“Bukit Holbung!”
Belum selesai saya menuntaskan pertanyaan tentang rencana petualangan esok hari, abang saya sudah berseru dengan semangat empat lima.
Ingatan saya kembali pada sebuah judul tulisan di majalah maskapai penerbangan yang kami tumpangi hari sebelumnya, tentang bukit yang berada di daerah Samosir.
Ini adalah perjalanan pulang kampung yang amat lama–lebih tepatnya lima tahun–tertunda, yang terwujud karena dorongan sana-sini. Utamanya karena bujukan ibu saya untuk berziarah ke makam ibunya, nenek saya, untuk pertama kalinya. Sepertinya saya cucu yang tak terlalu beradab.
“Kalau ibu tak ada umur lagi, bagaimana kalian tahu kuburan nenek?”
Tak bisa mengelak lagi. Terbanglah saya bersama ibu dan abang saya, juga Tama ke Medan. Esok harinya, kami merapat satu malam di Parapat untuk bernostalgia, sebelum melanjutkan perjalanan sekitar lima jam lagi menuju kampung halaman ibu dan nenek.
***
Tidak seperti sebelumnya ketika saya dan abang dan ibu harus menumpang satu kereta–sebutan sepeda motor bagi orang Sumatra Utara, kali ini kami bisa menaati peraturan berkat kehadiran Tama. Sembari menyantap mi sop di kedai depan Pelabuhan Tomok untuk sarapan, kami menanti kereta sewaan diantar oleh pemiliknya. Dua kereta matic dengan bensin penuh tiba tepat saat makanan tandas.
“Pergi full pulang full, delapan puluh ribu, ya,” ujar bapak berjaket kulit hitam.
Bah. Hanya ada dua helm, alamat yang dibonceng mesti rela memasrahkan nasib pada pengendara. Belajar dari pengalaman, saya siap melindungi kepala dengan topi dan memakai jaket lengan panjang. Udara di Pulau Samosir memang sejuk melenakan, membuat kita alpa pada teriknya matahari. Lantas hanya bisa mengelus dada dan mengeluh saat kulit perih terbakar matahari.
Tama kebagian membonceng saya; mau bagaimana lagi, saya tidak bisa mengendari motor. Tak berapa lami kami melesat meninggalkan Tomok, tempat kapal dari Parapat berlabuh. Abang dan ibu saya memimpin konvoi (dapatkah dua kendaraan menyebut perjalanannya sebagai konvoi?). Destinasi hari itu adalah Bukit Holbung.
Ya, keputusan sepihak abang saya diterima tanpa debat. Lagi pula, ini kali ketiga saya mengunjungi Samosir dan belum sekali pun mengunjungi Bukit Holbung. Melihat foto-foto yang dipajang di media sosial, tampaknya bukit ini sedang digandrungi anak muda. Pemandangannya indah, walaupun lebih banyak terhalang wajah-wajah swafoto.
Rute sudah dipelajari, tinggal mengarah ke Pangururan lantas ke Bukit Tele. Sebenarnya, Pangururan dapat dijangkau lebih mudah apabila menumpang kapal ke Simanindo, tapi sudah telanjur janji menyewa kereta di Tomok. Karena itulah, kami bersiap-siap melintasi aspal sejauh delapan puluh kilometer menuju Bukit Holbung. Ya, walaupun kenyataannya tak semuanya aspal, ada yang lebih cocok disebut jalan berpasir dan berbatu.
Hari itu tepat Tujuh Belas Agustus, pejalan kaki tak terlihat, juga inang-inang yang biasa duduk di depan rumah dan lumbung beratap runcing. Pengendara kereta cukup banyak, terlebih yang membawa bendera Merah-Putih yang dipasang di tongkat ala kadarnya. Memasuki Simanindo, kereta kami terhenti saat melihat ibu dan abang saya asyik menikmati durian di pinggir jalan. Sempat-sempatnya mereka!
Ternyata di sanalah pusat perayaan Tujuh Belasan. Setelah menghabiskan entah berapa biji durian, saya menghampiri lapangan yang dipadati warga, juga turis asing berambut emas. Di sisi jalan berjajar penjual ikan asin–kesukaan ibu saya, sayur dan rempah, salak merah, dan baju monza alias baju bekas impor. Upacara bendera sedang berlangsung, murid berseragam putih-putih berbaris rapi. Saya hadir di saat lagu Indonesia Raya dilantunkan, sesama penonton ikut bernyanyi.
Kami meneruskan perjalanan dengan niat luhur; jangan berhenti sebelum sampai tujuan untuk menghemat waktu. Tentu saja gagal. Entah berapa kali kereta diparkir mendadak karena pesona Danau Toba memikat kami. Saat melihat sawah dan ladang jagung berlatar danau biru, saya lantas memotret. Saat melihat Pusuk Buhit dengan celah kapurnya yang menyeruak, saya minta dipotret. Begitulah berulang-ulang.
