Pagi yang berangin, langit kelabu, daun kecokelatan yang basah. Saya keluar dari Bandara Frankfurt am Main justru dengan hati secerah musim semi. Ini kali pertama saya menginjak Eropa, dan Frankfurt adalah kota pertama yang saya hirup udaranya.
Saya, dan rombongan editor lainnya, segera mencari taksi untuk menuju hotel. Taksi van dipilih agar koper raksasa kami, untuk petualangan selama delapan hari ke depan, bisa muat. Taksi-taksi berwarna hitam iitu mengingatkan saya pada taksi tak resmi di Soekarno-Hatta.
Saya pun memilih duduk di depan, di samping supir necis berkebangsaan Turki yang memakai iPhone 5S. Saya mengamati penampilannya yang rapi serta taksinya yang mewah dan bersih. Sama sekali tak apak ataupun bau rokok.
Mini Cooper dan Bajaj
Kami menyusuri jalan yang basah, rupanya hujan baru reda, dengan dedaunan yang berserakan di trotoar. Saya mengamati pom bensin oranye Shell di sisi kiri jalan, lalu teringat pada jalan di Slipi yang selalu padat merayap. Beralih ke sisi kanan, di bawah pepohonan maple yang menjingga, terparkir Mini Cooper merah. Melihat tumpukan daun di atapnya, mobil itu bagaikan tak bertuan.
Setelah mengelilingi Frankfurt hari-hari berikutnya, saya pun menyadari bahwa populasi Mini Cooper di Frankfurt sama dengan populasi bajaj di Jakarta. Tak hanya itu, mobil-mobil mewah lainnya juga berseliweran di jalan-jalan yang tak terlalu besar di kota ini, BMW dan Mercy salah duanya.
Frankfurt. Kota ini cukup membuat saya terkesan. Jalan yang bersih dan teratur, orang-orang yang kalem, bangunan tua riwayatnya, dan industrinya yang maju. Belum lagi transportasi umumnya yang sangat bagus.
Hotel Monopol
Kami tiba di Hotel Monopol sekitar pukul delapan pagi, tak sempat mengejar meeting dengan penerbit Inggris yang sudah dijadwalkan. Ya, kunjungan saya ke Frankfurt adalah untuk menghadiri salah satu pameran buku terbesar di dunia, Frankfurt Book Fair (Frankfurter Buchmesse). Konon, bagi seorang editor buku seperti saya, berkunjung ke Frankfurt Book Fair tak ubah naik haji!
Berlokasi di Mannheimer Straße, Hotel Monopol cukup sederhana untuk ukuran hotel bintang empat. Namun, sepertinya memang begitu standar di Eropa. Bangunan berlantai lima ini bernuansa klasik dan seketika saya merasa masuk ke dalam sebuah film yang diputar di Cannes. Kamar yang saya tempati cukup nyaman, dengan wallpaper hijau muda dan kamar mandi mungil. Setelah mandi sebentar dan mengenakan sweter dan blazer serta bot, saya dan teman-teman langsung pergi untuk mengejar meeting berikutnya. Di luar, saya baru menyadari bahwa lokasi hotel ini sangat strategis, tepat di samping terminal bus dan stasiun sentral Frankfurt, yaitu Frankfurt (Main) Hauptbahnhof. Sambil merapatkan blazer, saya menyeberang ke halte trem di depan hotel.
Trem menyusuri jalan aspal yang masih basah, pagi itu gerimis, dan melewati gedung-gedung bernuansa sama: cokelat. Gedung tua, gereja, taman, kafetaria. Tak sampai lima belas menit trem tiba di tujuan. Semua orang bergantian turun dan menyeberang. Rupanya tujuan sebagian besar penumpang sama: Frankfurt Book Fair.
Tiket trem dapat dibeli di mesin penjualan di setiap halte, dengan menekan tujuan yang diinginkan lalu memasukkan uangnya. Namun, jika memiliki kartu pengunjung Frankfurt Book Fair, tak perlu membayar.
Frankfurt Book Fair 2014
Gedung Messe Frankfurt yang bundar tampak tidak terlalu besar, dan di sebelah kirinya adalah area mal. Saya pun melangkah masuk sambil melirik beberapa booth yang menjual buku bekas dan antik. Ternyata, suasana di dalam begitu riuh. Semua orang tergesa-gesa berjalan dan menempelkan kartu ke mesin untuk memasuki area pameran. Tas-tas besar diperiksa oleh petugas. Setelah itu, ada pintu kaca di sisi kanan yang mengarah ke luar. Saya pun keluar dan menunggu shuttle bus.
Pada Frankfurt Book Fair 2014 terdapat 8 hall atau gedung pameran yang dibuka untuk umum. Yang paling sering saya kunjungi adalah Hall 8 karena merupakan tempat penerbit dari seluruh dunia berkumpul untuk urusan transaksi hak cipta. Kemudian, Hall 5 adalah tempat pameran literary agent. Hall 4 tempat produk nonbuku, seperti alat tulis, pernak-pernik, mainan, dan lain-lain. Sementara, Hall 3 khusus untuk penerbit dari seluruh Jerman. Saya senang berkunjung ke Hall 3 karena lebih meriah—sayangnya gagal menghadiri peluncuran novel Adultery dan bertemu Paulo Coelho.
