Apa yang engkau pikirkan saat tiba di tempat baru yang seumur-seumur hanya pernah kau lihat dari layar perak? Takjub mungkin, terperangah dan mengurai satu demi satu referensi yang berkaitan dengan tempat tersebut di kepala. Wajah Nicholas Cage pun muncul, bergantian dengan plang Hollywood dan pohon palem dan Glossier yang baru buka cabang dan badan Justin Bieber yang kian penuh tato.
Kira-kira itulah yang terlintas saat pesawat mulai menukik dan menayangkan malam penuh pendaran cahaya di Los Angeles. City of Angels.
Proses memasuki negara Amerika Serikat yang semula dikisahkan rumit berlalu terlalu mudah, petugas imigrasi dengan mantap menerakan stempel di paspor dan kami mabrur memasuki Negara Bagian California. Pukul sembilan kini, wajah dan rambut sama kusut akibat tiga belas jam penerbangan, tetapi saya dan Tama melangkah penuh gaya di LAX. Macam jepretan paparazi Just Jared ketika Kristen Stewart dan Robert Pattinson tiba di LAX sambil bergandengan tangan.
Dulu.
Menggeret koper yang bisa memuat koper-koper lainnya bak Matrioska, saya mencari tahu lokasi bus antar-jemput menuju kantor penyewaan mobil yang berada di area bandara. Tentu, alamat dan jadwal pengambilan mobil sudah ditentukan, begitu pula pilihan yang jatuh pada Nissan Spectra atas pertimbangan ekonomis.
Betul, kami berencana melakukan perjalanan darat mengelilingi taman nasional yang berada di Negara Bagian California, Arizona, Utah, dan Nevada. Kalau sempat, mampir juga ke festival musik Coachella yang tren di kalangan anak muda yang lebih ingin berdandan bohemian ketimbang mengetahui siapa grup musik yang tampil.
Kami keluar di Terminal Kedatangan Internasional Tom Bradley–entah siapa beliau, lantas refleks gemetar kedinginan. Apa ini, saya kira suhu bulan April, awal musim semi, di Amerika Serikat akan bersahabat. Saya merapatkan mantel cokelat bernuansa musim gugur yang saya beli di Korea, pilihan yang tepat.
Kami berbelok ke kanan, menuju area tunggu bus yang ditandai warna ungu. Hertz, Sixth, Avis, Thrifty, dan berbagai merek jasa sewa mobil terpampang. Kami berdiri di antara sesama pendatang. Ada yang berkeluarga–dengan balita menenteng tas warna-warni, dan pejalan ranselan–mohon maaf, kali ini kami berkoper.
Bus yang dinanti tiba lima belas menit kemudian, berwarna putih berlogo biru. Penumpangnya cukup banyak. Tampaknya kami punya hobi yang sama, memburu harga promo. Saya memandangi wajah-wajah penumpang lain, berusaha mengidentifikasi asal dan maksud kedatangan mereka.
Namun, gagal. Pemandangan di luar bus lebih menarik. Oh, seperti inikah Los Angeles? Tentu tidak, kami masih berada di area bandara. Belum menyerap Los Angeles seutuhnya. Hotel-hotel megah berjejer, juga papan reklame raksasa yang mengiklankan acara yang dibikin seolah-olah nyata atau kontes bakat di televisi. Pohon palem sudah menjulang gagah, padahal belum sampai Beverly Hills.
Bus merapat di kantor cabang Thrifty, penumpang turun dan menyampaikan terima kasih. Ini mirip kelakuan mahasiswa baru di UI saat naik bus kuning. Gedung biru berlantai entah berapa ini memiliki ruangan yang lapang; di sisi kiri barisan komputer dan pegawai yang tinggal dua, di sisi kanan ruang duduk dan mesin penjual minuman. Di hadapan saya fasilitas telepon gratis untuk menghubungi layanan pelanggan.
