Ada dua danau unik yang berada di Kabupaten Kutai Kartanagara, Kalimantan Timur, yang dianggap demikian karena posisinya yang bersisian dengan Sungai Mahakam yang membentang enam ratus kilometer. Danau Melintang dan Danau Semayang namanya. Tapi, hanya satu yang memiliki desa terapung, yang kami singgahi saat perburuan mengintai Pesut dari Kota Bangun ke Muara Muntai. Desa Melintang.
Nama “melintang”, atau kenohan dalam bahasa Kutai, dipakai karena bentuk danau yang melintang.
Kami tiba di dermaga Kota Bangun sekitar pukul sepuluh, Mas Innal, pemandu yang sekaligus ahli pesut mendampingi perjalanan susur perahu hari ini. Ia paling tahu lokasi-lokasi kemunculan pesut. Yang biasanya terjadi pada pagi atau sore hari. Buru-buru kami memasuki perahu kurus mirip ketinting, untungnya beratap, dan melaju di Sungai Mahakam yang menguning. Sepuluh menit berlayar, Mas Innal mengisyaratkan bahwa ada seekor Pesut yang melintas. Sekilas kepalanya menyembul lalu tenggelam lagi…
Hingga satu jam kemudian tak muncul lagi dan kami tiba di Danau Semayang, yang lebih mirip lautan karena luasnya mencapai 13.000 hektar. Tidak ada apa-apa di sini selain pepohon yang bagaikan tumbuh di atas air. Lantas penyusuran dilanjutkan ke Danau Melintang, yang berada di sisi kanan Sungai Mahakam. Berseberangan dengan Danau Semayang, walaupun keduanya seperti menyatu pula saat air surut.
Kerbau Kalang, Kerbau Rawa dari Danau Melintang
Tiba-tiba perahu meliuk di antara tumbuhan air yang merapat, danau terasa mendangkal dan bangunan kayu di atas rawa memunculkan diri. Kerbau-kerbau bertubuh tegap pun terlihat mengunyah rumput. Itulah Kerbau Kalang atau Kerbau Rawa. Kalang berarti ‘kandang tak beratap’ dalam bahasa setempat. Warga lebih sering menyebut Kerbau Rawa sebagai Kerbau Kalang.
Kerbau Kalang memiliki tubuh yang lebih tegap dengan tanduk horisontal yang melengkung sejalan bertambahnya umur. Mereka menghuni kandang-kandang di atas rawa dan dilepas untuk mencari makan, berkembang biak, dan berenang ke sekitar. Bahkan, daya jelajahnya mencapai 75 kilometer persegi!
Kerbau Kalang adalah plasma nuftah–sumber daya genetik–yang dikembangkan di Kalimantan Timur sejak 1926. Populasi terbesarnya ada di Kecamatan Muara Wis dan Muara Muntai, mencapai 1.500 ekor. Sebab, kedua tempat ini ideal sebagai habitat Kerbau Kalang. Begitu pula yang saya temukan di Desa Melintang.
Dengan bobot mencapai 450 kilogram, tak heran Kerbau Kalang menjadi sumber pencaharian warga Desa Melintang. Dagingnya dapat dijual ke pasar setempat dan sering kali pembeli juga datang dari daerah lain, Toraja misalnya. Kerbau Kalang cocok dijadikan hewan untuk upacara adat, apalagi dengan tanduknya yang cantik.
Saat kami melintasi kandang, penggembala sedang memindahkan rumput segar dari perahu, mungkin air sedang tinggi dan kerbau lebih sering di kandang ketimbang rawa. Seorang bapak bercaping tersenyum dan melambai saat kami permisi singgah ke kandang. Saya turun ke salah satu pintu kandang lantas melompat-lompat, lantainya panas sekali dan saya tak memakai alas kaki.
Kerbau Kalang masih sibuk menguyah ketika saya memanjat pagar dan memotret. Karakter mereka memang lebih jinak, tak terusik oleh saya yang mondar-mandir. Kalang di sini dikelola oleh beberapa kelompok koperasi Desa Melintang. Karena matahari kian meninggi, kami pun berpamitan menuju Desa Melintang.
