Sebuah destinasi bisa saja menjadi impian dalam hidup seseorang. Yang ingin diwujudkan dengan ambisi yang dipupuk hari demi hari. Mungkin itu pula yang saya rasakan pada Islandia. Negeri Es dan Api di ujung dunia sana, di Samudera Atlantik paling utara. Pun, sebagaimana ambisi dan hasrat tak terpisahkan, suatu kali mereka jalan sendiri-sendiri pula. Itulah yang saya temukan pada Faroe Islands kemudian hari; hasrat.
Karena ia tak pernah menjadi sebuah ambisi, saya dan Tama tak sedih-sedih amat ketika penerbangan kami Senin siang itu terpaksa dialihkan ke Stavanger, sebuah kota tepi laut di Norwegia. Saya malah meledek Tama, “Akhirnya kamu bisa menginjak Eropa Daratan,” dan, “haruskah malam ini kita mencari Aurora?”
Nyatanya tak begitu, akibat kelelahan berjam-jam mengantre jatah kamar di Hotel Scandic di bandara dan dijejali hidangan makan malam ikan kod asap yang lezat–semuanya ditanggung Atlantic Airways, kami terlelap setelah mandi air hangat. Lupalah kami pada dua jam tanpa kepastian saat berputar-putar di atas Faroe Islands, ketika pesawat tak kunjung mendapat izin mendarat akibat angin kencang.
Padahal, ketika itu saya menyaksikan sesuatu menyembul di antara langit kelabu. Bukit kecokelatan yang sungguh misterius.
Esok paginya, tepat pukul delapan, menumpang pesawat yang sama, kami mendarat dengan lancar setelah pilot mengumumkan betapa cuaca pagi itu cerah dan suhu tak dingin-dingin amat. Lima derajat Celcius saja.
Saya menghela napas, lumayan ketimbang suhu minus dan badai salju yang menghajar Islandia jelang kepergian kami.
Vágar Airport, yang dalam bahasa setempat disebut Vága Floghavn, adalah satu-satunya bandar udara di Faroe Islands; negeri kepulauan yang memiliki pemerintahan sendiri di bawah kedaulatan Kerajaan Denmark. Bandara mungil ini terletak di Kota Sørvágur, di pulau bernama Vágar.
Begitu bagasi tiba di tangan, kami menuju lobi bandara untuk mencari kios penyewaan mobil Sixt. Tama sudah memesan secara online, dan seorang wanita berbahasa Inggris lancar sedang melayani pria berambut gondrong. Ia sepesawat dengan kami, dan rasanya wajahnya tak asing. Benar tebakan saya, ia Benjamin Hardman, fotografer asal Australia yang kini menetap di Reykjavík.
Tama iseng menyapa; mengatakan bahwa kami membaca profilnya di majalah maskapai Wow Air yang kami tumpangi saat terbang ke Islandia. Ia membalas dingin. Saya menertawakan Tama.
Tawa saya tak berhenti sampai di situ. Tanpa diduga kami mendapat mobil sewaan sama seperti di Islandia, Nissan Micra–di Indonesia setara March. Kali ini warna hitam dengan tempelan www.62n.fo segede gaban. Ya, semua orang perlu tahu kalau ini mobil sewaan dan di dalamnya ada dua turis Asia yang sangat norak.
Dan, siapa bilang Faroe Islands tak sedingin itu? Belum lagi anginnya. Apa yang kami baca di sana-sini benar adanya, bahwa negeri ini seperti berada di bawah kipas angin raksasa. Tiap menit cuaca berubah; empat musim sekaligus bisa kita rasakan. Dari matahari bersinar cerah, tertutup awan lalu gerimis, hujan salju dan es, dan sebagai-bagainya.
Kami terhuyung-huyung berlari ke area parkir; sungguh tubuh ini tiada berdaya diempas angin. Tangan kaku seketika karena dingin, kami seperti dua amatiran yang hendak membobol mobil. Tama langsung menumpuk carrier di bagasi. Saya masuk dan pintu terbanting sendiri; buru-buru memasang charger iPhone berwarna pink neon yang saya beli di pom bensin di Islandia. Telepon aman, Internet nihil.
Operator seluler Nova dari Islandia ternyata tak berfungsi; dan cuma telepon Tama, dengan kartu Three dari London, yang bisa dipakai. Begitulah, kami kembali pada posisi masing-masing, saya tentu penunjuk jalan. Padahal jalan raya di Faroe sungguh simpel, tak perlu repot dengan urusan peta, cukup perhatikan rambu-rambu jalan.
Seperti pulau-pulau lainnya di Faroe, Vágar tak besar-besar amat. Bisa dikelilingi dalam satu jam saja rasanya. Kami langsung mengincar Air Terjun Gásadalur; lima belas menit dari bandara. Sebelumnya melewati Sørvágur yang berada di tepi pantai dan Desa Bøur yang mungil dan cantik.
Namun, sebelum tiba di air terjun yang langsung mengalir ke Samudera Atlantik itu, saya tak bisa tak terpukau dengan pemandangan yang terhampar dari balik kaca. Perbukitan hijau-kecokelatan dengan pucuk memutih, domba-domba berkeliaran di padang rumput seperti bidak-bidak catur, air terjun yang bagai tiada habisnya bercucuran. Saya masih ingat betul bagaimana hebohnya saya melihat air terjun yang mengalir ke arah jalan di tiap jengkal; ini melebihi Bogor yang punya segudang curug, ingin rasanya saya mengatakan itu kepada Diyan, suami Vira.
Dan betapa terkagum-kagumnya saya memandangi negeri dongeng itu.
Tentu Faroe Islands jauh berbeda dengan negeri tetangganya, Islandia. Ia belum sepopuler itu, belum seramai itu. Ketika tiba di Gásadalur, yang konon dihuni oleh enam belas orang, hanya kami yang mondar-mandir pagi itu. Seekor anjing menghampiri dengan jinak, saya yakin ia penggembala domba.
Di jalan masuk desa tahu-tahu terparkir sebuah mobil. Ada wajah tak asing lagi, pria yang kemudian kami ketahui berasal dari Singapura–ia datang seorang diri, dan bagian belakang celananya penuh lumpur. Belakangan saya melihat bekas tempat ia terpeleset, di pinggir tebing menghadap Air Terjun Gásadalur. Ia terlalu bersemangat memotret tampaknya, mengaku fotografi adalah hobi. Selamat, kini ada tiga orang Asia di Faroe Islands. Sebuah pencapaian besar!
Momen-momen sederhana yang menyambut kami di sepanjang perjalanan, alam yang megah dan penuh kuasa, saya mengaku jatuh cinta pada pandangan pertama. Faroe Islands yang muncul sebagai hasrat–bukannya ambisi, tampaknya akan terus menjadi hasrat yang minta dipenuhi. Dan perjumpaan kami pada orang-orang di kemudian harinya menjadi alasan bagus untuk kembali.
Ya, Faroe Islands kini menjadi rumah kedua saya. Rumah yang jauh, tapi minta dikangeni melulu. Dan cerita ini belum berhenti sampai di sini…