Kami berbelok ke kiri, mengantre di belakang seorang pria berjas kelabu; jadwal pengambilan sebenarnya masih tiga puluh menit lagi. Tak lama, seorang pegawai perempuan berkulit hitam berseragam serbabiru menyapa selamat malam dengan ramah.
Seperti biasa, saya menyodorkan bukti pemesanan mobil di ponsel, kartu kredit, dan kartu SIM internasional milik Tama. Ialah pengendara untuk perjalanan darat kami dua minggu ke depan.
“Can you show me your license?”
“He’s the driver, Mam,” balas saya tanpa mengetahui nama si pegawai.
“You booked under your name, so we need your license.”
“I don’t have it.”
“I need his credit card then.”
“He doesn’t have a credit card, can we use debit?”
“Yes, please.”
Jantung mulai berdegup lebih kencang. Ada hawa tidak beres. Saat menyewa mobil di Geysir di Islandia, kartu kredit saya dapat digunakan untuk membayar mobil yang dikendarai atas nama Tama. Intinya, nama pengendara dan pembayar diperbolehkan berbeda. Selain itu, apabila ingin membayar tunai, hanya perlu menambah uang jaminan.
“We can’t read your debit card. Do you have another card?”
Pertanyaannya membuyarkan lamunan. Dua kartu debet Tama tak terdeteksi, namanya tak muncul di komputer. Si pegawai bertubuh gempal sampai memutar layar untuk meyakinkan. Saya bersikeras bahwa nama sudah tertera di kartu, mengapa masih dipermasalahkan oleh sistem?
Peraturan tetap peraturan, karena nama tak muncul, Thrifty tak bisa mengesahkan pemesanan dan mobil takkan dikeluarkan. Kacau sekali. Terlebih, saya sudah membayar sepertiga biaya penyewaan. Bagaimana dengan pilihan pembayaran tunai? Tak bisa. Kasir yang menangani uang tunai sudah tutup, bisa dicoba esok pagi. Itu pun harus melalui proses verifikasi pemesanan yang sudah dilakukan atas kartu kredit saya.
Solusinya adalah melunasi pembayaran dengan kartu kredit atau debet Tama atau memberikan SIM atas nama Yuki.
Keduanya tak bisa kami penuhi. Rasanya geledek tiba-tiba menyambar walaupun langit cerah saja. Hampir tengah malam dan tak bisa mengambil mobil yang sudah dibayar. Kalaupun kembali esok pagi, kami takkan bisa memenuhi dua solusi pembayaran di atas.
“You should use a better card if you travel a lot,” saran pegawai itu. Tiba-tiba saya merasa gagal menjadi pelancong profesional.
Sial, di Islandia semua kartu bisa digunakan, bahkan kartu debet buluk yang sudah saya pakai sejak pertama kali mencari nafkah. Saya pun mengutarakan pengalaman tersebut. Yang ditolak mentah-mentah, walaupun saya mengiba minta tolong.
“That’s the rules, do you want to hire me if I get fired from my job?”
Pupus harapan. Sungguh kesembronoan yang berakibat panjang. Saya pun menyalahkan Tama yang tak punya kartu kredit padahal sudah tahun 2018–walaupun ini tidak relevan. Tama menyalahkan saya karena tidak punya SIM–ini lebih tidak relevan lagi karena jelas saya belum lolos ujian menyetir. Ini adalah mekanisme pertahanan diri yang wajar ketika ditimpa kesialan.
“But we already paid,” ngotot saya.
“We haven’t receive the payment. Can you show me the reservation.”
Ketak-ketuk ketak-ketuk bunyi kibor. Saya makin cemas.
“You booked it from a third party.”
Celaka. Usut punya usut, ternyata pemesanan dan pembayaran yang saya lakukan melalui laman pengepul jasa sewa kendaraan. Padahal seingat saya, laman itu mengarahkan saya masuk ke laman resmi Thrifty. Ya, manusia tempatnya khilaf.
