10 Hal yang perlu Kamu Ketahui tentang Pulau Kei

Setelah menunggu delapan bulan, perjalanan saya ke Maluku terlaksana awal Mei lalu. Dengan harga tiket pesawat tiga kali lipat lebih murah, saya terbang ke Ambon dengan sumringah. Bersama enam belas orang lainnya, yang salah satunya masih berusia delapan belas bulan.

Begitu mendarat di Bandara Internasional Pattimura dan kehilangan sinyal 3G, belasan muda-mudi dari Jakarta itu heboh mengabadikan momen dengan GoPro Hero 4 Silver sewaan. Salah satu di antara rombongan itu adalah saya. Yang kegirangan karena baru pertama kalinya merasakan zona waktu WIT. Urusan bagasi selesai, kami berbondong-bondong keluar seperti peserta karantina Indonesian Idol.

Team Leader kami, Mameta, sudah memesan mobil untuk menuju Pelabuhan Tulehu—kami akan menyeberang ke Pelabuhan Amahai di Masohi. Ternyata, bukan mobil yang menanti, melainkan bus ¾ abu-abu bertuliskan Damri. Hemat dan praktis karena peserta yang melebihi anggota kesebelasan sepak bola.

Tiga puluh menit kemudian, kami sudah duduk santai di kapal. Namun, bukan itu yang ingin saya ceritakan. Tiga hari kemudian, kami kembali ke Pattimura untuk terbang ke Kepulauan Kei. Masih menumpang maskapai yang sama, perjalanan hampir dua jam terasa begitu singkat. Bahkan, film Before Sunrise yang saya tonton belum tamat. Nah, berikut ini sepuluh hal penting yang perlu kamu ketahui tentang Kei.

[Baca juga: Bertualang di Kei Kecil; Itinerary 3 Hari 2 Malam]

1. Bandara Internasional Karel Satsuitubun

ohelterskelter.com kei

Pagi yang menyilaukan menyambut kami di Kei. Begitu turun dari pesawat ATR 72-600 yang pertama kali saya naiki, kami berfoto ria seperti turis dadakan. Bandara yang terletak di Langgur ini, menggantikan Bandara Dumatubun di Tual yang kini menjadi tempat kegiatan TNI AU, terbilang masih baru dan butuh perbaikan di sana-sini.

Satsuitubun adalah satu-satunya bandara di Kepulauan Kei, yang berada di Pulau Kei Kecil. Mengapa dibangun di Kei Kecil, bukan Kei Besar? Karena kontur Kei Besar yang berupa hutan lebat dan perbukitan tak memungkinkan untuk dijadikan landasan pesawat terbang.

Sayangnya, sarana dan prasarana di sini kurang terawat. Ruang check-in tak dilengkapi pendingin udara, ruang boarding pass pun tak terasa dingin walaupun ada pendingin udara. Dinding-dinding sebagian besar kosong, tak dihiasi promosi wisata ataupun spanduk yang memamerkan pariwisata unggulan setempat. Toiletnya kotor, tak ada petugas kebersihan dan tisu dan pengharum ruangan, dan kunci pintunya rusak sehingga tak dapat ditutup. Pun begitu, bandara ini merupakan fasilitas yang sangat penting di Kei, yang menghubungkannya dengan dunia luar.

ohelterskelter.com pulau kei
Pesawat ATR 72-600.

2. Struktur wilayah Kepulauan Kei

ohelterskelter.com kei

Kepulauan Kei terdiri atas dua pulau utama, Kei Kecil dan Kei Besar. Keduanya berada di Kabupaten Maluku Tenggara, dengan ibu kota Langgur. Maluku Tenggara memiliki 119 pulau dan 6 kecamatan, yaitu Kei Besar Utara Timur, Kei Besar Selatan, Kei Kecil Barat, Kei Kecil Timur, dan Kei Kecil. Mayoritas penduduknya adalah suku Kei, diikuti oleh Jawa, Bugis, Makassar, dan Buton.

Kepulauan Kei juga disebut Nuhu Evav atau Kepulauan Evav oleh warga setempat. Nama Kei (Kai) merupakan sebutan dari zaman kolonial Hindia Belanda yang bertahan hingga kini. Selain Kei Kecil dan Kei Besar, pulau-pulau besar lainnya adalah Tanimbar Kei, Kei Dulah, Dulah Laut, Kuur, Taam, dan Tayandu. Dalam trip ini kami hanya menjelajahi Kei Kecil (karena di Kei Besar ada John Kei).

