Paris Blues

Orang-orang menyebutnya “City of Light”, pula “City of Love”. Paris.

Kota ini dianggap sebagai kota paling romantis di dunia. Menaranya yang ikonis, Eiffel, pun menjadi simbol romantisisme dari zaman ke zaman. Pada malam hari, pendaran lampu yang menari-nari dari menara setinggi lebih dari tiga ratus meter ini dapat membuat sepasang kekasih terpegun. Betapa bintang tak betul-betul dibutuhkan di Paris.

Siapa yang tak ingin mengikat janji di puncak Menara Eiffel kala matahari terbenam? Romantis, mungkin bagi sebagian orang benar adanya. Dengan taman-taman cantik bagaikan karpet Persia, kafetaria di persimpangan yang menawarkan kopi hangat dan keintiman, museum megah yang menuntutmu jadi ahli sejarah nomor satu dalam perbincangan. Maka, jika ditanya kota apa di dunia yang sangat berkesan bagi saya, tak dimungkiri Paris salah satunya.

Paris adalah kota dengan sejarah yang panjang. Saya mengenalnya ketika membaca komik Rose of Versailles di bangku sekolah menengah. Terpesona betul saya waktu itu, dengan Kerajaan Prancis yang megah. Yang tak disangka berakhir tragis. Sang Permaisuri, Marie Antoinette, harus mengakhiri hidup di tangan algojo, begitu pula Raja Louis XVI. Putra-putri mereka satu-satu berguguran, tak mengukirkan riwayat yang mesti dirayakan. Peristiwa kelam ini menjadi luka yang sesekali disesali. Beberapa menyayangkan keputusan pengadilan yang dirasa begitu diburu-buru; hari ini vonis, esok eksekusi.

Memang, rakyat semakin menderita pada masa monarki absolutisme terakhir itu. Keluarga raja berpesta pora, dengan gaun sutra dan renda berkilauan serta penganan cantik semerah pipi di pinggan emas. Hingga Revolusi Prancis berkobar, dari karya besar Victor Hugo, Les Misérables, kita dapat melihat kesengsaraan rakyat dengan gigi-gigi yang busuk. Pada abad kesembilan belas inilah Prancis kemudian menyambut era baru. Revolusi Industri.

Jalan-jalan diratakan dan diperbesar, air mancur dan jembatan dan monumen didirikan, dan jalur kereta api pertama dibuka pada tahun 1837—yang mengawali urbanisasi besar-besaran. Puncaknya adalah peresmian Menara Eiffel pada tahun 1889, sebagai peringatan satu abad Revolusi Prancis. Semenjak itu Paris kian bercahaya. Laron-laron berebut mengerubuti lampu bohlam.

paris
Gare du Nord in the morning

Saya pun bertanya pada seorang kawan yang menetap di Paris sebelum berkunjung ke sana. “Paris tak sebagus yang kau kira, jangan terlalu berharap,” jawabnya.

Itu bukanlah jawaban yang enak didengar. Saya punya imaji-imaji indah tentang Paris, negeri yang menjunjung tinggi kesenian. Tentang Menara Eiffel di tepi Sungai Seine. Tentang Notre-Dame yang direnovasi karena buku The Hunchback of Notre Dame karangan Hugo. Tentang Monalisa yang tersimpan di Musèe du Louvre. Tentang kisah para martir dan seniman di Montmartre. Kita pun tahu, Paris di masa kini adalah kota fesyen terbesar di Eropa. Lihatlah barisan rumah mode kelas atas yang membuat ibu-ibu pejabat Indonesia keranjingan ke sana. Louis Vuitton. Hermès. Chanel…

“Paris bau pesing, banyak gelandangan tidur di pinggir jalan,” lanjut kawan saya.

