Canting, air, ikan. Ketiganya memiliki makna tertentu dalam sebuah logo. Kreatif, adaptif, potensial. Sangat tepat menggambarkan Pekalongan sebagai Kota Batik yang dinamis. Dua simbol manusia, yang bermakna semangat dan kerja keras, yang melengkapinya semakin mempertegas harmonisasi antara manusia, alam, dan budaya di sana.
***
“Itu logo baru Pekalongan, Mba,” ujar pemandu saya, Mas Gandi, saat kami melewati sebuah spanduk besar di tepi jalan.
Sebuah ucapan selamat terhadap diresmikannya logo baru untuk Kota Pekalongan. Logo itu sangat unik, menurut saya, berbeda dengan logo-logo kota yang pernah saya lihat. Logo melingkar bernuansa oranye dan cokelat itu sekilas berbentuk seperti motif batik.
Obrolan kami terputus saat mobil memasuki halaman gedung. Ini kali pertama saya mengunjungi Museum Batik Pekalongan, yang terletak di Jalan Jetayu No. 3. Gedung tua khas Hindia Belanda menyambut saya dengan jemawa. Pilar-pilar tinggi dan jendela besar membuat saya merasa seperti kurcaci.
Museum yang diresmikan oleh Mantan Presiden SBY pada 12 Juli 2006 ini dahulunya, pada tahun 1906, merupakan kantor balai kota Pekalongan. Sebelumnya lagi adalah kantor keuangan pabrik gula milik pemerintah Kolonial Belanda. Tak heran, ciri khas bangunan Eropa terlihat begitu autentik. Serupa bangunan-bangunan kuno bercat putih yang terdapat di Kota Tua Jakarta.
Setelah mengisi daftar pengunjung, pemandu museum menggiring saya menuju sebuah pintu besar. Ia pun berpesan bahwa koleksi di ruangan ini, dan ruang-ruang pamer lainnya, tak boleh dipotret, tetapi saya diperbolehkan setelah mendapat izin khusus.
Saya pun mengamati koleksi bahan pembuat batik, canting dan malam, dan kain batik dari berbagai daerah, bahkan luar negeri, di ruangan yang bernama Ruang Pamer 1 ini. Selain canting berbagai ukuran, terdapat banyak informasi mengenai bahan alami penghasil malam yang menjadi unsur utama pembentuk batik, misalnya gondorukem atau getah pohon pinus, damar, dan lilin tawon.
Di hadapan saya terbentang kain batik beragam warna dan motif. Ada yang berasal dari Jambi, Bengkulu, Cirebon, Madura, Bali, dan tentunya tak ketinggalan koleksi lokal Pekalongan. Uniknya, di sini terdapat batik Pekalongan yang menggambarkan adegan gadis yang sedang bekerja, yang terinspirasi dari dongeng Cinderella dari Eropa. Batik yang diperkirakan dibuat pada tahun 1900-an ini sedang direproduksi.
Batik dari Bali yang colorful
Mungkin timbul pula pertanyaan, apakah Pekalongan tak punya batik khas atau autentik? Mengapa Pekalongan yang mendapat gelar Kota Batik di Indonesia, bukan Yogyakarta atau Solo, misalnya, yang juga menghasilkan batik?
Jika dirunut ke belakang, sejarah Pekalongan sebagai Kota Batik tidak terlepas dari perannya sebagai kota penghasil tekstil terbesar di Jawa. Ketika itu, segala jenis kain diproduksi di kota yang terletak di pesisir utara Jawa ini. Dalam perkembangannya, tradisi ‘amba’ dan ‘nitik’ ini pun berkembang pesat dengan adanya dukungan dari saudagar batik dan masyarakat setempat yang mewarisi keterampilan membatik.
Mengenai gelar Kota Batik yang disematkan pada Pekalongan, saya pun teringat pada peran kota ini sebagai kota pelabuhan pada masa lampau. Para saudagar dari Arab, Gujarat (India), dan Tiongkok berkunjung untuk urusan perdagangan. Tak jarang mereka menetap di Pekalongan hingga akhirnya menciptakan akulturasi budaya terhadap seni membatik.
Motif-motif yang terinspirasi dari negeri seberang itu pun memperkaya motif asli Pekalongan. Sebut saja batik bermotif naga, burung phoenix, dan kura-kura yang terinspirasi dari Tiongkok, batik Djawa Hokokai yang bermotif buketan sakura, krisan, dan kupu-kupu yang terinspirasi dari Jepang namun dibuat oleh pengusaha Tiongkok di Pekalongan yang kemudian disebut batik Djawa Baru, dan lain-lain. Kekayaan dan keragaman inilah yang membuat Pekalongan menyandang gelar sebagai Kota Batik.
Di samping menerima pengaruh luar, batik Pekalongan juga mempertahankan motif khasnya, yaitu Jlamprang. Motif ini kabarnya berasal dari Desa Krapyak Lor, Pekalongan Utara, yang terinspirasi dari motif kain patola dari Gujarat. Jlamprang adalah nama pohon yang banyak tumbuh di desa ini. Motifnya berupa bujur sangkar yang tiap sisinya melengkung dan merupakan penyatuan dari empat buah lingkaran.
Tak kalah tua dengan bangunannya, dari 1.219 lembar koleksi batik di Museum Batik Pekalongan terdapat banyak batik yang berasal dari tahun 1900-an yang disimpan di ruang khusus. Saya beruntung diperbolehkan memasuki ruang itu, dan melihat batik-batik yang disimpan dalam lapisan gulungan kertas. Beberapa bagian batik sudah terlihat rapuh dan sobek, tetapi nilai sejarahnya membuat saya terkagum-kagum.