Kecamatan Kei Kecil memiliki 21 desa, yang semuanya sulit dilafalkan oleh lidah saya, yaitu Ngabub, Ibra, Sathean, Faan, Langgur, Kolser, Kelanit, Letman, Ohoidertavun, Ohoililir, Ngilngof, Namar, Ngayub, Debut, Rumadian, Dian, Letvuan, Evu, Warwut, Wab, dan Tetoat; serta satu kelurahan, Ohoijang Watdek. Desa-desa itu terbagi lagi atas beberapa dusun dan RT/RW.

3. Transportasi andalan: sewa mobil!

pulau kei kecil

Setibanya di bandara, dua mobil sudah menunggu, Avanza dan angkot. Mengapa tidak menyewa dua Avanza yang nyaman? Ya, supaya tas-tas kami bisa ditaruh di angkot yang lebih lowong. Perebutan mobil pun terjadi. Saya tentunya naik Avanza yang adem.

Di sini tersedia angkutan umum, tetapi rute dan armadanya terbatas. Sebaiknya menyewa mobil karena dapat menjangkau semua tujuan. Harga sewa per hari, termasuk supir, sekitar empat ratus ribu rupiah.

4. Pilihan akomodasi di Ngurbloat: Villa Monica

ohelterskelter.com pulau kei

Memesan penginapan di Indonesia Timur memang cukup sulit. Jangankan berharap email cepat dibalas, telepon pun jarang aktif. Itulah yang terjadi saat kami mencari penginapan di Ngurbloat atau yang lebih populer disebut Pasir Panjang. Tadinya kami mengincar Coaster Cottage, tetapi karena penuh kami memesan penginapan Mama Tita. Tanpa mengetahui tempatnya seperti apa karena tak ada di Google.

Kami takjub saat tiba di Villa Monica. Bayangan deretan kamar-kamar kecil menguap. Sebuah vila luas dengan lima kamar menyambut kami. Makanan buatan Mama Tita pun sangat lezat dan berlimpah. Kamar mandi hanya dua, tetapi sangat luas dan dapat memuat selusin orang sekaligus.

Bonus utamanya, lima menit jalan kaki dari Villa Monica kita dapat menyaksikan matahari terbenam di Ngurbloat yang terkenal sebagai salah satu pantai dengan pasir putih terhalus di dunia.

pulau kei
Ruang tamu Vila Monica.
pulau kei
Teman saya, Lolik, menanam anggrek untuk Mama Tita sebagai kenang-kenangan.

5. Pantai pasir putih sehalus bedak

Tak perlu mengarungi lautan berjam-jam atau mengendarai mobil naik-turun tebing untuk menemukan pantai cantik di Kei Kecil. Jalan lima menit dari penginapan, ada Pantai Ngurbloat. Naik mobil lima belas menit, ada Pantai Ngursarnadan.

Favorit saya adalah Pantai Madwaer. Lokasinya lumayan jauh, satu jam lebih dari penginapan. Namun, pasir putih dan barisan nyiur di sini sungguh menggoda. Tadinya kami hendak pesta lobster, tetapi batal karena nelayan tak melaut akibat ombak tinggi. Kami pun beralih pada kelapa hasil panjatan di pinggir pantai, saya makan tiga!

Untuk mengelilingi pulau kecil di sekitar, sewalah perahu. Kami makan siang di sebuah pulau yang dihuni burung camar, yaitu Pulau Nukahai. Pasir putihnya sehalus bedak dan airnya bergradasi dari biru hingga toska. Setelah itu, kami snorkeling di Pulau Ohoieu. Sayangnya, kami batal ke Ngurtafur karena ombak besar. Pertanda bahwa saya harus kembali lagi suatu saat.

[Baca juga: 4 Pantai Terindah di Pulau Kei Kecil yang Wajib Dikunjungi]

Lompat-lompat di Pulau Nukahai.
Menjelang senja di Pantai Madwaer
Menjelang senja di Pantai Madwaer.

6. Wisata gua dan bukit

Gua Hawang terletak di Desa Letvuan, sekitar dua puluh menit dari penginapan. Bersiaplah untuk terpukau dengan birunya yang berkilau saat diterpa sinar matahari. Oh, konon menurut kepercayaan masyarakat sekitar, di gua ini terdapat roh jahat yang bergentayangan.