Ikan Asin, Industri Rumahan Andalan Desa Melintang
Desa Melintang adalah desa terapung yang berada di perairan Danau Melintang. Ia berdiri kokoh di atas pasak-pasak kayu dan rakit yang membentang luas. Setelah beberapa belokan dan beberapa bapak terlihat membasuh tubuhnya yang bersabun di kamar mandi yang berada di depan rumah, perahu kecil kami berlabuh di salah satu tempat pembuatan ikan asin.
Dua pemuda bercaping sedang memilah ikan asin yang dijemur di atas lantai kayu. Caping. Ya, semua orang yang saya temui dari Sungai Mahakam hingga Danau Melintang tak lepas dari caping. Bukan hanya petani, nelayan rupanya penyuka caping. Mengingat teriknya matahari di pulau ekuator ini, wajar caping jadi pegangan hidup.
Ibu-ibu berdaster juga sibuk memilah ikan asin ke dalam kardus, tampaknya siap dikemas dan dikirim ke Jawa. Seperti yang dituturkan bapak di sana. Ikan asin di sini utamanya dikirim ke Jawa, yang sebenarnya merujuk pada Kota Jakarta dan sekitarnya.
“Ikan asinnya dikirim ke Jawa dengan Fuso.”
Begitu ujar tukang perahu kami saat saya berteduh di rumah yang menjadi tempat pengepakan ikan asin. Kawan-kawan masih asyik berfoto di bawah matahari yang menyilaukan. Sambil berkipas-kipas saya memperhatikan proses pembuantan ikan asin yang sederhana. Ikan yang dipakai adalah haruan (gabus), toman, sepat siam, dan baung yang didapatkan dari Sungai Mahakam. Pemuda yang tadi memilah ikan asin kini memancing di pinggir. Di belakangnya berjajar ember-ember besar berisi ikan yang direndam dengan garam pekat.
Proses perendaman cukup satu malam, lalu ikan dibersihkan dan dijemur hingga kaku bagai kayu. Bagusnya, tempat pembuatan ikan asin di sini cukup bersih, tak terlihat satu pun lalat beterbangan. Seperti yang biasa saya temukan di tempat pembuatan ikan asin darurat di Muara Angke. Yang kebanyakan mengolah ikan asin dari ikan yang sudah tak segar dan tak laku. Yang menguarkan bau tak enak dan menerbitkan rasa jijik.
“Dari tiga kilo ikan basah jadinya satu kilo ikan asin.”
Pemuda yang tadi memilah ikan asin yang dijemur lantas memancing ikan di pinggir dan kini menimbang ikan asin pesanan Mba Nina masih dengan caping di kepalanya, menjelaskan tentang produknya. Saya mengangguk-angguk, memperhatikan ia mengemas ikan asin haruan dengan tangkas. Harga satu kilogram ikan asin haruan adalah enam puluh lima ribu, yang paling mahal ikan toman, sekitar tujuh puluh ribu rupiah.
Dalam seminggu, industri rumahan seperti ini dapat menghasilkan 2.000 kilogram ikan asin siap kirim. Semua ikan asin dikemas dalam kardus cokelat yang rapi dan menempuh perjalanan ribuan kilometer. Hingga sampai di meja-meja makan di ibu kota. Saya tak pernah mengira ikan asin datang jauh-jauh dari Kalimantan. Saya malas makan ikan asin di Jakarta karena tak yakin dengan higienitasnya. Sebagai orang Medan, saya menganggap ikan asin Medan yang terbaik di dunia.
Sementara menunggu beberapa kawan kembali ke perahu, saya mengamati sekitar. Anak-anak berbaju koko dan berpeci serta berjilbab turun dari perahu tanpa atap berwarna mencolok, mereka melangkah riang sambil sesekali memandangi kami para pengunjung dadakan. Tak risau menginjak ikan-ikan asin yang dijemur di sekitarnya.
Dasar bocah!