Untuk menjaga ketahanan batik-batik antik itu, Museum Batik Pekalongan biasanya selalu menjadwalkan pergantian tata letak batik yang dipajang tiap bulan. Tujuannya agar batik tidak terlalu sering terpapar lampu dan debu, dan agar pengunjung dapat menikmati berbagai koleksi yang ada.
Ketika mengamati koleksi batik di Ruang Pamer 2, saya melihat sebuah batik bermotif naga. Saya pun teringat pada kenangan manis saya dengan batik. Ketika kecil, ibu saya selalu menggendong saya dengan kain gendong batik merah bermotif naga. Saat sakit ataupun menangis manja, saya selalu terlelap dalam kain gendongan itu. Hingga dewasa, saya selalu menggunakan kain gendong batik itu untuk teman tidur, untuk sekadar dipeluk-peluk. Hubungan saya dengan batik itu pun begitu intim.
Kini saya tak menganggap batik sebagai sekadar teman baik ketika tidur ataupun busana wajib pada hari Jumat, saya menganggap batik adalah kekayaan budaya Nusantara yang patut dijaga dan dibanggakan. Kecintaan terhadap batik pun terlihat begitu jelas di Kota Pekalongan.
Para pengrajin batik dan masyarakat Pekalongan kompak mengemban gelarnya sebagai Kota Batik, bahkan kini Kota Batik Dunia—World’s Batik City. Mereka mencintai budayanya seperti mencintai anak-anak yang mereka lahirkan dari rahim mereka sendiri. Di setiap gang-gang kita dapat menemukan para penjaga tradisi, yang membatik bukan sekadar untuk urusan komersial, melainkan melanggengkan tradisi yang membentuk asal usul diri mereka.
Maka, kampung-kampung batik pun tercipta sebagai bentuk pengabsahan budaya dan pemasaran pariwisata Pekalongan sebagai Kota Batik. Saya lihat ada Kampung Pesindon—yang diresmikan menjadi Kampung Batik pada tahun 2011, Kauman, Bawuran, dan masih banyak lagi, yang siap menyambut orang-orang yang antusias dan ingin tahu tentang batik.
Saya pun mampir ke Rumah Batik Larissa di Kampung Pesindon untuk melihat langsung proses pembuatan batik. Yang ternyata sama sekali tak semudah itu. Setelah dibatik, kain masih harus dicelup dalam tong yang dibakar dengan kayu untuk meluruhkan malam, lalu melewati berkali-kali pewarnaan, dibilas, dijemur, dan seterusnya. Di rumah batik ini juga terdapat berbagai motif dan warna batik yang dijual, mulai dari Pagi-Sore, Buketan, Mega Mendung, Sogan, dan batik tie-dye yang mengikuti tren saat ini.
Hebatnya lagi, Kota Pekalongan kini menyandang status sebagai Kota Kreatif Dunia (Creatives Cities Network) UNESCO! Bergabung dengan 27 kota dari 18 negara lainnya, pada tahun 2014 UNESCO mengumumkan bahwa Pekalongan termasuk dalam kota yang mengembangkan Crafts & Folks Arts. Pekalongan adalah satu-satunya kota di Asia Tenggara yang terpilih.
Tentunya hal itu semakin menyemangati pemerintah Pekalongan untuk meningkatkan citra Kota Batik. Berbagai aspek di Pekalongan dilibatkan untuk mendukung status kebanggaan ini. Pelajaran Batik sudah masuk ke Sekolah Dasar hingga Sekolah Kejuruan semenjak tahun 2012. Pemerintah juga rutin mengadakan perhelatan batik berskala nasional, seperti Festival Batik Nasional, Pekan Batik Nusantara, Festival Kalonganan, dan lain-lain.
***
“Kami sedang melakukan program sosialisasi museum dan workshop batik di sekolah,” terang Bu Tanti Lusiani, Direktur Museum Batik Pekalongan pada kunjungan saya ke sana Maret silam.
“Nama programnya Museum Masuk Sekolah, sudah berlangsung dari tahun 2012, karena batik adalah salah satu muatan lokal yang dipelajari di sekolah. Workshop kami berisi teori tentang batik dan praktik membuatnya, lalu dapat sertifikat. Rating museum pun jadi naik,” ujar Bu Tanti penuh semangat.
“Ya, saya lihat hari ini pengunjung remaja cukup banyak,” tambah saya menyepakati.
“Alhamdulillah, jumlah pengunjung kami semakin bertambah setiap tahun. Kami juga sudah menjalankan program Museum Masuk Hotel dan Museum Masuk Mal,” tambahnya lagi.
Museum Batik Pekalongan juga selalu mendukung program yang dijalankan pemerintah. Demi menjaga dan mempromosikan Pekalongan sebagai Kota Batik satu-satunya di dunia. Sebuah misi yang tak dapat disepelekan karena menuntut kerja sama dari seluruh unsur di kota ini.
Di Lapangan Jetayu, yang berada di depan museum, berdiri monumen bertuliskan BATIK. Saya memandangi museum dari balik monumen, begitu banyak sejarah batik yang baru saya ketahui. Yang seharusnya diketahui pula oleh seluruh orang Indonesia.
Ya, Pekalongan, Kota Batik, riwayatmu kini sudah begitu membanggakan, bukan hanya kepada wargamu, tetapi kepada tamu seperti saya. Rasa-rasanya kenangan intim saya dengan kain gendong batik begitu kanak-kanak apabila dibandingkan dengan prestasi yang kini diemban oleh Pekalongan. Kota Batik, riwayatmu kini…
Photos: @tamagraph