“Tanah liatnya diambil dari bukit di sekitar kampung,“
Bapak Naftali Felle, salah satu warga yang saya temui saat berkunjung ke Kampung Abar, bercerita tentang asal usul bahan pembuat gerabah.
“Itu pun harus seizin kepala suku kalau mau mengambil, kalau tidak waktu selesai dibakar akan pecah gerabahnya,” tambahnya lagi.
Kampung Abar, yang terletak di Distrik Ebungfauw, Sentani Tengah, merupakan salah satu dari dua puluh empat kampung yang tersebar di pulau-pulau dan pesisir Danau Sentani. Kampung-kampung itu mendapat sebutan sebagai kampung seni. Bagaimana tidak, jejak-jejak seni di sana memang terlihat jelas dan menjadi kekayaan budaya mereka.
Kampung Abar Penghasil Gerabah
Setelah melihat pembukaan Festival Danau Sentani 2015 dan mampir ke Telaga Emfotte, jadwal saya dan teman-teman blogger lainnya pada hari pertama di Sentani adalah mengunjungi sebuah kampung yang terkenal sebagai penghasil kerajinan tanah liat atau gerabah. Kampung Abar.
Sayangnya, karena adanya sedikit masalah, lebih tepatnya satu mobil rombongan kami tersesat di tengah sabana selama berjam-jam saat menuju Telaga Emfotte, kami baru bisa meninggalkan Pelabuhan Kwahi di Pantai Putali menjelang senja.
Perahu pun berlabuh dengan dramatis di dermaga Kampung Abar. Disambut oleh matahari yang bagaikan luruh ke lautan. Dari kejauhan Kampung Abar terlihat sangat kontras, dengan bangunan gereja berdinding oranye dan beratap biru terang di puncak bukit dan deretan rumah panggung kusam beratap seng berkarat. Ada tiga puluh rumah panggung di Kampung Abar.
Pemandangan khas di kampung memikat hati saya, ibu-ibu yang duduk di teras rumah panggung mereka serta anak-anak yang duduk di tanah sambil bermain dan melompati tangga. Sederhana namun terasa damai dan nyaman.
Kami disambut oleh Bapak Naftali Felle, warga Kampung Abar yang petang itu menjadi pemandu kami, di pondok di samping gereja. Di situlah tempat pembuatan gerabah. Di luar pondok terlihat mesin untuk menggiling tanah liat, juga tempat pembakaran gerabah yang terbuat dari susunan batu bata. Dalam sekali pembakaran (biasanya semalaman), sekitar tiga ratus buah gerabah dapat dimasukkan.
Tradisi yang Dipertahankan dan Nilai Magis Gerabah
“Di sini kami tidak hanya membuat gerabah dengan meja putar, tapi secara tradisional dengan tangan saja,” Pak Felle menjelaskan.
Ia pun mempersilakan putrinya, Marlyn Felle, untuk mencontohkan proses pembuatan gerabah secara tradisional, yang telah diwariskan oleh para wanita di Kampung Abar.
Mula-mula segenggam tanah liat digulung memanjang, lalu dibuat melingkar sebagai alas gerabah. Lalu tambahkan lagi segulung tanah liat di atasnya dan dibuat melingkar seperti pot bunga. Begitu seterusnya hingga mencapai tinggi yang diinginkan. Semua proses itu hanya mengandalkan tangan. Walaupun hasilnya, sudah sepatutnya, akan cukup kasar, nilai budaya gerabah di Kampung Abar sangatlah tinggi.
Di Kampung Abar, gerabah berukuran besar disebut hele, sedangkan yang kecil disebut sempe. Gerabah-gerabah ini biasanya digunakan sebagai alat dapur, yaitu untuk memasak papeda, keladi, ubi, ikan, dan sayur. Juga untuk menyimpan air dan sagu.
Akan tetapi, gerabah juga memiliki fungsi sosial dalam masyarakat Abar. Lebih tepatnya memiliki nilai magis. Mereka memberikan gerabah kepada keluarga baru dengan harapan agar selalu mendapat rezeki berlimpah. Saat hajatan pun, mereka menyakini bahwa tempayan sagu (ebe hele) harus selalu dalam keadaan terisi agar upacara adat mereka tidak kekurangan makanan. Jika ebe hele mendadak berubah warna menjadi merah, kabar duka akan menghampiri.
Tanah liat yang digunakan untuk membuat gerabah ada lima macam, yaitu tanah liat putih, kuning, merah, cokelat, dan hitam. Setelah proses pembakaran, gerabah dari semua bahan itu akan berwarna sama, yaitu merah-kecokelatan.
Walaupun kerajinan tanah liat dikenal sebagai pekerjaan wanita, pria Kampung Abar juga sudah ikut mempelajari cara membuat gerabah. Gerabah-gerabah mereka nantinya dijual hingga ke luar Kabupaten Jayapura dan sebagian dipajang di depan rumah, menanti para turis calon pembeli. Harganya berkisar dari sepuluh ribu rupiah, untuk gantungan kunci, hingga jutaan rupiah.
Sayangnya, kami tak bisa melihat gerabah buatan Kampung Abar sore itu. Semua kreasi mereka sudah dipajang di area Festival Danau Sentani di Khalkote. Pun begitu, saya turut berbangga hati mengetahui bahwa Kampung Abar adalah satu-satunya kampung yang masih menghasilkan kerajinan tangan warisan zaman neolitikum itu di Papua.