Kami juga berkunjung ke Bukit Masbait yang terkenal sebagai tempat ziarah pemeluk agama Katolik. Dari puncak menara, yang dihiasi patung Yesus, kita dapat menyaksikan pemandangan yang menakjubkan. Bukit ini dapat ditempuh dengan trekking ringan lima belas menit saja.

Selfie di Gua Hawang
Selfie penuh keringat di Gua Hawang.
Panorama dari puncak menara di Bukit Masbait
Panorama dari puncak menara di Bukit Masbait.

7. Warga lokal yang ramah

Salah satu hal penting yang saya sadari saat berkunjung ke Maluku adalah keramahan orang-orangnya. Jujur saja, selama ini saya mengira orang Maluku berwatak keras dan galak, tetapi tidak. Saya selalu bertemu orang-orang yang ramah dan cenderung jenaka. Para orang tua pun tersenyum dan senang saat saya mengajak anak-anak mereka bicara atau bermain.

pulau kei
Devi dari Desa Ngilngof.

8. Desa Kristen dan Muslim terpisah

Seperti wilayah lainnya di Maluku, warga beragama Kristen dan Islam di Kei juga tinggal di desa-desa yang terpisah. Akan tetapi, tidak terlalu mencolok seperti di Ambon. Saya agak terkejut saat melihat deretan tiang salib yang tertancap di pinggir jalan di Ambon, yang menandakan wilayah Kristen. Hiasan salib juga bergantungan di depan rumah.

Di Kei Kecil, saya hanya melihat taman-taman yang dihiasi patung Yesus atau salib di dekat pintu masuk setiap desa. Sementara itu, desa Muslim biasanya hanya ditandai dengan adanya masjid.

9. Listrik terbatas

Begitu sampai di penginapan, saya langsung minta es batu karena kegerahan. Ternyata, pagi itu listrik mati dan beberapa jam kemudian menyala, lalu mati lagi, hidup lagi. Di sepanjang jalan di Kei Kecil juga tidak terdapat tiang lampu. Gelap gulita. Hanya ada cahaya dari rumah-rumah dan toko.

Malamnya kami ingin nongkrong di Jembatan Watdek, penghubung Kei Kecil dan Pulau Dullah di Tual, tetapi urung karena terlalu gelap dan membuat kami ingin membawa kasur. Begitulah kondisi kota-kota di Indonesia Timur, tak perlu heran dan dinikmati saja. Kapan lagi bisa terbebas dari polusi cahaya seperti di kota besar.

ohelterskelter.com pulau kei
Pantai yang bikin betah.

10. Jangan lupakan oleh-oleh Enbal dan Kacang Botol

Saat mengunjungi pusat oleh-oleh di Tual pada malam terakhir, ada dua toko yang buka. Di toko pertama saya membeli enbal, kudapan khas Kei yang terbuat dari singkong dan menjadi teman minum kopi atau pengganti nasi jika dimakan dengan masakan kuah ikan. Warnanya putih keruh dan berbentuk persegi panjang. Rasanya unik, agak asam dan hambar. Saya juga membeli enbal yang bertabur kacang, rasanya lebih manis dan bisa langsung dimakan tanpa membuat kopi dahulu.

Di toko seberang terlihat botol-botol hijau, antara botol bir atau kecap, yang bersusun di meja depan. Itu adalah kacang botol, kacang goreng yang dikemas dalam botol bekas, entah bekas bir, kecap, ataupun sirup. Sungguh kreatif, selain ramah lingkungan dengan memanfaatkan barang bekas, biaya produksi tentu lebih hemat.

Jangan takut kelebihan bagasi, kacang botol juga dijual dalam kemasan plastik, tetapi tak berganti nama menjadi kacang plastik. Jadi, jangan heran apabila melihat orang menenggak bir di pinggir jalan di Tual. Mungkin mereka sedang makan kacang.

Enbal, kudapan khas Kei
Enbal polos dan bertabur kacang

Tiga hari memang terlalu singkat untuk menjelajahi Kei Kecil, masih begitu banyak tempat yang ingin dituju. Namun, tiga hari cukup membuat saya jatuh hati kepada Kei, kepada tanah kering dan barisan nyiur di pinggir pantai, kepada anak-anak yang selalu tersenyum tulus, membuat saya menemukan satu lagi tempat persinggahan yang akan saya datangi di kemudian hari.

pulau kei
Sampai jumpa lagi di Kei!

Tulisan ini diikutsertakan dalam rangka blog competition yang diadakan oleh #TravelNBlog dan meraih Juara Harapan.