Mungkin banyak kawan yang tahu kalau saya penggemar kopi. Semua jenis kopi saya teguk–bukan tenggak, karena itu lebih cocok untuk bir. Mulai dari kopi tubruk instan hingga kopi bikinan barista yang namanya sangat Italia. Pun saya akui, kopi favorit saya mesti mengandung susu, seperti capucinno yang diramu dari double espresso dan milk dan steamed milk foam. Maklum saja istilahnya keminggris. Begitulah yang biasa diujarkan para barista.
Akan tetapi, saya juga punya kecintaan tersendiri terhadap kopi susu kampung. Seperti yang biasa saya minum di Glodok misalnya, Kopi Es Tak Kie. Kopi susu kampung di sini merujuk pada teknik pembuatan kopi tradisional yang dibawa orang Tionghoa dan diwariskan turun-temurun di Indonesia. Biasanya mereka menyeduh bubuk kopi dengan air mendidih untuk mendapatkan rasa kelat–istilah yang sering dipakai orang Medan–yang pas. Setelah itu, kopi dituang ke gelas yang sudah berisi susu kental manis–takaran tergantung resep dapur masing-masing.
Tiap daerah tentu memiliki gaya selingkung sendiri. Di Pekanbaru saya menemukan kopi susu kampung yang juga saya sukai, namanya Kopi Kimteng. Kopinya dimasak dengan cerek alumunium tinggi seperti gembor yang dipakai untuk menyiram tanaman. Di dalamnya dipasang kain untuk menyaring bubuk kopi agar tidak terbawa saat dituang.
Ternyata, saat berkunjung ke Belitung bulan lalu, saya menemukan teknik meracik kopi yang sama di Kedai Kopi Kong Djie. Kedai kopi legendaris di Simpang Siburik, Tanjung Pandan, yang berdiri sejak tahun 1943.
Ia mungkin bukan yang tertua di Belitung, tapi Kopi Kong Djie terkenal karena mempertahankan cita rasa racikan kopi yang dirintis dari tujuh puluh tahun silam. Ho Kong Djie, seorang Tionghoa asal Bangka, merantau bersama keluarganya ke Belitung karena kemiskinan akibat penjajahan Jepang. Saat itu masih awal tahun 1940-an dan bermodal uang seadanya untuk membeli kopi dan gula, Kong Djie membuka kedai pertamanya di daerah Buluh Tumbang.
“Karena keuletan dan falsafah Kong Djie bahwa pelanggan adalah raja, kedai kopi ini dapat bertahan dan menawan hati para pelanggan.”
Itulah yang dituturkan Ishak Holidi, generasi kedua yang meneruskan usaha kedai ini. “Walaupun sepertinya anak saya tak berminat meneruskan usaha ini,” tambahnya seperti menguatkan diri.
Pak Ishak yang mengenakan kaus hijau terlihat mencolok di ruangan yang tak terlalu lebar. Beberapa pelanggan lain asyik merokok sambil menyesap kopi. Mereka menyapa Pak Ishak. Pelanggan Kopi Kong Djie memang kebanyakan adalah warga sekitar, yang bisa dikatakan tetangga sendiri pula. Mereka bisa saja menyeduh kopi sendiri di rumah, tapi suasana kedailah yang membuat mereka kembali.
Mungkin karena Pak Ishak memperlakukan semua pelanggannya seperti keluarga, yang mesti dilayani secara personal dan dikenali cita rasanya. Karena itu, selain turis dadakan yang mungkin datang membludak, Kedai Kopi Kong Djie senantiasa dipenuhi pelanggan setianya.
Saya menyimak riwayat yang dituturkan Pak Ishak sambil mengaduk es kopi susu yang baru tiba. Kalau dilihat, takaran susu kental manisnya tak terlalu banyak; ini kesukaan saya. Ternyata rasanya pas sekali dengan yang saya inginkan, kopi susu yang tak kebanyakan susu dan kemanisan seperti pada umumnya. Belum lagi, rasa kopinya masih kuat terasa di lidah. Saya pun menanyakan kopi yang digunakan.
“Kopinya memakai robusta dari Lampung dan arabika dari Jawa,” terang Pak Ishak.
“Lalu kadarnya?” saya berusaha mengorek informasi. “Ya, sekitar 70% robusta dan 30% arabika.”
Pantas saja kopinya terasa cukup kuat, ternyata Kopi Kong Djie menggunakan arabika yang terkenal dengan aroma dan keasamannya. Ini membuat saya senang betul, lantas teringat pula pada nikmatnya kopi sanger arabika di Aceh. Di antara serangan terik matahari dan padatnya pelanggan kedai, Pak Ishak pun bercerita bahwa ruangan di kedai ini masih sama seperti awal berdiri. Hanya bagian luar bangunan saja yang diubah dan dicat terus. Sementara, melihat banyaknya jumlah pelanggan yang berdatangan, ia berniat membuka lantai dua kedainya dan memasang penyejuk ruangan.
Ide yang bagus, mengingat ruangan di bawah ini bercampur dengan orang yang merokok dan mungkin kurang nyaman bagi yang bukan perokok. Kalau penasaran seperti apa keunikan Kopi Kong Djie, mungkin bisa juga mencoba beberapa kedai waralabanya yang sudah tersebar di Batam, Palembang, Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Tapi ingatlah, seperti pesan Pak Ishak, ia tak bisa menjamin kedai-kedai itu akan menyajikan kopi dengan cita rasa yang sama seperti di tempat aslinya.
Pembuatan kopi di Kong Djie memakai tiga cerek besar, salah satunya mencapai tinggi satu meter. Itulah yang menjadi cerek untuk membuat biang kopi, dengan mencampur satu kilogram bubuk kopi dengan air mendidih. Pada bagian tutup cerek dipasang saringan kain untuk mencegah bubuk terbawa. Biang kopi inilah yang dituang ke tiap gelas, yang kemudian akan diseduh lagi dengan air mendidih sesuai selera; bisa kental bisa encer.
Uniknya, semua cerek itu dijerang di atas tungku arang yang terus menyala. Jadi, seperti prinsip memasak rendang, bisa dibayangkan bukan bagaimana racikan Kopi Kong Djie akan semakin nikmat?
Lalu, apakah cita rasa ini bisa kita temukan di Kedai Kopi Kong Djie selain di Simpang Siburik?
“Namanya juga waralaba, saya sudah memberikan standar dan pelatihan peracikan kopi, tapi mungkin saja tiap kedai mengubah sedikit atau beberapa.”
Saya hanya bisa mengangguk-angguk sambil mengunyah pisang goreng. Ah, tampaknya saya mesti mencoba juga Kopi Kong Djie di Jakarta!