Mungkin jika ada yang bertanya tentang destinasi yang bernuansa alami khas pedesaan di Bali, jawaban kita adalah Ubud.
Bagaimana tidak, citra Ubud adalah sawah terasering yang membentang luas. Yang pada pagi hari diriuhkan oleh leteran bebek. Bagi orang perkotaan, hal semacam itu sungguh menggoda. Berada di tempat yang sejuk dengan pemandangan serba hijau, dan dibangunkan oleh cericip burung pipit. Semua itu dapat kita nikmati dari balik jendela di vila yang berjejer di Ubud.
Ubud telah berkembang pesat, ia juga menjadi pusat seni yang tersohor. Namanya kian mendunia setelah publikasi film “Eat Pray Love”. Turis berdatangan seperti pasir besi yang ditarik magnet. Rudolf Bonnet, seorang pelukis asal Belanda yang tinggal di Ubud pada tahun 1930-an, pasti terpukau dengan kemajuan tempat peristirahatannya kini.
Saya sebenarnya tak banyak tahu tentang asal usul Ubud, sebatas ia merupakan wilayah kecamatan di Kabupaten Gianyar yang memiliki tujuh desa, yaitu Kedewatan, Lodtunduh, Mas, Peliatan, Petulu, Sayan, dan Singakerta.
Jadi, saat saya membahas Desa Nyambu sebentar lagi, memang tidak pas betul disandingkan dengan Ubud. Dan sungguh, tak ada maksud untuk membanding-bandingkan. Soal Ubud ini hanya gambaran saja, ia cocok jadi pengantar cerita ini.
***
Berkenalan dengan Desa Wisata Ekologis Nyambu
Desa Nyambu berada di Kecamatan Kediri, di ujung selatan Kabupaten Tabanan, Bali. Ia berjarak sekitar 30 km dari Bandara Ngurah Rai dan 20 km dari Denpasar. Tak terlalu jauh dari pusat kota, tapi Desa Nyambu sebagian besar masih tersusun oleh sawah. Dari seluruh wilayahnya, 61% berupa lahan sawah.
Mungkin kalian belum pernah mendengar nama Desa Nyambu sebagai sebuah destinasi wisata, bukan?
Desa Nyambu memang baru saja diluncurkan sebagai Desa Wisata Ekologis. Pengembangannya didukung oleh pemerintah setempat, perusahaan swasta, juga British Council dan Yayasan Wisnu. Pada 29 April 2016 yang lalu, Desa Nyambu diresmikan menjadi Desa Wisata Ekologis Nyambu oleh Bupati Tabanan, Ni Putu Eka Wiryastuti. Sebuah titik yang ditempuh cukup panjang, lebih dari satu tahun setengah, oleh masyarakatnya.
Desa Nyambu tidak terlalu besar, tapi jiwa masyarakatnya sungguh besar. Mereka tahu, dengan riwayat panjang yang mereka miliki; mulai dari sejarah pertanian, kerajaan, hingga religi, Desa Nyambu adalah sebuah paket lengkap bagi pecinta alam, adat dan budaya serta sejarah. Terhitung ada 67 pura di Desa Nyambu, yang merekam perkembangan budaya Bali, sejak masa Bali Kuno hingga kini.
Gotong Royong Masyarakat Desa Wisata Ekologis Nyambu
Saya pun mendapat wawasan baru, bahwa pura di Desa Nyambu jauh lebih dulu menganut konsep gabungan tiga dewa, Brahma, Siwa, dan Wisnu, dalam sebuah altar pemujaan. Ini bisa dilihat di Pura Puseh yang menyatu dengan Pura Desa di Dusun Mundeh, Desa Nyambu. Konsep penyatuan pemujaan terhadap Tri Murthi ini dianggap dapat mengeratkan hubungan antarumat.
Informasi ini saya dapatkan saat mengikuti kegiatan Susur Budaya di Desa Nyambu. Pemandu kami, seorang warga setempat (saya lupa betul namanya), menjelaskan sejarah pura dengan mendetail. Ia adalah salah satu dari banyak warga di Desa Nyambu yang aktif menjadi tonggak pariwisata di desanya.
Ia, juga Dewi, pemandu saya dalam kegiatan Susur Sawah di Banjar Carik Padang, salah satu dari enam dusun di Nyambu, merupakan warga yang telah menjalani pelatihan untuk menjadi pemandu yang bermutu. Mereka tahu sejarah mereka, mereka mau belajar bahasa Inggris untuk mendukung pekerjaan mereka. Pemandu terbaik adalah mereka yang tahu benar tentang seluk beluk daerah asalnya.