Kampung Asei Besar Penghasil Lukisan Kulit Kayu
Menurut kepercayaan, Pulau Asei Besar merupakan pulau tertua di Danau Sentani. Pulau ini dianggap sebagai badan seekor naga dari legenda penunggang naga dari Papua Nugini yang terdampar di Sentani.
Nah, kerajinan tangan Asei Besar yang termahsyur hingga ke Negeri Eropa adalah lukisan kulit kayu. Kulit kayu ini tadinya dikenakan sebagai pakaian tradisional perempuan Sentani yang disebut malo. Namun, kain yang dibuat dari kulit kayu ini ditinggalkan semenjak mereka mengenal tekstil untuk pakaian.
Barulah pada tahun 1975, antropolog asal Papua, Arnold Ap dan Danielo Constantino Ayamiseba, menggerakkan kembali tradisi melukis di atas kulit kayu.
Kain kulit kayu terbuat dari batang kayu pohon Khombouw yang terdapat di pulau ini. Pembuatannya sekilas mirip dengan menguliti singkong, pertama-tama batang kayu dibersihkan sebagian dari kulitnya, lalu ditepuk-tepuk dengan besi dan dibuat garis memanjang dengan pisau. Dari situlah kulit kayu mulai dikuliti.
Saya mengamati Mama Anche Kaigere, salah satu seniman pengrajin kulit kayu di Asei Besar, dengan saksama. Sambil menjawab pertanyaan-pertanyaan kami, ia menggerakkan pisaunya dengan begitu mahir. Setelah dikuliti seluruhnya, kulit kayu ditumbuk di atas batu menjadi lembaran, lalu dibilas dan dijemur hingga kering. Kemudian, dilakukan proses pelukisan.
Saya pun tersadar, Mama Anche masih mengenakan rok rumbai-rumai dan ikat kepala. Berarti ia termasuk dalam rombongan Tari Isosolo yang tampil sebelumnya. Mungkin saja lelahnya belum tuntas, tetapi ia harus menjelaskan pembuatan kulit kayu kepada kami. Saya merasa agak tidak enak.
Ah, belakangan ini saya mudah sekali terharu, yang kalau menurut guru saya, A.S. Laksana, merupakan pertanda bahwa saya mungkin berpeluang menjadi penyair atau penulis puisi besar. Yang tentu saja bohong semata.
Penggunaan Pewarna Alami dan Motif Etnik
Warna dominan dalam lukisan kulit kayu Asei Besar adalah putih, merah, dan hitam. Warna putih dibuat dari kapur untuk sirih, merah dari batu kapur merah atau tanah liat, dan hitam dari jelaga atau arang kayu dan tungku. Semua bahan itu kemudian dicampur dengan getah pohon sukun, air, dan minyak kelapa.
Warna-warna itu memiliki makna tersendiri. Putih melambangkan budaya, yaitu makan pinang, merah melambangkan kemakmuran dan kesuburan tanah serta keberanian, dan hitam adalah kehidupan serta warna kulit orang Papua. Selain tiga warna itu, saya melihat beberapa lukisan yang mencolok, dengan warna lebih terang, seperti biru dan kuning. Lukisan burung cendrawasih itu terbuat dari pewarna buatan.
Namun, motif yang paling umum digambar adalah Yoniki, yang dipakai oleh semua kepala suku di Kampung Asei Besar. Motif yang berbentuk bulat ini menyimbolkan kebersamaan. Ada pula motif Fouw milik keluarga raja yang berupa garis membentuk spiral, perlambang kebersamaan dan kekeluargaan, dan motif Hakhalu yang berarti putri raja.
Harga lukisan kulit kayu bervariasi, mulai dari lima puluh ribu rupiah untuk lukisan kecil hingga ratusan ribuan untuk lukisan berukuran satu meter. Terbilang cukup murah mengingat kulit kayu sangat tahan lama dan takkan dirayapi. Selain lukisan, kulit kayu juga dibuat menjadi sampul buku, dompet, pembatas buku, lukisan, dan hiasan rambut.
***
Dua kampung saja yang disinggahi sudah membuat kepala saya meluap-luap oleh pengetahuan baru, pengetahuan mengenai seni dan budaya masyarakat Sentani yang kaya. Sesungguhnya, masih banyak pulau lainnya yang memiliki kesenian unik, seperti Kampung Taturi dengan lukisan batu dan Kampung Simporo dengan ukiran kayu.
Memang, seperti yang santer terdengar selama festival, sayangnya kampung-kampung ini tidak diberi atribut festival sehingga pengunjung mungkin tak selalu tertarik untuk singgah. Andaikan dimasukkan dalam tujuan tur festival, misalnya, mungkin kampung-kampung ini akan lebih merasakan manfaat dan kemeriahan Festival Danau Sentani.
Setelah membeli lima buah pembatas kayu bermotif seperti perahu, dengan bentuk huruf s di tengahnya—mungkin berarti Sentani, saya menapaki batu-batu kecil di dekat gerbang pulau. Mace-mace masih terlihat sibuk menjajakan lukisan kepada turis dari Belanda sambil menggendong bayi. Saya pun mengucap selamat tinggal dalam hati, entah kapan saya bisa kembali lagi ke kampung kecil yang sangat berseni di Danau Sentani ini.
Sumber: suaraperempuanpapua.net.