Yuki = Salju
Sejak kecil, saya selalu tergila-gila dengan SALJU. Awalnya mungkin karena melihatnya di film atau komik. Salju yang putih dan lembut terlihat sangat indah dan enak. Saya rasanya ingin membawa sirup ke mana-mana kalau lihat salju.
Dan, kebetulan sekali, ibu saya menamai saya Yuki. Dari bahasa Jepang yang berarti ‘salju’. Saya sangat senang memiliki nama Yuki. Sebenarnya ada asal usulnya kenapa saya diberi nama ‘salju’. Saya dilahirkan di tahun Macan di bulan Maret di hari kesebelas (lengkap!). Konon, kata almarhum kakek saya, aura kelahiran saya saat itu sangat “hot”! Panas! Kesannya kurang baguslah!
Nah, ibu saya sepertinya agak tidak terima. Lantas ia mencari nama yang memiliki makna dingin untuk menghalau hal itu. Hasilnya adalah salju. Kira-kira begitu singkatnya.
Setelah besar, saya sangat ingin melihat dan menyentuh salju secara langsung. Tapi, impian itu terasa sangat jauh mengingat kondisi dompet saya saat masih kuliah. Saya tidak tahu kapan bisa merasakan salju menerpa rambut saya.
Hingga suatu hari keinginan itu terkabul.
Minggu Pagi, Agustus 2008
Saya terbangun karena getaran ponsel di samping bantal saya. Ada sebuah SMS. Dari teman sekelas.
“Yuki, makalah lo judulnya Kosmologi Cerpen Korea: di antara Laut, Pabrik, dan Kereta Api, bukan? Ada pengumumannya di Kompas hari ini.”
Saya pun membalas, “Iya.”
Saya lantas teringat pada kontes penulisan esai yang saya ikuti sebulan sebelumnya. Kontes menganalisis sebuah buku kumpulan cerita pendek dari Korea yang baru diterbitkan di Indonesia. Buku itu berjudul Laut dan Kupu-kupu (GPU: 2007). Kontes ini diselenggarakan atas kerja sama Program Studi Indonesia Universitas Indonesia, Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), dan Korean Literature Translation Institute (KLTI).
Tanpa pikir panjang, saya langsung ke kamar mandi, cuci muka, ganti baju, dan maraton ke kios koran untuk membeli Kompas. Jantung saya berdebar kencang di sepanjang perjalanan. Saya masih ingat sensasi ketika tangan saya bergetar membalik halaman demi halaman Kompas. Berita itu muncul di sudut kiri bawah. Rasanya saya ingin melompat dan terbaaaaaangggg…
Juara Pertama Lomba Penulisan Esai Cerpen Korea dengan judul Kosmologi Cerpen Korea: di antara Laut, Pabrik, dan Kereta Api.
Kira-kira seperti itu isinya. Tidak ada nama saya. Tapi, saya tahu itu karya saya. Saya berhasil, Ya Allah!
Keesokan harinya seremoni penyerahan hadiah diadakan di kampus. Luar biasa rasanya. Bayangkan, hadiah utamanya adalah LIBURAN KE KOREA SELAMA SATU MINGGU plus uang saku dua juta setengah (lumayan besar untuk tahun itu). Saya hanya perlu membayar pembuatan paspor (Rp255.000,-) dan fiskal (SATU JUTA!!!). Damn you, FISCAL!!!! (masih dendam sampai sekarang).
Pikiran polos saya ketika itu adalah: akhirnya saya bisa membuktikan bahwa saya tidak salah pilih jurusan. Menulis juga bisa menghasilkan uang.
Saya sangat bangga, apalagi orang tua saya. :)))
Oktober 2008
Paspor saya yang pertama pun jadi.
(Belakangan, saya membaca di koran bahwa biaya pembuatan foto paspor yang sangat mahal itu karena dikorupsi.
5 Desember 2008
Ini adalah pertama kalinya saya naik pesawat. Pertama kalinya ke luar negeri. Semuanya sangat berkesan karena saya menumpang pesawat dari maskapai termahsyur di Korea. KOREAN AIR. Pesawatnya besar dan megah. Makanan dan minuman terus mengalir. Makan malamnya adalah Bibimbab atau nasi campur ala Korea dan sup rumput laut. Lalu, setiap jam penumpang dijamu cangcimen-minus-kuaci dan minuman (bebas pilih antara wine, coke, dan orange juice). Perjalanan selama kurang lebih delapan jam pun terasa sangat menyenangkan. Harga emang gak bohong! Saya dengar, tiket PP saya bernilai 16 juta rupiah.
