Tepat pada hari pertama di tahun dua ribu lima belas, saya kembali menginjakkan kaki di Puerto Rico. Julukan yang sering diucapkan oleh penduduk lokal—yang kemudian berkuliah atau merantau ke kota lain—untuk Purwokerto. Ini adalah kali kedua saya mengunjungi kota bersahaja itu.
September 2013 silam saya sempat mampir ke Alun-alun dan pusat oleh-oleh di Sawangan, setelah menuntaskan pendakian di Gunung Prau. Sore itu, banyak orang berkumpul di Alun-alun. Ada komunitas pecinta anjing yang sedang berkumpul untuk memamerkan keunikan Pomeranian dan ketampanan Siberian Husky mereka. Ada para orang tua yang menemani anak mereka bermain balon dan berlari-larian. Suasana hari itu sangat nyaman, udara sejuk dan orang tidak terlalu ramai menyempiti tanah lapang.
Kiranya itu pula yang terkenang saat saya berkunjung kembali ke Purwokerto. Kali ini berdua saja, menemani teman saya yang hendak pulang ke rumahnya di daerah Teluk, Purwokerto Selatan. Kami dijemput oleh orang tuanya di stasiun, lalu makan malam di restoran tak jauh dari rumahnya. Lagi-lagi, saya disambut oleh kenyamanan yang terasa sudah akrab. Rintik hujan dan jalan yang hening meredakan kelelahan setelah berjam-jam menekuk kaki di kereta. Malamnya saya tidur lelap memeluk guling.
Esok paginya saya terbangun oleh tepukan di bahu. Teman saya tersenyum jenaka.
“Ayo, bangun, sarapan!”
Saya bangkit dengan malas, menuju kamar mandi untuk sekadar membilas wajah dan kumur-kumur. Lantas, berlari ke meja makan dan menyantap sarapan.
“Habis ini ganti baju, ya. Kita trekking,” ujar teman saya.
“Ke mana?”
“Ke tempat favorit saya, Bukit Belakang Sekolah.”
Setelah ganti baju seadanya, kami berangkat dengan sepeda motor tuanya. Suasana perumahan pagi itu sangat senyap.
“Sepi sekali, ya?”
“Iya, ini KPAD. Komplek Penunggu Ajal Datang. Semua anak muda sebaya saya sudah merantau atau menikah dan tinggal di tempat lain.”
Saya juga mungkin betah menghabiskan masa tua di sini–sambil memelihara satu-dua ekor burung Kacer.
***
Roda pun melaju keluar dari komplek, meluncur ke jalan raya. Tak lama saya bisa melihat sebuah gunung menjulang di hadapan: Gunung Slamet. Saya terkagum-kagum bisa melihat Gunung Slamet sedekat itu. Kemudian, kami melewati salah satu kampus terbesar di sana, Universitas Jenderal Soedirman. Jalan-jalan di Purwokerto memang tak terlalu rumit. Tinggal lurus saja bisa sampai ke Baturraden di kaki Gunung Slamet, kicau teman saya. Rupanya, itulah tujuan kami pagi itu: kaki Gunung Slamet. Udara pun semakin sejuk berembus membelai rambut saya.
Sekitar tiga puluh menit berselancar di jalan yang mulus, kami tiba di sebuah desa yang terletak di kaki gunung. Motor pun dititipkan di rumah basecamp, tempat orang yang hendak kamping melapor, dan lanjut berjalan kaki. Tanjakan batu bukanlah rintangan, apalagi terhampar panorama sawah menghijau. Kami naik-turun tangga ditemani para petani yang sedang meladang atau mengangkut rerumputan pakan ternak. Tegur sapa pun semakin menghangatkan suasana pedesaan. Pemandangan bukit dengan pepononan hijau terlihat kontras dengan setitik warna kuning di tengahnya. Itu tempat yang akan kami tuju, kelihatannya masih sangat jauh. Hati saya mencelus.
Kemudian kami disambut oleh fasilitas dam buatan Belanda yang menyokong PLTA setempat. Tempatnya cocok untuk piknik, berumput dan bersih. Dari situ ada sebuah jembatan besi kecil, yang di bawahnya terdapat pipa besar yang dialiri air dari gunung. Kita harus berhati-hati saat berjalan karena air yang deras seakan-akan siap melahap. Tentu saja saya melewatinya dengan santai. Lalu kami benar-benar masuk ke dalam hutan, melewati jalan setapak di antara ada dan tiada, masih ditemani oleh parit yang mengalirkan air gunung. Kami sempat istirahat dan membilas kaki dengan air yang sangat jernih.
