Ketika ditawari untuk menjajal kereta gantung di Ngong Ping, saya langsung menjawab iya. Selain karena akan menjadi kali kedua menaiki kereta gantung–yang pertama tentu di Jepang saat solo trip tahun 2013; ia berlokasi di Hong Kong. Akhirnya kesampaian juga menyambangi negeri yang terkenal dengan kepadatan pemukiman dan gedung pencakar langitnya, yang juga bergelar sebagai kota termahal di dunia.
Memang betul, saya membeli kopi Arabica setara sembilah puluh ribu rupiah. Pantas saja Johnny, kawan baru saya yang berasal dari Hong Kong yang mengikuti #TripofWonders beberapa waktu lalu, sangat senang ngopi di Indonesia. Ia jadi orang kaya di sini, selalu memesan dua gelas kopi. Dan ia memiliki apartemen di Hong Kong, yang setahun semenjak dibeli mengalami kenaikan harga sebesar seratus persen. Kami memanggilnya, “Rich Guy!”
Dwidaya Tour pun memboyong perwakilannya, Suci, dan juga Andra dan Ola untuk menikmati wisata Ngong Ping 360 seharian!
Ngong Ping 360 adalah salah satu atraksi turis yang wajib dikunjungi di Hong Kong.
Ngong Ping 360 merupakan penyedia wisata kereta gantung dengan jalur kereta kabel ganda terpanjang di Asia, membentang 5,7 kilometer dengan lama perjalanan sekitar 24 menit. Bayangkan, berada di ketinggian dan menikmati pemandangan alam luar biasa, dari Bandara Internasional Hong Kong hingga Jembatan Hong Kong-Zhuhai-Makao yang baru diresmikan. Tentunya yang paling berkesan adalah perbukitan di Pulau Lantau.
Kereta gantung ini menghubungkan wilayah Tung Chung dengan Desa Ngong Ping di Pulau Lantau. Karena menginap di Kowloon, saya dan kawan-kawan tinggal menumpang MTR (Mass Transit Railway) rute oranye, enam stasiun menuju Tung Chung. Keluar stasiun Tung Chung, berjalanlah ke arah kanan menuju Terminal Ngong Ping 360. Dari sinilah pengalaman dengan kereta gantung dimulai.
Berdebar-debar Menaiki Kabin Kristal Ngong Ping 360
Hari itu kami bertemu dengan staf pemasaran Ngong Ping 360, Angus, yang dengan ramah memberikan tiket Kabin Kristal–demi menciptakan pengalaman istimewa. Kabin Kristal adalah kabin kereta gantung dengan kaca transparan di semua sisi. Jadi, kami bisa memandang langsung lautan dan hutan di bawah, yang ternyata sempat membuat histeris karena terasa amat menyatu dengan alam.
Sayangnya, Suci tetap histeris sepanjang jalan. Saya juga agak takut dengan ketinggian, tetapi kereta gantung Ngong Ping 360 amat terawat dan terjamin keamanannya. Selain itu, sistem kabel ganda membuat kereta berjalan dengan nyaman tanpa guncangan sedikit pun. Kabin Kristal biasanya dapat diisi hingga 10 orang, tetapi kami mendapat servis spesial dan hanya berempat di satu kabin.
Untuk tiket pergi-pulang Kabin Kristal saat ini berharga 315US$ untuk dewasa dan 190US$ untuk anak usia 3-11 tahun. Sementara, jika ingin menaiki Kabin Standar dikenakan 235US$ untuk dewasa dan 110US$ untuk anak. Silakan cek laman Ngong Ping 360 untuk informasi lengkap, juga promo yang sedang berlangsung.
Bersenang-senang di Desa Ngong Ping
Setelah hampir tiga puluh menit menikmati keindahan Pulau Lantau, tibalah kami di Desa Ngong Ping. Yang ternyata cukup ramai, padahal hari itu pertengahan minggu. Saya pun memandangi desa wisata yang tak terlalu luas itu, udara sejuk dan langit cerah, di kejauhan terlihat patung Big Buddha yang termahsyur. Juga kedai Subway dan Starbucks dan restoran lain yang menggoda. Lalu, apa saja yang bisa dilakukan di Ngong Ping? Banyak!
Pertama-tama, Angus mengajak kami untuk mencoba permainan baru VR 360. Berbasis teknologi Virtual Reality, kami pun terbahak-bahak menjajal aksi berjalan di atas tali di atas udara, lalu berburu dan menembaki monster, dan yang paling seru adalah terbang menjelajahi sudut-sudut kota Hong Kong. Permainan ditutup dengan menulis permohonan di selembar kertas, yang kemudian didigitalisasi dan digantung ke pohon jeruk.
Keistimewaan Ngong Ping 360 adalah kesiapan mereka menjamu pengunjung muslim. Di Ngong Ping sudah tersedia sebuah restoran bersertifikat halal, yaitu Ebeneezer’s Kebabs & Pizzeria. Siang itu kami menyantap beragam makanan khas India, Nasi Biryani, Ayam Masala, Kari Ikan, dan Gyros (yang sebenarnya dari Yunani). Kalau untuk urusan rasa, dijamin lezat dan porsinya mengenyangkan.
