“Semua orang Indonesia merasa tahu apa itu Borobudur. Tapi sesungguhnya Borobudur mengajari kita bahwa jauh lebih banyak yang tidak kita ketahui tentang dia daripada yang kita ketahui.“
Bicara Candi Borobudur, tentunya, saya yakin tak cukup hanya dengan sepercangkir kopi pada petang yang mendung. Ia terlalu misterius. Dan mana kala ingin mengenang-ngenang Borobudur, saya selalu teringat pada sebuah buku bersampul flora yang terbit catur warsa silam. Bagi saya, terkadang, untuk menyerap pengetahuan, lebih kecantol dengan membaca fiksi ketimbang buku sejarah.
Begitulah, saya pun membaca ulang novel Lalita yang dikarang oleh Ayu Utami. Yang mungkin bagi sebagian, namanya menerbitkan kernyit. Borobudur, yang berdasarkan pahatan pada Prasasti Karangtengah disebut Kamulan Bhumisambhara, memang tak gamblang-gamblang amat dijelaskan asal usulnya dalam Lalita. Cerita di balik pembangunannya simpang siur, bagai dongeng yang diwariskan mulut ke mulut. Namun, saya lumayan dapat memahami konsep yang dipaparkan.
Bahwa, sang Kamulan Bhumisambhara, Candi Borobudur, adalah sebuah mahakarya. Wujud pemahaman manusia terhadap alam semesta kala itu, dan hingga kini barangkali. Sebuah kosmologi. Tak hanya bagi umat Buddha, tapi bagi seluruh manusia di bumi.
Candi Borobudur, yang konon mulai ditatak pada akhir abad kedelapan hingga era kekuasaan Raja Samaratungga (825 M)–hampir satu abad kemudian–dibangun sesuai pola mandala yang tersusun atas bujur sangkar dan lingkaran konsentris (berpusat sama) yang melambangkan alam semesta menurut aliran Buddha-Mahayana. Pola itu mewujud sepuluh pelataran yang mirip punden berundak dari zaman megalitikum di Indonesia–sebuah temuan unsur lokal–yang melambangkan filosofi mahzab Mahayana.
Simpulnya, Candi Borobudur bagai sebuah kitab raksasa yang memaparkan sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui untuk mencapai kesempurnaan.
Dan, jalan menuju nirwana tersebut mesti ditempuh dalam tiga ranah spiritual, dengan ziarah memutari Borobudur dari timur, mengikuti arah jarum jam hingga puncak stupa. Ranah pertama adalah Kamadhatu atau dunia nafsu. Ini dimulai dari kaki Borobudur. Di sini manusia tiba dengan segala materi dan nafsu yang melekat padanya.
Empat undakan berikutnya adalah ranah kedua, Rupadhatu atau dunia yang masih terikat dengan rupa dan bentuk, namun terbebas dari nafsu. Karena itulah, dinding di lorong-lorong yang masih dikotak-kotakkan ini dihiasi oleh relief yang begitu kaya, jumlahnya mencapai 1.300, serta arca Buddha yang sering kali tak berkepala, bertakhta di atas pagar langkan. Ritual di sini masih mengacu pada rupa.
Ranah ketiga, yang teratas, adalah Arupadhatu atau dunia tanpa bentuk. Di sinilah manusia berjuang meraih pencerahan, dengan melepaskan diri dari bentuk dan segala keinginan duniawi, yang dilambangkan oleh kealpaan relief dan pola lingkaran. Bagai mengajak kita menuju ekstase tanpa akhir, berputar dan terus berputar.
Di tiga teras melingkar ini terdapat 72 stupa yang berdiri di atas daun teratai, dengan formasi 32, 24, dan 16. Di dalamnya bersila arca Buddha dengan beragam mudra, yang lubang pada dindingnya semakin ke atas semakin kecil; dua teras di bawah berbentuk belah ketupat, teras di atas berbentuk bujur sangkar. Ini adalah konsep peralihan menuju Arupadhatu, percaya terhadap Buddha walaupun tak melihat wujudnya. Karena itu pula, stupa induk di puncak teratas tertutup seluruh. Di sinilah manusia mencapai kasunyatan, jiwanya terlepas dari samsara.
Kosmologi serta konsep spiritual yang menjelma pada Candi Borobudur merupakan warisan dunia yang tak ternilai. Ia adalah sumber inpirasi bagi banyak orang. Terlepas apa pun kepercayaan yang dianut.
Namun, Borobudur memang tak pernah lepas dari misteri. Konon, di bawah candi megah ini terdapat sebuah struktur yang tersembunyi, pertama ditemukan pada tahun 1885. Di kaki Borobudur terdapat 160 relief yang mengisahkan Karmawibhangga,siklus hidup manusia dari lahir hingga mati yang tiada akhir (samsara) dan hukum karma. Diukir pada bebatuan andesit, relief ini sayangnya tak bisa disaksikan lagi karena ditutup oleh entah siapa dan mengapa. Hanya relief di tenggara candi yang kini membukitkan bahwa niscaya itulah bentuk asli Borobudur.
Pemugaran besar-besaran yang dilakukan pemerintah dan UNESCO pada tahun 1975 hingga 1982 pun berbuah manis, ia dimasukkan dalam daftar Situs Warisan Dunia pada tahun 1991.
Pun, tiada waktu yang lebih tepat untuk mengilhami peralihan selain mengunjungi Borobudur pada fajar atau senja hari. Betapa, saat peralihan gelap dan terang dan sebaliknya, kita dapat melihat semesta mengejewantahkan dirinya pada bebatu andesit yang mematung.
Seperti tokoh Yuda, Parang Jati, dan Marja yang berkunjung ke Borobudur menjelang fajar, demikian pula saya. Dan perjumpaan dengan sinar matahari yang merambat depa demi depa, lalu menyilaukan, sungguh mistis dan menakjubkan. Saya tak bisa tak membayangkan barisan biksu berjubah kuning melangkah beriringan dengan amat perlahan. Berputar dan berputar dan berputar. Sesekali sinar matahari menerpa wajah mereka. Hanya damai yang terpahat di sana.
***
Wangsa Syailendra jelas telah mewariskan kekayaan tiada terkira. Candi Borobudur tetap berdiri kokoh–entah berapa kali cobaan dan pugaran yang ia tanggung semenjak terlupakan pada abad ke-14. Ia pernah diterpa gempa dan gunung meletus kali demi kali, tapi bagai bergeming di atas danau purba. Ini juga misteri yang belum terjawab hingga kini, bahwa ia dibangun di atas sebuah perairan. Saya semacam bersepakat dengan penjelajah asal Belanda bernama Wijnand Otto Jan Nieuwenkamp. Menurutnya, Borobudur bagaikan teratai di tengah danau. Ya, teratai yang senantiasa mekar dan menyebarkan keindahan.