“You should call the company regarding your reservation, you can ask for a refund.”
Pegawai itu berselancar lagi di Google. Ternyata laman tersebut tak mencantumkan nomor dan email layanan pelanggan; hanya ada isian untuk komplain yang entah kapan pastinya dibalas, itu pun kalau dibaca. Tombol batalkan pemesanan yang semula dipajang kini hilang ditelan bumi. Mungkin karena sudah memasuki tanggal penjemputan mobil sehingga transaksi dianggap selesai.
Kepala mau pecah rasanya. Tama malah menawarkan ide baru. Plan B. Bagaimana kalau membatalkan trip keliling taman nasional dan berkeliling Los Angeles saja lalu naik bus ke San Fransisco. Menggoda, tapi tidak cukup mengobati luka. Saya sudah setengah mati merancang jadwal perjalanan keliling taman nasional, bahkan melunasi tempat kamping. Sementara, Tama hanya menyusun jadwal ala kadarnya untuk New York.
Berwajah malang, kami meminta saran tentang penyewaan mobil yang menerima pembayaran tunai tengah malam begini. Tidak ada, setahu pegawai itu, semua perusahaan mewajibkan kepemilikan kartu kredit untuk jaminan transaksi. Barangkali bisa cek toko sebelah, sarannya bimbang.
Dengan lunglai kami melangkah keluar, dikejutkan oleh malam yang makin menggigilkan tubuh. Suhu menunjukkan empat belas derajat Celcius. Kami berjalan mundur karena melihat plang jasa penyewaan lain, yang memang berbaris di sepanjang jalan itu.
Kali ini kami menghadapi pria pendek berkulit putih berseragam kaus polo putih. Jawabannya sama persis. Kami tidak bisa menyewa mobil, kecuali bersedia menggunakan jalan belakang. Bukan, bukan jalan ke kamar mandi. Ia menelepon temannya yang bisa menyewakan mobil dengan pembayaran tunai, tetapi kemungkinan harganya lebih mahal. Saya menebak 500 dolar untuk sepuluh hari. Salah lagi, usai menutup telepon, pria itu menyampaikan harga 1.000 dolar dengan canggung. Hampir lima belas juta.
Bunuh saja saya, Pak.
Pintu kaca terbanting tepat pukul dua belas malam. Tak ada kereta kencana yang menjemput. Kereta labu sekalipun. Kami menyerah karena lelah, juga mengantuk. Saya pun memesan Uber, yang langsung diterima oleh pengendara bernama Svetlana.
“Wah, kita dapat supir perempuan,” entah kenapa saya selalu girang menemukan supir perempuan.
Betul saja, seorang perempuan bercelana olahraga dan bersweter hitam tiba dengan mobil sedan abu-abu, yang terasa terlalu pribadi, macam dijemput keluarga ketimbang Uber. Svetlana berambut hitam panjang, dengan wajah segar tanpa jejak kantuk–syukurlah.
Saya bukan penggemar obrolan di dalam kendaraan, Tama tidak demikian. Ia segera membuka suara, yang kemudian dibalas terlalu panjang hingga tiba di tujuan. Padahal, lokasi tujuan lumayan jauh, sekitar 50 kilometer. Svetlana pun protes, mengapa kami memilih AirBnB yang jauh dari pusat kota? Seharusnya di Korea Town atau Pasadena atau Glendale–tempat tinggalnya.
Ya, karena harga yang murah dan kami kehabisan kamar di Korea Town. Lagipula di El Monte, tempat tinggal kami nantinya, terdapat terminal bus ke segala tujuan.
Dan lebih-lebih, itu bukan urusannya.
Svetlana sepertinya begitu gembira mengenal orang Indonesia, yang bikin ia semangat merekomendasikan berbagai restoran yang menghidangkan nasi.
“Asian people like rice, right? Me too. I always come to Armenian restaurant near my house.”
