Bagi para pencinta Jepang, pasti sudah tidak asing lagi dengan anime, manga, Gundam, sushi, ninja, karate, atau bahkan hentai. Sejak kecil kita memang sudah melahap berbagai hal dari Jepang, mulai dari kartun Sailor Moon, Detektif Conan, Doraemon, drama Tokyo Love Story, sampai grup cewek cantik AKB48. Nah, kalau untuk yang lebih jantan, pasti kalian pernah baca Initial D atau mungkin hobi karate dan sumo.
Akan tetapi, selain kehebohan produk hiburan tersebut, Jepang juga terkenal dengan kulturnya yang khas dan beragam. Kalau kalian berencana berkunjung ke Jepang, sebaiknya pilih tanggal yang tepat untuk bisa menyaksikan berbagai matsuri di sana. Matsuri adalah istilah dalam agama Shinto yang berarti persembahan ritual untuk Kami (dewa atau arwah suci). Tapi, matsuri lebih populer berarti festival.
Festival di Jepang sangat banyak dan mewakili keunggulan atau kebudayaan masing-masing daerah. Dengan mengikuti festival-festival itu, kita bisa turut menyelami dan memeriahkan kebudayaan orang Jepang.
Contohnya, Kyoto terkenal dengan Gion Matsuri (Festival Geisha), Aoi Matsuri, dan Jidai Matsuri; Osaka terkenal dengan Tenjin Matsuri; Aomori dengan Nebuta Matsuri; Akita dengan Kanto Matsuri; dan Tokyo dengan Sanno Matsuri, Kanda Matsuri, dan Sanja Matsuri. Bahkan, ada pula festival yang terasa agak nyeleneh, misalnya Kanamara Matsuri atau festival penis yang berlangsung di daerah Kawasaki sekitar awal April.
Baca juga festival lainnya:
Sebelum menyusun rencana perjalanan ke Jepang, sesuaikan tanggal perjalanan dengan jadwal festival yang kalian incar. Kalau bingung, lebih baik kunjungi laman Japan Guide untuk mengetahui jadwal berbagai festival di Jepang.
Nah, dalam perjalanan saya ke Jepang bulan Mei lalu, saya beruntung dapat menyaksikan salah satu festival terbesar di Tokyo. Sanja Matsuri namanya. Yang berarti Three Shrines Festival. Festival ini merupakan salah satu dari tiga festival agama Shinto di Tokyo. Bahkan, dianggap yang paling besar dan menghebohkan. Festival ini berlangsung selama tiga hari pada minggu ketiga bulan Mei (setiap tahun jadwalnya mungkin maju atau mundur sehari) di Sensō-ji Temple dan Asakusa Shrine. Inti dari perayaan ini adalah parade tiga mikoshi (kuil kecil yang dapat dipindah-pindahkan) yang diiringi oleh musik tradisional dan tarian.
Dilihat dari sejarahnya, festival ini diadakan sebagai persembahan kepada Kami (arwah) tiga orang pria. Alkisah, dua nelayan bersaudara, Hinokuma Hamanari dan Hinokuma Takenari, menemukan sebuah patung Dewi Kwan Im yang tersangkut di jala mereka di Sungai Sumida (tak jauh dari Asakusa Shrine) pada 17 Mei 628. Sang Kepala Desa, Hajino Nakatomo, mendengar tentang penemuan patung suci itu dan kemudian mengajak kedua nelayan itu memeluk agama Buddha. Ia pun mengubah rumahnya menjadi sebuah kuil kecil dan menaruh patung Dewi Kwan Im di sana agar warga desa bisa menyembahnya. Kuil itu kini bernama Sensō-ji dan merupakan kuil tertua di Tokyo.
Bentuk perayaan Sanja Matsuri saat ini berawal pada Zaman Edo. Pada tahun 1649, shogun Tokugawa Iemitsu memerintahkan pembangunan Asakusa Shrine yang dipersembahkan untuk ketiga Kami tersebut. Kehadiran kuil ini menjadi pusat dari acara festival ini.
Ketika saya singgah di Tokyo pada 18 Mei lalu, saya sempat mengikuti kemeriahan hari kedua festival ini. Saya sampai di Kaminarimon, gerbang luar menuju Sensō-ji, sekitar pukul delapan pagi. Gerbang besar ini dipenuhi oleh turis yang asyik berfoto. Saya pun melangkah masuk. Suasana di sepanjang jalan Nakamise-dōri, yang dipenuhi jajanan dan suvenir khas Jepang yang relatif murah dibandingkan tempat lain, masih belum ramai. Hanya ada beberapa rombongan turis yang sibuk memotret dan belanja. Saya menyusuri jalan dan di sisi kanan terlihat Tokyo Sky Tree yang berdiri kokoh di kejauhan. Menara tertinggi di Jepang yang baru dibuka tahun 2012 lalu ini disebut-sebut mengalahkan pamor Tokyo Tower.
Ada yang mencuri perhatian saya. Sekelompok pria Jepang berpakaian tradisional sedang memakai sendal yang terbuat dari lilitan tali. Mereka juga memakai ikat kepala dengan motif khas Jepang. Rupanya mereka peserta festival yang akan membopong mikoshi. Beberapa orang lainnya sedang memasang hiasan pada mikoshi kemudian menyucikan mikoshi dengan air. Pada hari kedua festival ini, sekitar 100 mikoshi dari 44 distrik di Asakusa akan diberkati di Asakusa Shrine.