Dan konon, di toko semewah Louis Vuitton pun, pada malam harinya ketika sudah tutup, gelandangan akan bergolek di depan pintunya. Itu memang benar. Sebagai kota besar dengan industri pariwisata yang maju, Paris bagaikan magnet raksasa bagi imigran. Pendatang dari Aljazair, Moroko, Tunisia, Turki, dan Tiongkok menempati posisi sepuluh besar penduduk terbanyak di Paris pada sensus 2011. Saya sempat mampir ke toko suvenir tak jauh dari Louvre, pemiliknya orang Aljazair, yang memberikan diskon besar setelah mengetahui bahwa saya Muslim. Ia contoh imigran legal yang sukses, di antara imigran lainnya yang tidak kita ketahui statusnya.

Di depan hotel saya ada sebuah pemberhentian bus. Suatu pagi seorang wanita kulit hitam berdiri sambil merokok dengan troli berisi selimut dan buntalan kusut. Jelas ia tuna wisma. Kami lalu menaiki bus yang sama. Pemandangan ini lumrah di Paris—dan betapa pun di belahan dunia lainnya, Frankfurt, Seoul, Tokyo. Namun, di kota yang megah ini, hal itu seakan-akan menjadi pantangan. Bahwa ia mencoreng wajah pualam Paris.

Kawan saya pun bercerita lagi, “Berhati-hatilah pada imigran yang menjual suvenir, mereka suka memaksa dan memeras.”

Dan ia mengingatkan saya agar jangan tinggal di wilayah 10th Arrondisement: itu area slum, tempatnya drug dealer! Di sana terdapat dua stasiun besar, Gare du Nord dan Gare de l’Est, yang merupakan gerbang bagi pendatang dari segala penjuru. Seperti Pasar Senen yang juga terkenal rawan, tak heran jika imigran bermarkas di sekitar stasiun tersibuk di Prancis itu. Dan kebetulan saja, Maison du Pré, hotel saya di Rue de Maubeuge, hanya berjarak lima menit jalan kaki dari Gare du Nord!

Kaum imigran, terutama yang ilegal, yang kemudian diasosiasikan dengan orang kulit hitam, lantas dikenal sebagai pencoleng. Memang, kawan saya pernah dikepung penjaja suvenir di Basilica, yang memaksanya untuk membeli. Tak ada yang berani membantunya, bahkan temannya, hingga datang dua turis Korea menyelamatkannya. Ini tak hanya terjadi di Paris, yakinlah. Saya juga sempat dimintai uang oleh calo kulit hitam saat naik taksi di depan stasiun. Saya tak mengutukinya. Tak serta-merta Paris jadi coreng-moreng.

Namun, sebagai kota yang memiliki sejarah seni, literatur, filsafat, dan ideologi yang panjang, Prancis tetaplah negeri bebas yang tak bebas-bebas amat. Ada saja ketimpangan yang terjadi. Tahun lalu, parlemen mengeluarkan larangan penggunaan jilbab bagi wanita Muslim, yang menghambat mereka untuk bekerja di luar rumah.

Puncaknya adalah tragedi penembakan di kantor redaksi Charlie Hebdo, majalah satir kontroversial Prancis, pada awal Januari lalu. Peristiwa ini membuat saya merinding. Baru tiga bulan berlalu semenjak saya menyusuri jalan-jalan itu. Terorisme masih mengintai. Wajah pualam retak sedikit.

paris
Musèe du Louvre
paris
Romantisme
paris
A little gold won’t hurt
paris
Sunny day on fall
paris
Bike in Paris, anyone?
paris
A nice place to stay!
paris
Bonjour!

Saya pun mengenang-ngenang hari pertama di Paris, saat menyantap sarapan di McDonald di depan Gare du Nord. Pagi itu sungguh menawan, dari jendela saya menyaksikan langit yang bergradasi merah jambu. Kantuk saya lenyap seketika. Terganti oleh haru. Perasaan saya meluap-luap sepanjang hari itu. Begitu pula ketika menaiki bus menuju Champs-Élysées; bangunan khas Eropa dan jajaran blok terlihat seperti labirin tak berujung.