Terungkap pula jati diri Svetlana. Ia berdarah Rusia-Armenia. Sudah saya duga dari nama dan perawakannya. Yang tak saya duga, orang Armenia makan nasi.
Ia pun membocorkan makanan lain yang harus dicoba; Pink Hotdog, In ‘n Out Burger (ini sudah tahu), lalu santap hidangan laut sepuasnya di restoran di Marina del Rey–sangat dianjurkan karena lezat dan menguntungkan. Ia juga menyuruh kami main ke Studio City dan Old Pasadena yang cantik. Saya catat semuanya di ponsel sehingga bisa menyampaikannya di sini.
Tiga puluh menit berlalu, pantat serasa menempel di aspal karena kondisi mobil dan kecepatan Usain Bolt di jalan bebas hambatan. Sepintas terlihat Los Angeles, pula Target, toserba yang sering muncul di Youtube. Dan lagi-lagi, saya sudah bisa menebak, karena terlalu heboh merumpi, rumah yang dituju terlewat dan harus memutar cukup jauh di jalan yang sama.
Sungguh malam yang amat panjang, saya rindu kasur. Kepala pusing sekali memikirkan mobil dan rencana perjalanan yang mendadak harus diubah.
Svetlana yang amat ramah menurunkan kami di titik sesuai peta, di perumahan berjalan lebar yang sudah gelap gulita. Saya cemas sang tuan rumah AirBnB terlelap, walaupun sudah berpesan akan tiba malam hari.
“What’s the number of the house?” tanya Svetlana, turun dan menemani kami celingukan. Wow, ia memakai Ugg. Sungguh kombinasi kostum yang terlalu santai.
Saya menunjukkan empat angka yang dimaksud. Nomor di dinding dan pintu rumah tak terlihat. Svetlana menyalakan senter di ponselnya dan menyorot trotoar. Terlihat angka-angka, sepertinya juga sebagai penanda area parkir yang menjadi hak pemilik rumah. Beberapa kali kami menyenter dan mengendap-endap serupa maling. Untung tidak ada Rottweiler yang lupa dirantai.
Saya melirik nomor yang tertutup tong sampah hijau. Itu dia.
“Are you sure this is the house?” tanya Svetlana, lalu membuka bagasi dan menurunkan koper.
“It doesn’t look safe. I mean, look at the window, all covered up.”
Saya mengikuti pandangan Svetlana. Balkon dan pintu rumah dipadati tumpukan perabot tak terpakai, kedua jendela besar di sisi kanan dan kiri tertutup kertas. Bukan gorden. Bahkan, rumput dan semak di halaman seakan-akan tak dirawat sejak Amerika Serikat ganti presiden. Saya teringat film horor, kemudian barang bawaan. Tidak ada harta berharga, hanya kamera dan laptop, uang tunai hanya delapan ratus.
“They’re Asian. They have children,” jawab saya, mengingat profil tuan rumah. Seolah-olah ada perjanjian tak tertulis di dunia ini bahwa sesama bangsa Asia tidak boleh menyakiti satu sama lain. Terlebih, apabila sudah memiliki anak.
“Take care of yourself and your stuff,” pesan Svetlana, “you can call me if something happened.”
Svetlana mengeja nomor ponselnya, saya mencatatnya. Bukankah lebih cepat menghubungi 911? batin saya.
“You can write Lana, Uber,” ujarnya.
Saya berterima kasih kepada Lana, kenalan pertama di Los Angeles, dan merayakan perpisahan pada dini hari yang mencekam itu dengan pelukan. Ia juga memeluk Tama. Lalu mobilnya berlalu dalam kelam. Kami masih diam mematung.
Malam yang janggal, mau tidak mau saya jadi gentar saat menatap rumah itu. Duh, memangnya bisa senahas apa lagi kami malam ini?
Namun sebelumnya, belnya di sebelah mana?