Melakukan perjalanan darat dengan kendaraan roda empat bisa dibilang kegemaran saya dan Tama. Puas menjelajahi Skotlandia dan Islandia pada 2017 lalu, kami melanjutkan petualangan ke Benua Amerika. Dengan rute melintas dari California, Arizona, Utah, hingga Nevada. Persiapan lumayan banyak, terutama untuk urusan peralatan elektronik macam kamera dan laptop. Mengapa? Ya, karena kami akan berkemah di tengah gurun, tanpa listrik tanpa cahaya selain gemintang. Sementara, keduanya diperlukan untuk mengabadikan kenangan.
Terlebih lagi, menyiapkan peralatan untuk berkemah. Mendekati hari keberangkatan, kami memboyong tenda, lampu LED dan senter, kantung tidur dan matras, dan power bank dengan colokan AC untuk mengisi baterai kamera dan laptop. Dan masih banyak printilan lain yang tahu-tahu memadati koper dan carrier 45 liter.
Semua tentunya untuk memaksimalkan petualangan kami berkeliling taman nasional di Amerika Serikat. Dengan harapan dapat membingkai momen terbaik yang ditawarkan oleh bentangan alam ekstrem dan langit malam yang berpendar. Demikianlah, berikut tips memotret taman nasional, yang tak hanya bisa diaplikasikan di Amerika Serikat, tetapi juga taman nasional di belahan dunia lain.
1. Observasi
Selidiki terlebih dahulu atau lakukan observasi terhadap destinasi yang diincar, seperti medan dan cara menuju lokasi, jarak tempuh, dan waktu kunjung terbaik. Jangan lupa, referensi foto lokasi juga penting untuk memperkirakan seperti apa kondisi sekitar dan sebagai inspirasi atau ide foto yang ingin kita buat nantinya.
Namun, rencana tak selalu berhasil seratus persen. Akibat salah perhitungan waktu dan kelelahan–ini wajar terjadi dalam perjalanan darat, kami tiba di Horseshoe Bend sekitar pukul delapan pagi. Matahari sudah meninggi dan tempat parkir sudah penuh mobil. Karena menurut penemuan di Internet pendakian menuju lokasi lumayan makan waktu karena medan pasir yang sulit ditapaki, saya memutuskan kembali esok paginya lagi.
Kami tiba pukul lima pagi untuk menunggu matahari terbit–sekitar pukul enam, dan mendapat tempat strategis untuk memotret. Pengunjung lain, mayoritas fotografer, cuma hitungan jari. Ya, pelancong biasa takkan seniat itu bangun pagi gulita demi foto. Walaupun dingin dan menahan lapar karena tak sempat sarapan, kami mendapatkan momen terbaik saat sinar matahari lamat-lamat menerangi seluruh bagian tebing dan Sungai Colorado yang melingkar di bawahnya.
Dan ternyata, medan pasirnya mudah sekali dilewati, jarak menuju lokasi sepuluh menit saja. Untuk yang terbiasa berjalan kaki ke Kawah Bromo, rute menuju Horseshoe Bend sepele sekali.
2. Berburu Bintang
Jelas sekali kelebihan berjelajah taman nasional yang jauh dari keramaian dan polusi cahaya adalah langit berbintang. Saat cuaca cerah dan bulan sedang alpa, kita dapat menyaksikan Milky Way atau Galaksi Bima Sakti menghiasi langit.
Yang perlu disiapkan adalah mengecek prakiraan cuaca, apakah cerah atau berawan, bulan purnama, dan sebagainya. Gunakan juga aplikasi Stellarium atau Google Skymap untuk melihat panduan lokasi Galaksi Bima Sakti. Waktu memotret bintang dapat dimulai dari pukul sepuluh malam hingga subuh, silakan pilih yang dirasa cocok atau saat Galaksi Bima Sakti berada di posisi yang bagus. Tinggal tentukan, deh, latar depan (foreground) yang diinginkan.
Ketika memasukkan Joshua Tree National Park ke dalam rencana perjalanan, saya sengaja mencari lokasi kamping yang bagus untuk dijadikan latar foto bintang. Karena tiba dini hari di lokasi kamping, kami langsung tidur akibat kelelahan. Sekitar pukul tiga dini hari Tama membangunkan saya untuk memotret bintang. Menahan dingin yang menusuk tulang, kami pun berhasil membingkai langit penuh bintang. Bahkan, beberapa kali menyaksikan Bintang Jatuh. Sungguh pengalaman yang takkan terlupakan.
