“Rejo artinya apa, ya?”
Saya membuka percakapan saat kendaraan mesti berhenti di depan sebuah masjid. Nama Desa Candirejo terukir di plang yang berdiri di samping gerbang.
“Rejo artinya makmur, Mba,” jawab Pak Kino, yang biasanya lebih banyak diam.
Ialah Pak Kino sang Juru Kemudi, yang berjasa mengemudikan Honda Mobilio oranye dalam perjalanan darat satu pekan ini. Sebuah petualangan merapah Jawa Tengah dan Jawa Timur yang bertajuk Kompas Eksplor.
Kami sudah tiba di Magelang, tepatnya di Desa Candirejo. Di samping saya Mas Iwan asyik memeriksa kameranya, sementara di kursi depan, Mas Anton mencari informasi tentang destinasi yang dituju. Keduanya merupakan tim Kompas Klasika.
Saya turut menyalakan ponsel, sinyal nihil. Kemudian, Mas Bayu dari mobil kedua memandu jalan. Mobil pun beriringan menyusuri jalan kecil beraspal mulus.
Desa Candirejo, mungkin baru pertama mendengarnya atau barangkali saya saja yang demikian, adalah salah satu dari sekian banyak Desa Wisata yang tengah populer di kawasan Borobudur. Dan sebagai Desa Wisata, Candirejo dengan bangga menyatakan bahwa warganya bergotong royong mengembangkan potensinya. Tenaga pemandu berasal dari warga, tenaga promosi; juga tenaga-tenaga lainnya.
“Warga di sini belajar bahasa Inggris, ada juga yang les bahasa Prancis,” terang Mba Wiwi yang mendampingi saya dan kawan-kawan saat mengunjungi Tempuran, tempat menyaksikan pertemuan tiga sungai di Candirejo, yaitu Sungai Progo, Sileng, dan Belan.
Ia menambahkan bahwa sering kali sesajen ditemukan di bawah Pohon Kersen di hadapan saya, mungkin tempat ini dianggap keramat karena merupakan titik temu tiga sungai. Seorang turis Prancis keheranan saat melihat persembahan di atas tanah, dan Mba Wiwi sudah terbiasa menjelaskan demikian.
Mas Iwan tiba-tiba ribut, Mavic-nya tak bisa dikendalikan karena hilang sinyal. Mungkin lupa minta izin, celoteh kawan yang lain sambil menyeringai.
Selain Tempuran, pengunjung yang ingin berwisata di Candirejo dapat menyambangi banyak tempat. Pilihan transportasi beragam, bisa dengan kaki, sepeda, ataupun delman. Saya dan rombongan memilih yang pertama. Usai Mavic turun dengan selamat, kami meninggalkan Tempuran yang dipenuhi pohon durian dan rambutan. Vira, kawan seperjalanan saya, mengusulkan untuk melihat atraksi seni yang ditawarkan Candirejo.
Kami melanjutkan penjelajahan ke sebuah rumah tua khas Jawa dengan pohon rambutan berbuah merah lebat. Rasanya manis, sang pemilik rumah mengizinkan saya memetik. Di ruang utama rumah yang berlantai semen berbaris instrumen gamelan. Matahari mulai surut dan pintu tertutup, dalam cahaya remang saya dan Vira memainkan tiga lagu Jawa. Salah satunya yang biasa disenandungkan pada hajat kawinan. Wah, setelah ini kami bisa bikin orkes gamelan!
Jika ingin menginap di Candirejo, pengunjung bisa menginap di sini. Beberapa rumah warga di sekitar memang sudah difungsikan sebagai homestay, sebuah cara untuk meningkatkan daya tarik wisata di desa yang berada di wilayah Bukit Menoreh ini.
Malamnya saya dan kawan-kawan menutup hari sambil bermain kartu remi di vila kami yang berada di sisi Sungai Sileng. Malam itu cerah, juga esok paginya. Sayangnya, perjalanan mesti buru-buru diteruskan. Honda Mobilio kami akan bertolak ke Madiun.
Dan hujan deras pun menyambut semenjak memasuki Solo.
Saya selalu meragu saat ada yang mengatakan bahwa perjalanan adalah media pencarian jati diri. Mungkin ada betulnya, mungkin juga terlalu membebani. Seakan-akan petualangan yang (memang) menghabiskan waktu dan biaya mesti menghasilkan sesuatu. Manusia tak serta-merta jadi bijak, jadi jatmika, dengan melakukan perjalanan. Butuh waktu dan proses, yang saya rasa tidak barang sebentar.
Satu hal yang saya pelajari adalah adaptasi. Tentang bagaimana saya harus selalu siap mengondisikan diri dalam berbagai situasi. Ini terutama jadi prinsip yang penting saat memilih melakukan road trip atau perjalanan darat dengan kendaraan roda empat.
Saya ingat saat menyewa mobil mini pada musim dingin di Islandia demi penghematan biaya, saya mesti siap menghadapi kenyataan bahwa ia lebih rentan di jalan berlapis es. Badai salju siap menyerang kapan saja, dan keselamatan menjadi prioritas sebelum memutuskan terus mengemudi atau memarkir mobil dan menunggu badai reda. Saya beradaptasi dengan lingkungan ekstrem.
