Mungkin Toraja adalah satu-satunya daerah di Indonesia yang menganggap indah sebuah kematian.
Setidaknya itulah yang saya jumpai di Lembang Sereale, Kecamatan Tikala, Kabupaten Toraja Utara. Bahwa jenazah seburuk apa pun, dengan tengkorak menghitam dan gigi tanggal di sana-sini, asalnya manusia semata. Yang dikasihi dan mesti dirawat dari masa ke masa.
Karena itu pula, masyarakat Toraja tiada sungkan menaruh jenazah di ruang tamu selama bertahun-tahun–bagai masih bernyawa–hingga mereka mampu membiayai upacara adat kematian yang disebut Rambu Solo, dengan mengurbankan sejumlah kerbau dan babi.
Selama masa penantian itu, jenazah masih diajak berbincang dalam kehidupan sehari-hari, bahkan dilibatkan dalam musyawarah keluarga.
*Catatan: konten di bawah ini mengandung materi sensitif*
“Ini jenazah suami saya, meninggal lima tahun lalu,” ujar Mama Titin sambil menuliskan nama pasangannya dengan spidol hitam di atas peti mati berbungkus kain merah menyala.
Bato’ Limbong.
Saya mencuri-curi gambar saat melihat sosok ibu bertopi merah jambu itu mengeja nama suaminya dengan bangga.
“Peti di sebelah sepupu saya, lalu bayi ini anaknya bapak yang bertopi di sana,” tunjuk Mama Titin ke arah lelaki bertopi hitam yang sedang membolak-balik tengkorak.
Saya mengangguk lantas mengamati jenazah yang berbaris di bawah kubur batu yang tak seberapa besar. Beberapa lelaki masih bertengger di tangga bambu dadakan—batangnya masih hijau segar, dan menurunkan peti mati dari lubang persegi yang pembuatannya makan waktu hingga enam bulan.
Ritual Ma’nene, berasal dari istilah ‘Nene To’dolo’ atau nenek moyang, adalah upacara penggantian baju jenazah yang diadakan tiap tiga tahun oleh masyarakat Toraja. Jenazah yang dimaksud bisa jadi nenek moyang yang sudah ratusan tahun bersemayam di dalam kubur batu, bisa jadi jenazah sewindu yang meninggal akibat kecelakaan—seperti saudara Mama Titin.
“Diadakan tiga tahun sekali supaya keluarga punya waktu dan biaya untuk persiapan. Ini kesepakatan bersama.”
Saya yang sedari tadi berusaha menahan napas melihat tengkorak dan tulang-belulang kuning berserak di atas karung plastik serupa karung beras, akhirnya memberanikan diri menghirup udara dari hidung. Tidak tercium aroma aneh.
Saya merasa tertolong pula melihat botol kuning pewangi ruangan di atas peti mati merah menyala, bersebelahan dengan jenazah bayi yang dibalut kain dan diikat rapi dengan rafia. Walaupun rasanya belum sekali pun ia menyemburkan aroma bunga krisan.
Kawan perjalanan saya meringis saat menyadari hanya berjarak satu jengkal dari jenazah bayi itu. Sementara, Mama Titin tersenyum bangga dan menjelaskan silsilah keluarganya dalam bahasa Inggris kepada kawan saya–ia pandai berbahasa Inggris karena sering mengunjungi anaknya yang berkuliah di Australia.
“Semua jenazah di sini keluarga saya. Yang di sana bapak saya, Bato’ Palungan, di sebelah ibu,” jelasnya.
Saya kemudian beranjak ke tempat yang lebih tinggi, meninggalkan Mama Titin yang masih bercerita penuh semangat.
Setelah mayat dikeluarkan dari kubur batu, keluarga melakukan identifikasi, sebelum berlanjut ke proses penggantian baju. Identifikasi ini butuh kehadiran keluarga, sudah semestinyalah, karena kondisi jenazah tentu tak semua mudah dikenali akibat lapuk dimakan waktu. Seperti jenazah kakek yang sudah berusia empat puluh tujuh tahun. Kain yang dulu membalut jenazahnya kini tinggal serat-serat cokelat yang bercampur tulang belulang.
Laki-laki bertopi hitam menaruh songkok emas di atas tengkorak itu. Sang kakek sudah jelas identitasnya.
“Ini Nenek, ada gigi emas dan kacamatanya,” ujar laki-laki lain yang mengenakan masker hijau. Ia memasangkan kacamata ke tengkorak, lantas menyusun tulang-tulangnya.
Di samping saya, anak lelaki sepuluh tahunan tak henti mengaduk-aduk serat-serat cokelat di dalam karung plastik yang hanya menonjolkan tengkorak hitam bagai berlumut.
Ia diam menyaksikan anggota keluarganya sibuk memilah-milah tulang dan menyeka tengkorak. Sebelum pembersihan ini, tetua adat yang disebut Ne’ Tomina Lumba terlebih dulu membacakan doa dalam Bahasa Toraja Kuno untuk memohon restu kepada leluhur agar mendapat berkah pada musim panen.
Ritual Ma’nene biasanya dilangsungkan sekitar bulan September, sebelum musim tanam atau pada musim panen, agar hasil panen dapat digunakan untuk upacara makan malam yang disebut Sisemmba’. Sebuah perayaan untuk memperat kekerabatan keluarga yang mungkin sebelumnya terpisah jarak.
Atas nama tradisi yang mengacu pada animisme—walaupun agama Kristen sudah mengakar di Toraja, Ma’nene bisa dikatakan sebuah ritual mempercantik ragawi, sekaligus memperindah hubungan keluarga, yang dipelihara turun-temurun. Ia tak sekadar ajang ganti baju, tetapi lebih pada guyuban keluarga demi penghargaan dan penghormatan terhadap keluhuran nenek moyang.
Karena bagi mereka, kematian adalah fase yang sudah pasti akan dihadapi manusia, dan tak ubahnya kelahiran atau kehidupan, kematian perlu dirayakan sama indah dan sama meriah. Karena dengan demikian, manusia seyogianya takkan perlu takut menyambut ajal.
P.S. Terima kasih kepada Mama Titin yang telah mengizinkan saya mendokumentasikan Ritual Ma’nene yang diadakan keluarganya.
*Tulisan ini diikutsertakan dalam kompetisi menulis #BeautifyingIndonesia yang diadakan oleh IWasHere Networks dan Martha Tilaar dan meraih Juara 3.
Featured image by @tamagraph
Simak tulisan lain tentang Toraja dari perjalanan #TripofWonders 2017.
- Off the Beaten Path: Tana Toraja, Indonesia | Trip of Wonders by Dame Traveler
- Day 277: Toraja and It’s Ritual by Alex Block
- Life After Death in Toraja, Indonesia – Tales From The Grave by Janet Newenham