Gotong royong bisa dikatakan adalah pedoman hidup masyarakat Desa Nyambu. Mereka bahu-membahu mendukung desanya yang tadinya mungkin tak dikenal orang banyak, menjadi sebuah desa yang kini siap menyambut wisatawan. Gotong royong ini terlihat dari kerja sama semua lapisan. Para warga yang memiliki lahan cukup luas kemudian membangun homestay untuk mengakomodasi wisatawan. Para seniman, seperti seorang pelukis bernama Pak Nyoman, turut mengadakan kelas seni lukis.
Para perempuan turut andil dalam kegiatan belajar membuat canang sari. Juga memberikan sambutan dengan tari tradisional. Peran serta masyarakat tercermin dalam kegiatan yang ditawarkan kepada pengunjung Desa Wisata Ekologis Nyambu.
Secara garis besar, ada dua kegiatan di Desa Nyambu. Pertama Susur Sawah. Pengunjung diajak menyusuri sawah sejauh dua kilometer untuk menambah wawasan tentang tentang struktur persawahan di Bali. Saya sangat senang mempelajari tentang sistem sawah yang tradisional di Bali. Contohnya, di dekat pintu air tiap petak sawah, terdapat sebuah pura kecil yang disebut pelinggih. Di situlah petani menaruh sesajian untuk memohon berkah terhadap panen mereka. Saya pun jadi tahu lebih banyak tentang sistem irigasi sawah khas Bali, Subak. Subak memiliki kepengurusan atau Prajuru yang terdiri dari Pekaseh (ketua Subak), Petajuh (wakil Pekaseh), Penyarikan (sekretaris), Patengan atau Juru Raksa (bendahara), dan Kesinoman (Juru Arah).
Dewi, yang tak bosannya saya ajak obrol sepanjang sawah, jelas cinta terhadap tanah kelahirannya. Ia tahu banyak tentang peran sawah bagi penghidupan desanya. Melihat adanya sampah di pinggiran sawah, juga jalan setapak yang belum layak dipijak, saya pun berkomentar. Ia bercerita bahwa masyarakat Desa Nyambu sudah bekerja bakti membersihkan sampai dan memperbaiki jalur, tapi ada saja sampah yang terbawa aliran sungai hingga ke sawah.
Saya sebenarnya iseng saja, apalagi saya tahu ini adalah Susur Sawah perdana di Desa Nyambu, sejak ia diresmikan satu hari sebelumnya. Saya justru beruntung, dapat menjadi orang pertama yang menjejaki Desa Nyambu. Kegiatan Susur Sawah ditutup dengan latihan membuat canang sari, sesajian umat Bali yang terbuat dari rangkaian janur muda dan bunga-bunga berwarna terang yang disusun mengikuti arah mata angin dan dewa yang mewakilinya. Saya berhasil membuatnya, hore!
Pada kegiatan kedua, Susur Budaya, saya belajar tentang adat dan budaya, juga religi. Tentang peran tiap pura yang ada di Desa Nyambu. Pura paling bersejarah di sini adalah Pura Rsi, yang sudah berusia ratusan tahun. Pura Rsi dibangun oleh seorang pendeta yang diminta oleh warga Dusun Mundeh, Desa Nyambu, untuk menghilangkan wabah penyakit dan bencana di sana.
Sebelum memulai Susur Budaya, saya dan kawan serombongan didoakan dahulu di pura ini. Juga disuguhi Tari Pendet oleh pemudi-pemudi Desa Nyambu. Ni Luh Putu Kristina Yanti, salah satu penari itu, berbagi cerita tentang perannya. “Kami latihan tiap hari,” ujarnya. Ia dan kawan-kawannya sudah belajar menari sejak kecil. Semenjak Nyambu dikembangkan menjadi Desa Wisata Ekologis, mereka makin giat berlatih untuk mempertunjukkan kesenian khas Bali. Ia senang dapat menyambut pengunjung dengan tarian, tutupnya. Hari itu kami lanjut berkeliling desa dengan sepeda, bermain-main di sawah, juga belajar melukis.
Masih banyak warga Desa Nyambu yang perannya tak bisa saya terangkan. Yang pasti, selama dua tahun belakangan mereka bergotong royong membangun desanya. Mereka sadar betul dengan peran masing-masing dan menyandangnya sepenuh hati. Demi satu misi yang sama. Saat menyaksikan Desa Nyambu hari ini, yang mungkin masih butuh perbaikan di sana-sini, saya sudah sangat senang. Ini adalah kerja gotong royong.
Dan jika kelak ada yang bertanya pada saya, destinasi bernuansa pedesaan apa yang bisa dikunjungi di Bali, saya bisa menjawab dengan percaya diri, “Desa Nyambu.”