3. Momen Matahari Terbit
Bisa dikatakan momen paling magis untuk berburu foto di taman nasional adalah jelang matahari terbit. Walaupun rasa kantuk dan malas sering kali menggagalkan rencana, ada baiknya niatkan bangun lebih awal demi mendapatkan momen terbaik. Banyak keuntungan memotret saat matahari terbit, pengunjung cenderung sepi, suasana lebih tenang–sehingga lebih nyaman dan santai untuk menyetel kamera, dan sinar matahari pagi yang lembut sangat cocok untuk membingkai lansekap, juga portret manusia.
Foto yang dihasilkan akan memberikan rasa hangat, dan seringnya membuat melankolis dan syahdu. Senja juga memberikan efek serupa, tetapi biasanya momennya lebih cepat berlalu untuk memotret ketimbang saat fajar menyingsing. Tama gemar bermain dengan cahaya, misalnya dengan sengaja menabrakkan objek dengan sinar matahari untuk mendapatkan efek cahaya bocor dan objek terlihat glowing.
Tipsnya adalah tunggulah momen hingga satu jam setelah matahari terbit karena langit akan terlihat amat cantik saat sinar matahari bergeser turun ke bumi dan langit berganti biru.
4. Bermain Skala
Ya, cara utama untuk bermain skala demi menonjolkan kemegahan alam adalah menggunakan manusia sebagai objek pembanding. Intinya, fotografi ala wanderlust dengan objek manusia dipotret dari jauh untuk menonjolkan skala atau perbandingan ukurannya dengan lanskap alam di dekatnya.
Foto seperti ini populer di antara para pejalan dan Instagrammer karena menyuguhkan keindahan alam ketimbang pamer wajah sebesar layar kamera. Tips untuk penyuka foto pemandangan dengan manusia kecil di dalamnya, kenakan pakaian berwarna mencolok atau berpose berdiri agar tetap terlihat dan menjadi fokus perhatian.
Kami bermain skala saat mengunjungi objek wisata yang amat terkenal di Arches National Park, yaitu Delicate Arch. Pertama kali melihatnya dari bawah, Arch ini terlihat kecil saja. Begitu kami memandangnya langsung di hadapan, ternyata ukurannya sangatlah besar. Manusia bagaikan titik di depannya.
Walaupun medannya lumayan menguras keringat, terus menanjak dan bahkan ada jalan sempit di pinggir jurang, Delicate Arch ramai didatangi para pejalan, juga fotografer yang hobi memotret bintang. Delicate Arch dapat menjadi latar depan foto yang luar biasa bagus untuk foto Galaksi Bima Sakti. Sayangnya, saat kami menunggu hingga pukul sebelas malam (saat itu matahari terbenam pukul delapan malam), langit masih terang karena bulan purnama.
Foto bintang pun gagal, fotografer yang sudah memasang tenda kemudian beberes dan minggat. Tama malah ketiduran sambil menyangga tripod, sementara saya menahan kantuk menjaga kamera tidak menggelinding ke bawah karena posisi tebing yang cembung. Namun, saat beranjak pergi, saya harus merelakan tutup lensa jatuh ke jurang.
5. Manfaatkan Cuaca Buruk
Manusia tidak bisa mengendalikan cuaca, ya, paling tidak bagi orang awam seperti kami yang kerjanya jalan-jalan. Saat melakukan perjalanan darat ini pun cuaca berubah-ubah, terkadang berawan, kabut turun, angin dan hujan menerjang, dan segala-gala di luar kuasa kita. Namun, tak perlu meratapi nasib. Manfaatkan saja cuaca buruk untuk mendapatkan efek dramatis.
Terlebih, lanskap gunung atau hutan malah akan terlihat menakjubkan apabila sesekali dipenuhi kabut. Tunggulah beberapa saat, amati cuaca buruk apakah aman bagi peralatan kamera. Jika iya, mulailah mencari momen dramatis yang diinginkan. Foto-foto dramatis paling banyak kami dapatkan saat perjalanan ke Islandia dan Kepulauan Faroe tahun lalu.
Namun, saat singgah ke Bryce Canyon National Park, cuaca juga kurang bagus. Kami sudah bersiap dengan tripod dan kamera untuk menunggu matahari terbenam di posisi terbaik, tahu-tahu awan malah makin menebal dan matahari tertutup total. Kami bersabar menunggu di tebing walaupun menggigil menahan dinginnya awal musim semi. Dan awan pun terbuka sedikit, cahaya matahari menyusup, menciptakan pemandangan yang indah sekali. Seolah-olah ada pancaran sinar surga di puncak tebing di penghujung sana.
Demikian lima tips memotret taman nasional yang bisa kami bagikan, apabila kawan-kawan punya tambahan lainnya, jangan ragu-ragu untuk menambahkan di kolom komentar.