Untuk pilihan jajanan lain saya rasa juga aman untuk muslim, misalnya gelato dan milk tea (oh, tiap hari di Hong Kong saya tak pernah lupa minum milk tea!).
Sorenya, sebelum mengejar kereta gantung terakhir pukul enam, kami juga sempat berkeliling ke Tian Tan Buddha atau The Big Buddha. Patung perunggu Buddha setinggi 32 meter ini merupakan kedua terbesar (yang pertama ada di Taiwan) di dunia dan dibangun selama 12 tahun. Anak tangga menuju puncak berjumlah 268 dan kami urung naik karena keterbatasan waktu dan kelelahan setelah berkeliling di Tai O.
Kami pun beralih ke Wisdom Path yang berada tepat di kaki Gunung Lantau. Jaraknya sekitar lima belas menit berjalan kaki dari depan patung. Objek ini tidak boleh ketinggalan untuk didatangi karena amat indah. Bayangkan ada 38 monumen kayu berukir kaligrafi Kanji yang berisi kata-kata bijak dan doa di lembah berlatar gunung menjulang. Sinar matahari mengintip dari sela-sela monumen kayu saat kami tiba di sana, sungguh menenangkan hati. Rasanya ingin piknik dan membawa bekal untuk menikmati suasana di sana.
Selain itu, apabila punya waktu, bisa juga trekking menuju puncak Lantau selama tiga jam. Ini saya sisakan untuk kunjungan berikutnya. Ada juga Po Lin Monastery, kuil Buddha terbesar di Hong Kong, yang menjadi daya tarik utama di Ngong Ping, sayangnya tidak sempat didatangi.
Berkeliling di Desa Nelayan Tai O
Sekilas namanya mengingatkan pada kartun bus dan mobil-mobilan asal Korea yang digandrungi balita. Desa Nelayan Tai O berada di ujung Pulau Lantau, dapat ditempuh sekitar lima belas menit dengan bus. Apabila ingin mengikuti tur ini, terlebih dahulu mendaftar ke 360 Lantau Culture & Heritage Insight Tour. Pukul 13.15 saya dan kawan-kawan berkumpul di Li-Nong Tea House.
Tur dimulai dengan demonstrasi penyajian teh bebungaan khas Tiongkok. Hari itu dipraktikkan pembuatan teh bunga krisan, yang kemudian dapat dicicipi oleh peserta sepulang dari desa nelayan–masih terlalu panas jika diminum saat itu. Demonstrasi ini singkat saja, kami menyaksikan bagaimana teh bunga berkembang begitu dituangi air panas.
Setibanya di Tai O, kami diajak menyusuri area pasar yang dipenuhi pedagang makanan dan suvenir. Tentu saja banyak terdapat kuliner autentik di sini, terutama yang berbahan dari laut seperti ikan asin. Sekilas gang-gang di Tai O mengingatkan pada Petak Sembilan di Glodok, bedanya jauh lebih cantik dan bersih. Tak disangka, turis yang datang ke Tai O cukup ramai dan menghidupkan suasana. Ya, mengingat sebagian besar penduduk Tai O adalah lansia. Para pemuda kabur ke kota untuk mencari kehidupan yang lebih meriah, mungkin.
Dari darat, kami pun diajak menumpang perahu kayu untuk menyusuri perairan Tai O. Tujuan utamanya adalah mencari Chinese Pink Dolphin, lumba-lumba merah jambu yang tak muncul karena pengunjung terlalu ramai barangkali. Namun, senang sekali bisa melihat Pulau Lantau dari sisi laut dan mengamati jembatan baru menuju Makao yang amat megah.
Sekembalinya ke darat, kami diberi waktu satu jam untuk berkeliling. Asyiknya, kami berempat hobi minum kopi. Mampirlah kami di sebuah kedai kopi tepi sungai yang hipster. Hidangan kuenya enak, juga kopinya–yang ternyata berasal dari Jawa. Yah, jauh-jauh ke pinggiran Hong Kong ketemunya kopi Mandailing juga. Kedai ini cocok untuk bersantai lama-lama, dan mungkin itu pula yang bikin kami lupa waktu.
Dengan tergesa-gesa kami menuju titik kumpul bus untuk pulang ke Ngong Ping. Bodohnya kami malah tersesat karena berada di sisi seberang desa, yang membuat kami terlambat lima belas menit dari waktu yang ditentukan. Saya melihat di kejauhan bus meninggalkan empat perempuan yang terengah-engah. Untungnya, ada terminal bus umum menuju Ngong Ping. Selamatlah kami kembali ke Ngong Ping untuk mengejar kereta terakhir. Fiuh!
Sungguh, Ngong Ping 360 memberikan pengalaman baru yang amat berkesan, yang tak saya duga bisa didapatkan dari Kota Metropolitan Hong Kong. Kalau ditanya apakah ingin kembali lagi ke Ngong Ping, oh tentu saja. Rasa-rasanya saya belum puas menjelajahi kebersahajaan Desa Tai O.