Lucunya, pada hari terakhir di Paris, saat terburu-buru mengejar kereta di Gare de l’Est, saya memukuli bahu supir taksi sambil berteriak Green! dengan histeris, memaksanya ngebut karena di sepanjang Boulevard de Magenta ada begitu banyak lampu merah. Ini adalah lampu merah terbanyak, di satu ruas jalan, yang pernah saya lewati seumur hidup! Dan tetap saja kami tiba tepat waktu untuk naik kereta ke Frankfurt. Bayangkan kalau terjadi di Jakarta.

Saat saya menulis cerita ini di kamar, di antara dengungan kipas angin, petang terakhir di Paris kembali terbayang. Saya meninggalkan teman-teman yang bersantai di kafe teras di samping Notre-Dame, dengan rambut yang kusut digoda angin, lalu menyeberangi jembatan kecil. Pejalan kaki cukup ramai. Papan berwarna hijau cemara mencuat di antara bangunan lainnya. Di Toko Buku Shakespeare & Company ini saya menjelma laron yang baru pertama kali menemukan sumber cahaya. Jantung saya berdegup-degup.

Di sinilah para sastrawan Beat Generation, Allen Ginsberg, Gregory Corso, dan William S. Burroughs*, bermalam demi membaca buku-buku dan menuangkan ide liar. Saya pun, andaikan punya kebebasan seperti itu, ingin menghabiskan waktu di lantai dua toko ini, di antara ranjang tua, piano antik, dan mesin tik berdebu. Hari itu kutu-kutu buku asyik membaca di kursi-kursi yang disusun sembarang. Betapa beruntung mereka.

Begitulah. Paris juga dikenal sebagai kota sastra yang penting di dunia. Darinya lahir banyak nama besar, Alexandre Dumas, Émile Zola, Gustave Flaubert, Albert Camus, Simone de Beauvoir, Jean-Paul Sartre. Mereka orang-orang yang menginspirasi dunia, yang kepalanya berpijar bagaikan bohlam. Bukan hanya itu, Dalí dan Picasso pun pernah menetap dan menumpahkan cat di Paris. “An artist has no home in Europe except in Paris,” ujar Nietzsche suatu kali. Negeri impian para seniman.

for Paris is a moveable feast.

Malamnya, ketika menunggu bus di Champ de Mars, saya menggosok-gosok tangan karena angin yang menusuk, memandangi Menara Eiffel yang memamerkan kerlap-kerlipnya setiap jam. Tampaknya, di balik coreng-moreng dan wajah pualam yang retak sedikit, saya akan selalu mengingat Paris sebagai kota bermandi cahaya.

paris
Shakespeare & Co.
paris
Notre-Dame Chatedral
paris
The Gargoyles
paris
Buildings at Champ de Mars
paris
Love Lock
paris
Eiffel in the morning

Dan di luar Sungai Seine yang melingkari dua puluh arrondisement di Paris, sumber-sumber cahaya baru sedang bergeliat. Charlie Lee-Potter dalam tulisannya “Le Nouveau Paris: A New City of Light”, yang dimuat di Cereal #5, mengatakan bahwa sudah saatnya kita minggir sejenak dari gegap gempita Old Paris, yang sudah sangat pasaran polanya. Kunjungan ke Louvre dan Eiffel, makan malam dan gelas-gelas anggur di restoran mewah, kamar hotel bintang lima yang sempit.

Di Paris yang baru, yang menawarkan pengalaman hunian, kuliner, dan hiburan baru yang tak kalah hip, dengan harga yang sepatutnya, kita akan menemukan nuansa keriaan yang berbeda. Akankah laron-laron melirik ke sana?

Ya, tampaknya untuk saat ini, dan mungkin waktu yang masih lama, Paris akan tetap bercahaya. Itulah Paris bagi saya, dan kau, ya, boleh berkata semaumu tentang Parismu.

“If you are lucky enough to have lived in Paris as a young man, then wherever you go for the rest of your life it stays with you, for Paris is a moveable feast.”

– Ernest Hemingway

 

 

*) Tontolah film Kill Your Darlings (2013) untuk mengenal perjalanan awal Beat Generation.

P.S Tulisan ini dibuat karena terharu oleh tulisan “New York Blues” yang ditulis oleh Teddy.