Pernahkah kamu mendengar satwa laut bernama Elang Bondol? Saya sudah sering melihat Elang, namun bondol dan memiliki habitat di laut adalah hal baru bagi saya. Apalagi ia dinobatkan sebagai maskot Jakarta, bersama Salak Pondoh, pada tahun 1989. Saya kira Elang yang terpampang di bus merah Transjakarta ini Elang biasa. Ternyata tidak, ia adalah Elang Bondol yang kini populasinya kian terancam, terutama di Kepulauan Seribu dan Pulau Jawa.
Berkenalan dengan Elang Bondol
Saat ditawari untuk mengikuti kegiatan Eco Camp yang diprakarsai oleh Pertamina di Pulau Kotok, Kepulauan Seribu, saya tak ragu untuk mengiyakan. Apalagi temanya adalah Konservasi Elang Bondol. Kapan lagi bisa menjenguk Elang Bondol di tempat yang tak bisa didatangi sembarangan, bukan? Perlu dicatat, Pulau Kotok telah diremiskan oleh Presiden Jokowi sebagai Pusat Suaka Elang Bondol pada 14 April 2016. Dan konservasi tersebut dilakukan oleh Jakarta Animal Aid Network (JAAN) bekerja sama dengan Pertamina MOR 3, dimulai dari tahun 2017 hingga 2021 nanti.
Karena itu, tak ada penginapan maupun warung Indomie di sana. Jangan harap.
Namun, saya dan 34 peserta Eco Camp yang terdiri dari awak media, mahasiswa, dan pecinta lingkungan, berkesempatan melakukan kamping di pulau kecil yang tak jauh dari Pulau Pramuka ini. Dan dua hari mengikuti kegiatan Eco Camp ini membuat saya mendapat banyak kawan baru, dan mempelajari tentang masalah yang dihadapi Elang Bondol.
Elang Bondol (Haliastur indus) adalah Elang Laut yang sesungguhnya bisa ditemukan di seluruh perairan di Indonesia, juga dunia. Ciri khas Elang Bondol di Indonesia adalah paruh yang berwarna abu-abu. Sementara, Elang Bondol di Amerika Serikat berparuh kuning. Berikut morfologi Elang Bondol di Indonesia.
- Memiliki bentang sayap sepanjang 110 cm
- Panjang dari kepala hingga ekor 50 cm
- Bulu bagian kepala hingga dada berwarna putih (sehingga terlihat “bondol” dari kejauhan)
- Bulu dada juga bercorak garis hitam
- Kelopak mata berwarna kuning gelap
- Sayap primer berwarna cokelat-kehitaman
- Sayap sekunder berwarna cokelat terang
- Kaki bersisik kuning dengan cakar hitam yang tajam
Apabila menemukan burung dengan ciri-ciri tersebut di pasar burung, misalnya, silakan melapor kepada JAAN untuk ditindaklanjuti. Elang Bondol dilindungi oleh negara melalui UU No.5 Tahun 1990 dan Satwa Appendix (dirawat di konservasi) melalui PP No.7 Tahun 1999. Sayangnya, banyak yang tak sadar akan pentingnya status burung yang tinggal 25 ekor saja di Kepulauan Seribu ini. Mungkin karena harga Elang Bondol yang cukup tinggi di pasaran, bahkan mencapai 40 juta rupiah apabila dikirim ke Kuwait. Untuk pasar lokal berkisar 8 juta rupiah.
Menurut data JAAN per April 2018, saat ini 34 ekor Elang Bondol di Pulau Kotok dengan rincian 25 ekor Elang Bondol, 8 ekor Elang Laut, dan seekor Elang Ikan Kepala Abu.
Kegiatan Pertamina Eco Camp di Pulau Kotok
Berangkat dari Dermaga Marina di Ancol, saya dan rombongan tiba sekitar satu jam kemudian, disambut air kelapa menyegarkan. Peserta dibagi menjadi 7 kelompok dan dimodali tenda dan perlengkapan memasak, dengan kompor portabel dan Bright Gas yang baru saja rilis. Kami harus memasang tenda sendiri (untungnya saya bisa) dan dilanjutkan lomba memasak nasi goreng untuk menghangatkan suasana. Padahal tenda kami yang berada di tepi laut sudah cukup panas.
Suasana makin meriah saat pengumuman juara lomba, kami berhasil meraih Juara 1. Lumayan, masak nasi goreng ala kadarnya namun nikmat juga disantap ramai-ramai. Usai kegiatan pembuka, acara berlanjut dengan pengenalan dan kunjungan ke kandang rehabilitasi Elang Bondol beserta pengisian materi tentang Pencangkokan Terumbu Karang. Dua agenda utama yang diusung Pertamina sebagai program kepedulian terhadap lingkungan sekitar.
Konservasi dan Pelepasliaran Elang BondolÂ
Untuk mengunjungi Sanctuary, peserta harus mematuhi peraturan yang ditetapkan JAAN untuk keamanan dan keselamatan Elang Bondol. Burung predator ini sangat sensitif, suara kecil saja dapat membuat mereka stres dan berkoak tiada henti. Karena itu pula, pengenalan ini dilakukan per kelompok secara bergantian. Sanctuary 1 dan 2 berada di bagian depan pulau, lurus saja dari dermaga. Penghuninya adalah Elang Bondol yang tak bisa dilepasliarkan kembali. Kandang ini bisa dianggap Rumah Jompo.