Setibanya di Pangururan, kami mengikuti jalur menuju Bukit Tele. Ini kali pertama saya ke wilayah Bukit Tele, dan pemandangannya bikin tercengang. Perbukitan hijau-kecokelatan dengan pohon cemara berbaris bagai peserta upacara bendera, sungguh menakjubkan. Berkali-kali saya berseru heboh, lantas teringat pada Faroe Islands. Jalan berkelok di sisi bukit membangkitkan kenangan pada negeri itu. Bedanya, di sini langit amat cerah bagai lukisan.
Karena terpesona, kereta tahu-tahu melaju di jalan yang tak mulus lagi, dengan pasir menguap hingga memburamkan pandangan. Kami memutuskan berhenti di sebuah tanjakan menikung, sekitar beberapa ratus meter setelah belokan berpalang Air Terjun Efrata.
“Sepertinya kita kelewatan, arahnya ke Air Terjun Efrata,” sambar abang saya.
Bayang-bayang matahari sudah turun dari kepala, dua kereta menuruni tikungan dan berbelok ke kanan. Danau Toba menyambut jemawa, dibingkai bebukit cokelat dan pepohon berdaun jarum. Jalan menurun yang rusak menghambat laju, tapi membuat saya dapat mengamati segala lamat-lamat.
Beberapa belas menit kemudian tibalah di Desa Sosor Dolok; palang menunjukkan Air Terjun Efrata ke arah kanan. Karena ingin ke Bukit Holbung, kami harus tetap lurus. Jalan semakin menanjak, masih rusak, dan tibalah di sebuah bukit tanpa pohon dengan belasan kerbau merumput.
Bukit Holbung berada di Desa Janji Martahan, ditandai adanya sebuah masjid–satu-satunya masjid yang pernah saya lihat di Samosir–di tanjakan berbatu. Beberapa inangmenjajakan mi goreng dan bakwan dan tapai singkong berbalut daun sukun. Kami membeli bakwan untuk bekal piknik dadakan. Bukit Holbung sudah dekat, sang inangmenunjuk ke arah bukit yang tengahnya berceruk.
Kereta tiba di jalan yang melingkari bukit ketika tampak kereta lain terparkir di pinggir jalan. Ada sebuah pondok berisi beberapa pemuda, saya duga tukang parkir setempat. Di seberang bukit terpampang spanduk bertuliskan “Selamat Datang di Objek Wisata Dolok Holbung Sipege.”
Sebuah tangga alami dari tanah merah menyembunyikan apa-apa yang di baliknya. Ibu dan abang saya tahu-tahu sudah mendaki. Saya dan Tama menyusul buru-buru, cerdas sekali saya ke bukit malah memakai rok. Tiba di undakan pertama, terlihat lapisan bukit demi bukit lainnya. Bah! Ini bukan di Samosir, mustahil. Bukit cokelat ini begitu mirip perbukitan di Pulau Padar.
Saya tak mengira Bukit Holbung amat indah di kala kemarau; saat ilalang menguning dan renyah digenggam. Beberapa pemuda membereskan tenda dan mengumpulkan sampah di kantong plastik; beberapa lagi melambaikan bendera Merah-Putih dengan tongkatnya dan berswafoto. Beberapa duduk-duduk memandang Danau Toba. Saya tertular untuk duduk, memasrahkan diri dihela angin yang menggoda rambut.
Inilah yang kami dapatkan setelah menempuh perjalanan cukup jauh, sebuah taman raksasa bagai diturunkan dari Firdaus. Di hadapan terlihat rumah adat Batak, juga pohon-pohon yang terlihat bagai kelereng-kelereng hijau. Di sisi kanan, saya melihat pengunjung lainnya mendaki bukit yang paling tinggi, yang memiliki ceruk di tengahnya.
Saya tak ingin beranjak, memandangi Samosir berteman angin dan ilalang.
Kondisi Bukit Holbung terbilang bersih, mungkin seperti yang saya lihat barusan, orang yang berkemah turut membawa pulang sampahnya. Di sisi kiri memang ada yang berjualan, dengan atap terpal dipasang seadanya, sepasang anak muda menyusun mi instan di meja. Di sisi tenda ditaruh kardus sebagai tempat sampah.
Dan begitulah, waktu terasa berjalan begitu lambat di Bukit Holbung. Saya dapat melihat awan-gemawan bergeser seperti potongan film. Lalu angin menderu kencang meniup rerumputan, beberapa pengunjung berlarian turun karena gerimis ikut turun pula.
Di ujung bukit, sebuah truk bak terbuka menurunkan penumpangnya, orang tua dan anak-anak berseragam sekolah. Mereka mendaki bukit, berselisihan dengan pengunjung yang didera gerimis dan angin kencang. Lucu sekali pemandangan ini, keadaan tiba-tiba kacau. Begitu pula terpal tukang mi yang tersibak angin hingga tiangnya lepas.
Saya masih bertahan di tempat yang sama, berdiri menyaksikan angin mendesir di atas rerumputan bagai ombak. Saya teringat nenek di suatu tempat, apakah ia pernah memandangi Samosir seperti ini. Apakah ia juga senang menikmati keindahan tanah kelahirannya. Ya, saya yakin demikian.