Pemeluk agama Shinto meyakini bahwa mikoshi merupakan kendaraan para dewa untuk berpindah dari kuil-kuil. Biasanya bentuknya seperti miniatur kuil dengan pilar dan atap keemasan. Di atapnya bertengger pula burung Phoenix berwarna emas. Saya tidak lupa memotret mikoshi yang sangat indah itu. Kemudian, tak disangka beberapa bapak tua yang mengenakan pakaian tradisional sebatas paha mengajak saya berbicara dalam bahasa Jepang. Saya membalas seadanya.
Tidak terasa panas kian menyengat, jam menunjukkan pukul sembilan. Hari ini Jepang sangat cerah. Beberapa rombongan mikoshi sudah memulai parade menuju Sensō-ji Temple. Setiap rombongan mengenakan pakaian tradisional dengan warna berbeda: hijau, cokelat, biru, merah, hitam, dan lain-lain. Mereka tidak mengenakan celana, hanya kain putih yang dililit-lilitkan ke pantat. Pemandangan yang langka!
Setelah Mikoshi, datang pula rombongan pemusik yang menabuh Taiko (gendang tradisional Jepang) dan meniup suling. Turis lokal dan asing pun buru-buru memadati area Nakamise-dōri, siap menggenggam kamera dan alat perekam mereka.
Ternyata, tidak hanya para pria yang membopong mikoshi, ada juga rombongan wanita. Tapi, wanita tetap mengenakan celana, kok. Di belakang rombongan, ada segerombol orang berseragam sama. Mereka turut menambah kehebohan parade. Kalau ada pembopong yang kelelahan, mereka siap menggantikan. Pemimpin rombongan pun harus waspada apabila pembopong kewalahan dan berjalan terlalu cepat. Ia akan berteriak untuk memerintahkan berhenti atau jalan dan bertepuk tangan agar pembopong semakin bersemangat.
Suasana festival ini sangat meriah dan energik. Pengunjung dapat merasakan euforia yang ditimbulkan oleh para peserta yang penuh semangat dan gembira. Semua orang membopong mikoshi sambil bernyanyi dan bergoyang. Semua turut bertepuk tangan dan berteriak menambah keriuhan. Saya melihat beberapa orang asing turut membopong mikoshi. Andaikan saya bisa ikut serta.
Hari semakin panas dan keringat saya mengucur, rombongan mikoshi terus berdatangan seperti tidak ada habisnya. Peluh-peluh yang menetes semakin merangsang peserta festival untuk bergoyang dan bersenandung. Mereka sangat kompak dan menikmati acara ini. Wanita-wanita cantik Jepang dengan rambut dicepol ke atas semakin menyemarakkan pemandangan mata. Dan tiba-tiba, sebuah mikoshi mini yang dibopong anak kecil melintas di depan saya. Sungguh menggemaskan!
Area Nakamise-dōri padat merayap, dengan susah payah saya menyelip di antara kerumunan menuju Hōzōmon, gerbang dalam Sensō-ji Temple. Di sini seluruh mikoshi akan berdoa menghadap Dewi Kwan Im, sang Dewi Pengampun. Setelah itu lanjut ke Asakusa Shrine untuk disucikan dan diberkati oleh biksu Shinto untuk menghadapi tahun mendatang. Setelah ritual ini selesai, mikoshi dibawa kembali ke distrik asalnya.
Di halaman antara Sensō-ji Temple dan Asakusa Shrine dipenuhi oleh deretan penjual makanan, ada sate usus babi, sate lidah sapi, sate gurita, mi goreng, stroberi yang dilumuri cokelat, gulali, es krim, minuman segar, kue-kue khas Jepang, dan lain-lain. Kalian harus pandai-pandai memilih karena ada makanan yang sama dengan harga lebih murah apabila kita bergeser sedikit ke tempat lain.
Sebenarnya, puncak festival ini adalah pada hari ketiga. Tiga mikoshi utama yang mewakili tiga pria penemu Sensō-ji Temple akan diberangkatkan dari Asakusa Shrine. Mikoshi tersebut akan disebar untuk melimpahkan berkah kepada 44 distrik di Asakusa. Setelah selesai, ketiga mikoshi dibawa kembali ke Asakusa Shrine.
Hari pertama festival pun tak kalah seru. Ada parade besar bernama Daigyōretsu di mana para masyarakat sekitar akan berkumpul mengelilingi Jalan Yanagi dan Nakamise-dōri. Para Geisha berkimono pun turut menghiasi festival. Bahkan, sering kali ada pula kelompok Yakuza yang datang untuk memamerkan tato-tato di tubuh mereka.
Kalau kalian ingin menyaksikan pertunjukan Geisha dan Taiko di Asakusa Kenban, kalian harus membeli tiket. Ini merupakan salah satu dari 10 pertunjukan Geisha terbaik di Jepang. Lebih baik cari tahu dahulu jadwal dan pembelian tiket kalau ingin menonton.
Tidak salah apabila Sanja Matsuri disebut sebagai festival paling meriah di Tokyo. Semua orang Jepang dari segala usia, tua dan muda, turut berpartisipasi dan menyemarakkan acara tahunan ini. Tidak peduli terik matahari dan peluh yang mengucur, para peserta terus bersemangat mengantarkan mikoshi dari distrik mereka untuk diberkati. Semua orang turut bersuka ria merayakan lahirnya Sensō-ji Temple.
Matahari kian meninggi dan kaki saya kian pegal. Seluruh mikoshi sudah selesai diberkati. Para peserta festival dan pengunjung beristirahat dan memburu jajanan. Saya pun tidak ketinggalan mencari-cari makanan yang (kira-kira) halal. Sambil duduk-duduk di bawah pohon, saya berkhayal akan kembali lagi ke Tokyo untuk menyaksikan festival ini secara lengkap. Kemeriahan hari ini sungguh tidak akan terlupakan.