island
Ternyata, Pulau Kei Kecil tak hanya memiliki sederet pantai sepi, ada juga gua dan bukit yang indah. Setelah menikmati sarapan lezat bikinan Mama Tita, rombongan berangkat agak kesiangan, pukul sepuluh.
Kami meluncur ke Bukit Masbait yang terkenal sebagai tempat ziarah umat Katolik. Dari puncak menara, yang dihiasi patung Yesus, kita dapat menyaksikan pemandangan yang menakjubkan. Bukit ini dapat ditempuh dengan trekking ringan lima belas menit saja. Pokoknya selama berada di bukit yang sejuk ini, kamu akan merasa betah dan tak ingin pulang. Pada saat Paskah, bukit ini tentunya akan padat pengunjung.
Dari Bukit Masbait, kami bergeser menuju Gua Hawang. Perjalanan sekitar tiga puluh menit saja. Gua Hawang terletak di Desa Letvuan. Kalau kita dating pada siang hari pasti akan terpukau dengan keindahannya. Di sini terdapat kolam dengan air biru yang berkilau. Airnya begitu jernih dan menggoda untuk diselami.
Karena hari pertama kami tak sempat hopping island, kami pun kembali ke penginapan dan memesan sebuah perahu. Bang Ari membantu mencari perahu yang dapat mengantar keliling pulau. Sebuah perahu pun didapat, sewanya sekitar delapan ratus ribu rupiah. Perahunya cukup besar dan memuat kami semua.
Perahu berlayar tak jauh dari villa kami di Desa Ngilngof. Ternyata siang itu ombak cukup besar, kami pun tak kesampaian menuju Pantai Ngurtafur yang terkenal sering didatangi burung pelikan merah jambu yang bermigrasi dari Australia.
Tapi, kami mampir ke sebuah pulau kosong untuk makan siang. Pulau ini kecil saja, tapi pantainya sangat indah dah bersih. Pulau Nukahai namanya. Pasir putihnya sehalus bedak dan airnya bergradasi dari biru hingga pirus. Setelah itu, kami snorkeling di Pulau Ohoieu. Benar-benar memuaskan!
Hari Ketiga: Belanja Oleh-oleh
Sayangnya, ini hari terakhir di Kei Kecil. Kami pun mengunjungi pusat oleh-oleh di Tual. Di toko pertama saya membeli enbal, kudapan khas Kei yang terbuat dari singkong dan menjadi teman minum kopi atau pengganti nasi jika dimakan dengan hidangan kuah ikan. Warnanya putih keruh dan berbentuk persegi panjang. Rasanya unik, agak asam dan hambar. Saya juga membeli enbal yang bertabur kacang, yang sudah diberi gula.
Di toko seberang terlihat botol-botol hijau, antara botol bir atau kecap, yang bersusun di meja depan. Itu adalah kacang botol, kacang goreng yang dikemas dalam botol bekas, entah bekas bir, kecap, ataupun sirup. Sungguh kreatif, selain ramah lingkungan dengan memanfaatkan barang bekas, biaya produksi tentu lebih hemat. Ada pula kacang yang dijual dalam kemasan plastik, tapi judulnya tetap kacang botol. Sungguh konsisten!
Tiga hari memang terlalu singkat untuk menjelajahi Kei Kecil, masih begitu banyak tempat yang ingin dituju. Namun, tiga hari cukup membuat saya jatuh hati kepada Kei.