Malang memang, Elang Bondol di dua kandang ini mayoritas mengalami masalah kesehatan, juga keliaran. Mereka diamankan dari pemilik ataupun pedagang ilegal. Kondisinya beragam, rata-rata tak bisa terbang lagi karena sayap primernya dipatahkan untuk dipelihara. Ada juga yang kakinya terkena penyakit seperti kapalan karena terlalu lama bertengger di tempat yang tak layak, mungkin kayu atau besi.
Kondisi mereka memprihatinkan, terlebih mengingat julukan mereka sebagai Raja Angkasa. Bahkan, di India Elang Bondol dianggap sebagai representasi Garuda, kendaraan Dewa Wisnu. Di luar negeri, Nama asingnya adalah Brahminy Kite. Selain itu, mereka takkan bisa berkembang biak karena proses kawin Elang Bondol dilakukan saat terbang di langit–yang juga menyebabkan jenis kelamin mereka sulit diidentifikasi karena ukuran tubuh serupa. Seumur hidup mereka akan menetap di Pulau Kotok.
Beberapa puluh meter kemudian, saya tiba di area yang berisi empat kandang Sosialisasi. Kandang ini ditujukan bagi Elang Bondol, juga Elang Ikan Kepala Abu, yang dilatih untuk bersosialisasi. Interaksi dengan manusia amat dibatasi di sini, tim JAAN biasanya membersihkan kandang dan memberikan makanan saat keadaan gelap untuk mengurangi risiko stres sang penghuni.
Kemudian, tibalah di tempat yang terlarang bagi pengunjung, namun peserta Eco Camp mendapat izin khusus demi pemahaman tentang pentingnya konservasi Elang Bondol. Di bagian ini kami sama sekali tak boleh bersuara agar burung tidak terganggu. Sebab, kandang-kandang yang berjajar di area ini berisi Elang yang dipersiapkan untuk dilepasliarkan. Tim JAAN secara rutin mengamati bagaimana peningkatan karakter keliaran Elang Bondol, mulai dari cara menangkap mangsa, terbang, dan sebagainya. Konsep ini saya temukan juga di tempat konservasi Orangutan di BOSF Samboja, Kalimantan Timur.
Proses ini amat panjang, ada yang sudah dirawat selama lima tahun dan masih dalam proses peliaran kembali. Beruntung, Eco Camp ini juga diadakan dalam rangka menyaksikan pelepasliaran kembali sepasang Elang Bondol, Lipi dan Meriam namanya. Mereka berada di kandang akhir yang dipasang di atas air. Dibuat semirip mungkin dengan habitat aslinya.
Proses ini tak selalu lancar, terkadang ada Elang Bondol yang tak mau atau malah kembali masuk ke kandang. Ini pula yang saya saksikan. Saat pintu dibuka, hanya seekor Elang Bondol yang langsung melesat ke alam bebas. Seekor lagi (Lipi atau Meriam yang nakal, ya?) masih asyik bertengger, setelah beberapa menit kandang digoyangkan dengan tali yang dipasang dari jauh, barulah ia menyusul kawannya. Wah, puas sekali menyaksikan mereka terbang dengan gagahnya.
Pencangkokan Terumbu Karang
Setelah pengenalan Elang Bondol, peserta kemudian berkumpul dengan kawan-kawan Marinir. Kami mendapat pengetahuan tentang pencangkokan terumbu karang dengan metode Biorock. Serupa pencangkokan pada pohon, bagian terumbu karang dipotong dan dipasang pada media tempel yang disebut Substrat. Substrat ini berupa lingkaran semen berlubang yang nantinya diikat pada rangka besi melengkung yang akan ditaruh di dasar laut, pada kedalaman sekitar 10-20 meter.
Mula-mula kami harus mengikat Substrat seerat mungkin ke rangka besi, lalu proses pemasangan karang dilakukan di laut. Sebab, karang dapat mati apabila berada di luar air dalam waktu lama. Semua peserta pun berbondong-bondong turun ke air untuk mencangkok karang. Proses peletakan ke dasar laut dilakukan oleh penyelam dari Marinir dan beberapa peserta.
Apakah metode ini efektif? Jawabannya semoga, terkadang karang tidak tumbuh karena media terbawa arus dan hancur. Apabila medannya sesuai, karang dapat tumbuh hingga 9 sentimeter per tahun, ini berbeda-beda di tiap tempat. Intinya, harus dilakukan penelitian mendalam untuk memaksimalkan keberhasilan pencangkokan.
Hari pertama Eco Camp yang padat ditutup dengan pesta api unggun. Bang Rikas sempat mengisi kelas singkat tentang cara meracik kopi secara manual. Duduk memandang langit berbintang dan jamuan hidangan laut segar membuat acara malam itu amat menyenangkan. Apalagi peserta juga diajak berdiskusi dan berbagi ide tentang penyelamatan Elang Bondol.
Hal itu dapat dimulai dari diri sendiri, semoga dengan infomasi singkat mengenai Elang Bondol, kita bisa lebih peduli terhadap kelestarian hewan endemis di sekitar kita. Ingat selalu, habitat burung bukanlah di kandang! Semoga program Pertamina Eco Camp ke depannya berjalan lancar. Terima kasih telah mengundang, dan sampai jumpa di program Konservasi Penyu di Tasikmalaya!
P.S. Jika tertarik dengan konservasi Elang Bondol dan satwa lainnya, bisa juga cek media sosial Jakarta Animal Aid Network.