Pekikan dan entakan kaki para penari silih berganti menyemarakkan suasana. Sambil menenteng kamera saya mengikuti mereka berlenggak-lenggok menuju panggung. Terik matahari yang menyengat dan keringat yang menitik di kening membuat saya merasa pusing. Berteduh di dekat panggung pun saya lakoni, sambil tetap menikmati tarian. Itu adalah hari kedua saya berpuasa. Hari kedua saya menghadiri Festival Danau Sentani.
Bertempat di Pantai Khalkote, Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, Festival Danau Sentani 2015 berlangsung selama lima hari, yaitu pada tanggal 19—23 Juni. Dengan tema “Budayaku Sejahteraku”, festival ini bertujuan agar masyarakat Sentani semakin melestarikan budaya yang mereka miliki, yang merupakan salah satu aset utama pariwisata Jayapura.
Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya saat meresmikan Festival Danau Sentani pada 20 Juni yang lalu, diharapkan festival ini dapat menggerakkan roda ekonomi dan berdampak positif terhadap pertumbuhan di berbagai bidang lainnya di wilayah Sentani, termasuk infrastruktur yang dibutuhkan.
Dua puluh empat grup ondoafi (kepala adat) dari empat distrik di sekitar Danau Sentani dan puluhan grup dari Kabupaten dan Kota Jayapura turut meramaikan festival. Tak ketinggalan Kabupaten Boven Digul, Asmat, Memberamo Raya, Yalimo, dan Sarmi. Total seratus grup tersebut akan mempersembahkan penampilan tari dan musik terbaiknya pada Festival Danau Sentani 2015.
Pertunjukan Tari Adat yang Semarak
Pada hari pertama festival, dan hari pertama saya menginjak Tanah Papua untuk pertama kalinya dengan suka cita, grup tari Rebali Ayapo dari Kampung Ayapo mempertunjukkan Tari Ahohoi dengan penuh semangat. Pengunjung dan jurnalis pun berduyun-duyun memotret pertunjukan pembuka itu.
Sebelum pertunjukan, saya sempat berbincang dengan Jonathan, salah satu pemuda Desa Ayapo yang merebut perhatian banyak pengunjung, tak terkecuali saya. Ternyata, ia sudah beberapa kali mengikuti festival ini dan sangat senang dapat berpartisipasi. Dengan rok jerami (kombou) dan ikat kepala yang dihiasi biji saga, biji jali, kerang, dan bulu kasuari, pemuda hitam-manis ini berbicara dengan semangat.
Grup Rebali Ayapo pun menjadi objek foto banyak orang, yang sebenarnya membuat saya merasa tak enak, takut kalau-kalau sikap saya mengganggu mereka. Namun, melihat senyum mereka yang selalu tersimpul, saya sadar bahwa mereka sudah terbiasa dengan hal ini. Setiap tahun mereka pasti mengalami hal yang sama. Bahkan, sering kali justru mereka yang lebih dulu minta dipotret. Saya pun merasa kagum.
Sebenarnya masih banyak tari lainnya yang memeriahkan Festival Danau Sentani, tetapi salah satu yang dinantikan, dan selalu menjadi headline berbagai surat kabar setiap tahunnya, adalah tari perang di atas perahu yang ditampilkan pada hari kedua. Tari Isosolo atau Isolo. Isosolo, menurut bahasa setempat, berasal dari kata iso dan solo. Iso berarti ‘bersuka cita dan menari mengungkapkan perasaan hati’ dan solo adalah ‘sekelompok orang dari berbagai usia.” Jadi, Isosolo adalah tari yang mengekspresikan suka cita yang dibawakan oleh sekelompok orang.
Para penari Isosolo pun meloncat-loncat sambil memainkan busur panah dan tombak, begitu pula yang masih kanak-kanak, untuk mengungkapkan kegembiraan. Saya takjub saat melihat antusiasme itu. Dari perahu adat yang sederhana dan dihiasi dedaunan serta rerumputan, mereka menepuk-nepuk air dengan tombak untuk menambah suasana gembira. Bunyi tifa pun bersahut-sahutan mengiringi tarian memukau yang berlatar belakang perbukitan yang menghijau itu.