Saya naik pesawat sekitar pukul sebelas malam dari Soekarno-Hatta. Apesnya saya duduk di bangku tengah, di samping saya bapak-bapak Korea genit-tukang-colak-colek yang lagi mudik. Katanya, ia memiliki usaha garmen di Jakarta. Tapi, ia sudah membantu saya saat mengisi formulir kedatangan untuk diberikan pada petugas imigrasi. Repot juga saat harus mengisi tempat menginap selama di Seoul karena saya belum tahu hotel yang akan saya tempati. Akhirnya, saya isi dengan alamat teman baik saya, si Haraboci An Min Suk, di Yangjae-dong plus nomor teleponnya.
6 Desember 2008
Saya menginjakkan kaki di Incheon International Airport sekitar jam enam lewat tiga puluh menit. Bandara ini benar-benar WAH! Luas dan mewah. Pemeriksaan imigrasi makan waktu sekitar 30 menit karena antrean lumayan panjang. Saya sempat melihat satu keluarga Indonesia di depan saya. Rasanya ingin ikut nimbrung karena saya sendirian.
Setelah selesai urusan imigrasi, saya menuruni eskalator dan melihat ruangan pengambilan bagasi yang sangat luas. Ternyata, bagasi saya sudah tergeletak dari tadi. Saya pun langsung meraih yang paling butut dan foto-foto!
Kemudian, saya menuju pintu keluar dan bagasi dicek dahulu oleh petugas. Begitu sampai di area utama bandara, saya bengong. Luas banget! Saya bingung harus ke mana. Sebelum berangkat, pihak penyelenggara lomba dari Korea sudah menghubungi dan mengatakan akan menjemput saya. Nama mbaknya, Kim Mi Ye.
Saat melihat kios money changer, saya memutuskan langsung menukar dolar di dompet. Tadinya ingin mencoba telepon umum untuk menghubungi Mbak Kim Mi Ye, tapi tidak tahu caranya (saat itu belum lancar bahasa Korea seperti sekarang). Setelah satu putaran bolak-balik dari ujung sini ke ujung sana, saya melihat seorang wanita berwajah bingung yang membawa selembar kertas. Saya menyapanya.
“Miss Kim Mi Ye?”
“Are you, Yuki?”
“Yes.”
Yihaaa… saya bertemu Kim Mi Ye. Ternyata dari tadi ia sudah melihat saya mondar-mandir, tapi tidak mengenali saya karena wajah saya sangat berbeda dengan foto di fotokopi paspor yang ia pegang. Yah, foto paspor memang tak pernah beres. Sama seperti foto SIM.
Jam menunjukkan pukul delapan lebih. Mi Ye pun menggiring saya menuju pintu keluar… dan saat pintu otomatis terbuka.
Suuuuuuurrrr…
Angin dingin menghajar wajah saya. Begini toh rasanya musim dingin. Hidung langsung terasa tersumbat. Saya berjalan agak sempoyongan dan Mi Ye yang baik hati mendekap saya sambil berkata, “it’s getting colder today.”
Ya iyalah, suhu enam derajat.
*Hidung meler*
Kami menuju parkiran mobil dan saya menengok ke belakang. Bandara Incheon benar-benar keren, pantas saja menang sebagai bandara terbaik di dunia selama beberapa tahun terakhir. Tapi, tahun ini posisinya direbut oleh Changi.
Kami langsung ke Seoul, jaraknya kurang lebih satu jam. Yang menyetir adalah calon suami Mi Ye. Perjalanan dari Incheon dihiasi oleh pemandangan laut nan muram di sisi kiri jalan, gedung-gedung apartemen dan perkantoran, dan pepohonan yang gundul di musim dingin.
Suasana terasa sangat berbeda ketika memasuki kota Seoul. Gedung-gedung bertingkat dan jalan yang bersih dan teratur menyedot perhatian saya. Saya persis seperti orang kampung yang baru pertama kali ke kota, melongok-longok ke kanan dan kiri dari jendela mobil. Sambil sesekali ber-WOW dalam hati.
“Begini, ya, luar negeri!” pikir saya waktu itu, kolot memang.
Kemudian, Mi Ye menjelaskan bahwa saya akan menginap di hotel yang sangat strategis. Lokasinya di Downtown Seoul. Pusat kota Seoul. Kami melewati sebuah gedung besar yang indah dengan halaman yang sangat luas. Mi Ye mengatakan gedung itu adalah City Hall, gedung pemerintahan kota Seoul.
Saat menikmati pemandangan City Hall, tiba-tiba ada kapas yang beterbangan di udara.
“Oh my god! Snow!!!” jerit saya dalam hati.
“Wow, this is the first snow. You’re so lucky,” ujar Mi Ye.
“Yes.”
Saya tersenyum senang menyambut turunnya salju pertama di musim dingin ini.