Saya turun di Hall 8 yang terletak paling jauh, beriringan dengan para wanita dengan rok sepan dan pria berjas hitam. Bangga rasanya bisa terlibat dalam bisnis perbukuan ini. Begitu masuk, saya lebih norak lagi, tercengang oleh barisan stand penerbit yang mendekorasi tempatnya sedemikian rupa, dengan buku-buku yang mereka unggulkan. Ada dua kafe di tengah area pameran, yang saladnya sangat lezat. Keduanya selalu diramaikan pengunjung, mungkin yang menanti meeting berikutnya atau yang ingin rehat sejenak.
Beberapa stand penerbit besar terlihat mencolok, seperti Harper Collins, Random House dan Dorling Kindersley dari Penguin Group, Phaidon, MacMillan, dan lain-lain. Saya terkagum-kagum dengan buku-buku mereka. Semua buku bagaikan membius saya. Untuk buku-buku coffee table, saya suka terbitan Phaidon dan Thames & Hudson. Saya sempat membeli buku masak dari Prancis yang sangat cantik.
Di antara jadwal meeting, saya mampir ke Hall 6 untuk melihat stand perwakilan dari negara peserta, misalnya Indonesia, Islandia, Polandia, Thailand, Malaysia, Rumania, Estonia, dan lain-lain. Ternyata, di stand Indonesia ada acara kumpul-kumpul, Fauzi Bowo yang menjabat Duta Besar Indonesia untuk Jerman pun turut hadir. Stand Indonesia cukup sederhana, tetapi memajang semua buku dengan cukup baik.
Dari Hall 6 saya berjalan kaki menuju Hall 8. Di depan gedung terdapat kafe, yang dipenuhi oleh wajah-wajah sibuk dan bersemangat. Saya perhatikan orang Jerman cukup banyak yang merokok, wanita apalagi. Sekitar pukul enam sore meeting saya akhirnya selesai, makan siang pun belum. Udara semakin dingin dan langit semakin kelabu, tetapi saya belum ingin kembali ke hotel. Saya dan teman-teman memutuskan untuk ke Galeria, salah satu mal terbesar di Frankfurt.
Dari depan gedung pameran kami turun ke stasiun bawah tanah. Penumpang berbondong-bondong masuk begitu kereta datang. Pada saat-saat seperti ini, biasanya wajah asing seperti saya, banyak berseliweran. Pameran ini bagaikan mempertemukan semua bangsa di dunia.
Bir Khas Frankfurt
Kereta berhenti di wilayah yang jalannya berupa paving block khas Eropa. Kami menyeberang dan deretan restoran dan kafe terlihat begitu menggoda. Kebanyakan menu yang dijual adalah junk food. Kafe-kafe yang terletak di sebuah taman terbuka terlihat sangat menyenangkan. Berbagai bir tersedia untuk menghangatkan tubuh.
Karena penasaran, pada malam terakhir di Frankfurt, saya dan teman-teman pun mencicipi bir khas Frankfurt yang bernama Henninger. Yang konon sudah dibuat sejak tahun 1655. Kami minum di O’Reilly’s Irish Pub yang terletak dua blok dari hotel. Dari luar suasana terlihat sepi, begitu masuk ternyata pub ini sangat luas dan ramai. Ada ruangan karaoke, biliar, dan televisi yang menayangkan pertandingan sepak bola.
Henninger rasanya cukup ringan, tak sepahit atau seaneh bir Bintang. Berhubung saya peminum amatir, satu gelas pun tak mampu saya habiskan. Akan tetapi, pengalaman minum bir di pub ini cukup seru.
Berburu Restoran Asia
Setelah keliling Galeria dan belanja, kami bingung hendak makan apa dan sepakat untuk mencari restoran di dekat hotel. Kami sempat tersesat karena naik trem ke arah sebaliknya, lalu berhasil turun di Stasiun Hauptbahnhof. Jalan gelap dan sunyi, padahal baru jam delapan. Begitulah, Frankfurt, di balik gedung-gedung megahnya, ternyata kota yang tenang dan senyap. Lampu-lampu temaram serta udara dingin membuat saya merasa santai. Setelah berulang kali mengecek Google Maps, kami tiba di Jade, restoran Asia paling terkenal di sana.
Benar saja, antrean tamu cukup panjang. Untungnya, semua itu terbayar dengan kelezatan hidangannya, yang paling saya sukai adalah Wonton Soup dan Peking Duck. Ini adalah hidangan Tiongkok terlezat yang pernah saya makan, jujur saja, dibandingkan yang saya temukan di Jakarta. Ataukah indra saya terpengaruh karena jauh dari rumah? Entahlah. Yang pasti, selama empat malam di sini, kami selalu makan di Jade.
Saya kembali ke hotel dengan perut amat kenyang. Begitu masuk kamar, saya mengambil sebotol air dari kulkas. Saya buka dan tenggak tanpa pikir panjang. Bah! Rasanya seperti air yang berkarat. Air mineral itu mengandung soda dan terasa janggal. Setelah diselidiki, ternyata orang Jerman, dan mungkin Eropa, menyukai air mineral bersoda yang disebut sparkling water. Sementara, air putih tanpa soda disebut still water. Malam itu saya berbaring dengan perut bergejolak, lalu terlelap saat membayangkan kesenangan hari itu.
P.S. Cerita tentang hari-hari selama mengikuti Frankfurt Book Fair 2014 akan menyusul kemudian.