Teman saya pun asyik bercerita, tentang misinya untuk mempromosikan wisata Purwokerto. Bahwa ia ingin membuat semacam buku untuk memetakan objek wisata kota kelahirannya. “Paling tidak, ini sumbangsih saya terhadap Purwokerto,” ujarnya serius. Saya mengangguk kagum.
“Banyak objek wisata bagus di sini, tapi namanya kurang menjual. Coba kalau ada yang bernama Yellow Stone Hotspring, pasti lebih membuat turis lokal dan luar tertarik. Yang penting harus dipromosikan.”
Saya teringat pada Pangururan Hotspring di Tanah Samosir, yang sebenarnya bernama Aek Rangat Pangururan. Banyak turis asing ke sana.
“Itu dia Yellow Stone Hotspring,” tunjuk teman saya, menutup kisahnya.
Saya melihat sebuah tebing bebatuan berwarna kuning keemasan, sangat megah. Tebing itu dialiri air yang beruap-uap. Memang cocok jika dinamai Yellow Stone Hotspring.
Menurut Wikipedia, objek wisata itu bernama Pancuran Pitu atau Pancuran Tujuh. Sebuah sumber air panas bumi yang terpancar langsung dari kaki Gunung Slamet, yang mengalir melalui tujuh pancuran. Pancuran Tujuh termasuk dalam objek wisata di Baturraden, yang bisa dicapai dengan jalan kaki sejauh 2,5 km dari Baturraden atau dengan kendaraan dari Bumi Perkemahan Baturraden.
Nah, teman saya yang bijaksana itu membawa saya melewati jalan setapak bikinan penduduk lokal. Entah supaya gratis atau supaya lebih menantang.
Sekian. Itu saja penjabaran dari Wikipedia, tanpa foto dan tautan informasi. Jelas terlihat, bahwa objek wisata ini kurang mendapat perhatian. Coba bandingkan dengan objek wisata sejenis lainnya!
Yellow Stone Hotspring memang sangat indah, berbeda dengan sumber air panas yang pernah saya kunjungi. Di samping bebatuan kuning nan terjal, terdapat dinding lumut tebal yang menghijau. Saya merasa seperti berada di tengah hutan hujan basah. Di sini beberapa pengunjung terlihat asyik berendam, tepat di bawah aliran air. Ada pula yang asyik dipijat dengan lumuran belerang oleh tukang pijat refleksi. Air belerang memang diyakini memiliki khasiat kesehatan, terutama untuk kulit. Kalau tidak sempat pijat, bisa juga membeli belerang bungkusan untuk dibawa pulang. Sayangnya, saya memakai jins dan tidak bawa baju ganti. Rasanya ingin langsung terjun ke air.
Kami pun menaiki tangga menuju sumber air yang lebih panas, yang lebih dipadati pengunjung dan warung makanan. Di sini terdapat kolam pemandian air panas untuk pengunjung, dilengkapi kamar mandi sederhana. Pedagang oleh-oleh juga giat menjajakan kaus-kaus bertuliskan Baturraden. Beberapa orang terlihat sibuk berfoto di depan tujuh buah pancuran yang menginspirasi nama tempat ini. Ada pula barisan tukang pijat yang asyik mengobrol dengan tamunya. Sebuah pemandangan yang unik. Kaki-kaki kuning berbaris rapi.
Tak salah apabila teman saya berharap banyak pada tempat ini, bahwa akan lebih populer andaikan diberi nama keminggris. Yellow Stone Hotspring. Bagaimanapun, Ice Tea selalu lebih mahal daripada Es Teh Manis. Yah, sejenak lupakan masalah penamaan itu. Saya ingin berendam air hangat dulu.
Teruntuk Sadewa…
*Tulisan ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Visit Jawa Tengah 2015 Periode 1 bertema “Wisata Alam Jawa Tengah” yang diadakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Pemerintah Provinsi Jawa Tengah–dan berhasil menjadi pemenang.