Rombongan tiba di Desa Brumbun di Madiun pada pagi yang cerah. Sembari menunggu tim berkonsolidasi dengan aparat desa, saya dan Vira lantas jalan-jalan, merecoki ibu pedagang sayur dengan pertanyaan tentang sayur yang baru pertama kali kami lihat. Pare Welut, Temu Kunci, dan Krai adalah salah tiganya.
Saya berdecak kagum ketika seorang petugas polisi mengantarkan kami menuju lokasi dengan Yamaha 900 cc-nya. Rasanya seperti pejabat yang dikawal, ya, untuk melewati sawah menguning dan rumah-rumah cantik di jalan sempit yang lebih mirip tanggul. Untunglah Honda Mobilio tetap lincah di medan demikian, sementara saya dan Vira malah berjalan kaki dan mampir ke rumah warga yang panen rambutan. Perhatian kami memang mudah teralihkan.
Atraksi utama Desa Brumbun adalah river tubing atau susur sungai menggunakan ban dalam kendaraan, ada rute mudah dan sulit. Saya dan kawan-kawan malah memilih duduk di warung kopi di taman wisata yang dihiasi lampu gantung bambu, rumah pohon yang masih dibangun, dan pepohon buah yang siap disikat. Apa boleh buat, kami betah karena dijamu durian, bahkan dioleh-olehi seplastik besar rambutan yang baru ludes setibanya di Watu Karung.
Begitulah, kondisi berubah drastis saat menuju Pacitan. Sepanjang jalan dari Ponorogo, saya seperti anak-anak yang bergumam tiap kali melihat bukit hijau, sungai deras berbatu raksasa, dan jembatan gantung yang ringkih didera hujan. Jalan sempit berliku-liku dan pohon jati yang mengingatkan pada tapai singkong di Samosir; perjalanan menuju Pantai Watu Karung bagai tiada akhir. Saya harus mengingat lagi ilmu adaptasi.
Saya tidak lantas murung saat tiba di Pantai Watu Karung yang becek. Bahkan, berlarian mengelilingi penginapan yang berada di depan pantai. Saya kuyup dan gembira. Tentu hujan masih turun hingga esok harinya, membatalkan acara menikmati matahari terbit. Saya dan kawan-kawan menikmati waktu yang pendek sebisanya. Saya mengamati bapak-bapak yang memancing; pengunjung yang tetap berfoto di pantai. Vira asyik dengan sketsanya.
Saya tak bisa diam. Belum ke pantai rasanya apabila belum menyentuh airnya, yang ternyata malah menerjang saya hingga basah sepaha. Pantai Watu Karung memang berombak besar, ia populer sebagai destinasi pilihan peselancar. Tak heran, Rod Steeles, pemilik penginapan kami adalah peselancar asal Australia.
Ada cerita lucu di balik pembangunan tempat ini, masyarakat menganggap Watu Karung sebagai tempat buang hajat. Ya, buang hajat. Bukan melarung sesajen atau membuang jin yang mungkin sudah tak berguna (mengapa saya menduga demikian, ya?). Mereka membuang kotoran ke pantai karena belum memiliki sistem sanitasi yang layak.
Mengamati batu-batu karang yang tersebar dan menjulang bagai pulau, saya membayangkan betapa eloknya saat langit tak lagi kelabu. Saat suasana tak terlalu sendu. Jika ada yang memutar lagu “Saturn” Sleeping at Last saat itu, mungkin saya akan langsung terjun ke laut.
Banyak hal terjadi dalam perjalanan; tentang adaptasi, tentang mengenal karakter baru. Jangan bermuram durja apabila cuaca tak mendukung. Apa salahnya bermain di pantai kala hujan ataupun panas, keduanya sama bikin basah. Apa salahnya pula bersantai sambil berbincang-bincang ngalor-ngidul.
Sesingkat apa pun perjumpaan di Watu Karung, seganas apa pun hujan mengguyur; tidaklah jadi kenangan buruk. Ketika Honda Mobilio kami menerobos banjir di Pacitan, lalu memutari jalan-jalan kecil demi mencari jalur pulang, saya menikmati semuanya. Juga mengelus dada karena tiba di Yogyakarta sebelum akses di Pacitan dan Gunungkidul terputus akibat banjir.
Obrolan dan hal baru yang dibagi bersama kawan seperjalanan, itulah memori yang akan melekat. Tentang bagaimana sekali lagi saya dan kawan-kawan beradaptasi terhadap situasi (ya, kami batal ke Nglanggeran karena Gunungkidul didera hujan dan banjir), dan beralih ke Desa Kasongan untuk melihat kerajinan gerabah. Tak lupa, kami menghibur diri dengan gelato di Jalan Prawirotaman dan bakmi jawa Pak Geno. Malam ditutup dengan hangat.
Hingga perjalanan lima belas jam menuju Jakarta, Kompas Eksplor menjadi petualangan amat berkesan. Hingga masing-masing kembali ke rumah dengan selamat dan menemui bantal kesayangannya, lantas tiap hari membicarakan kembali durian yang tak sempat diserbu di sepanjang jalan.
Sila disimak video dokumentasi perjalanan Kompas Eksplor bersama Honda Mobilio.
P.S. Simak juga tulisan kawan seperjalanan, Vira, di sini.