Dari panggung saya terkesima menyaksikan gerakan serta nyanyian yang bergelora, memang cocok untuk dijadikan penyemangat saat berperang. Namun, tari ini juga dapat ditampilkan untuk kesempatan lain. Tetua adat di Desa Asei Besar yang saya temui menyampaikan bahwa Isosolo juga dapat ditarikan sebagai persembahan dari suatu desa kepada desa lainnya apabila mereka ingin melakukan pertukaran hasil bumi atau hasil kerajinan tangan.
Peran Suku Adat terhadap Pariwisata
Grup-grup tari yang tampil dalam Festival Danau Sentani biasanya didampingi oleh kepala adat (ondoafi). Mereka selalu tersenyum ramah menyambut berbagai pertanyaan dari pengunjung dan jurnalis. Tak sungkan pula untuk dipotret. Sebuah sikap yang perlu diapresiasi demi memperkenalkan dan mempromosikan budaya mereka.
Itulah yang saya temukan di sepanjang acara Festival Danau Sentani. Suku-suku yang terlibat dalam festival ini sadar betul akan perannya sebagai pendukung pariwisata Sentani, dan Papua secara umum. Mereka menyambut saya dengan ramah, bahkan sering kali disertai candaan, dan bersedia menjawab rentetan pertanyaan saya yang terkadang bertubi-tubi, dan mungkin permintaan foto yang tak henti-henti.
Hal itu juga saya rasakan saat berkunjung untuk melihat pembuatan kerajinan tangan di pulau-pulau di Danau Sentani. Para pengrajin dan pedagang menjawab rasa ingin tahu saya tanpa sungkan-sungkan.
Kerajinan Tangan dan Batu Akik menjadi Andalan
Kita juga dapat menemukan berbagai kerajinan tangan Sentani dalam Festival Danau Sentani, seperti noken atau tas rajut yang terbuat dari kulit kayu dan pewarna alami, ikat kepala yang dihiasi bulu kasuari, lukisan kulit kayu, dan lain-lain.
Selain itu, festival kali ini turut meramaikan tren batu akik yang menyerang seluruh Nusantara. Ternyata, Papua juga memiliki batu akik khas yang terkenal hingga luar daerah, yaitu batu akik Cycloops. Batu ini berjenis kuarsa kristal dan ciri khasnya adalah berwarna hijau tua. Batu akik Cycloops, sesuai asal namanya, banyak ditemukan di Kampung Ormu yang terletak di lereng Pegunungan Cycloops.
“Biasanya batu ini kita ambil dari sungai, ada juga yang dari bukit,” ujar salah seorang pedagang saat saya membeli batu akik Cycloops untuk oleh-oleh. Selain batu Cycloops hijau, batu Cycloops merah yang bernama Red Pacific juga menjadi kebanggaan Papua. Kabarnya, nama Red Pacific ini berasal dari Presiden Jokowi.
Di area Festival Danau Sentani, kita dapat membeli batu akik mentah berupa bongkahan atau yang sudah menjadi batu cincin mengilap. Harganya mulai dari lima puluh ribu hingga jutaan rupiah, tergantung ukuran dan jenis serta kualitas batu. Batu akik Red Borneo, Pancawarna, Black Jade, Serpentine, dan Kecubung juga saya lihat banyak diminati pembeli.
Rekor MURI untuk Pelepasan Satu Juta Benih Ikan Nila
Menyoal berkurangnya populasi ikan endemis di Danau Sentani, yaitu , yaitu ikan pelangi (Chilatherina sentaniensis), ikan pelangi merah (Glossolepis incisus), dan ikan gabus (Oxyeleotris heterodon), pemerintah berusaha turun tangan untuk mengatasinya. Pada festival ini terdapat acara pelepasan satu juta benih ikan nila di Danau Sentani. Seremoni yang dilakukan di Pulau Asei Besar ini tercatat dalam Rekor MURI. Ikan-ikan itu diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar serta menjadi mata pencaharian penduduk yang berprofesi sebagai nelayan.
Setelah puas menyaksikan beragam tarian dan membeli lukisan kulit kayu, saya dan teman-teman kembali menyusuri Danau Sentani menuju area festival di Khalkote. Saya terkejut menyaksikan betapa ramainya pengunjung yang datang, yang kebanyakan berasal dari Sentani dan Jayapura. Ada yang duduk-duduk di dermaga, ada yang berbelanja, ada yang berfoto-foto.
Semuanya tampak begitu gembira dengan perayaan ini. Festival Danau Sentani bagaikan pesta rakyat yang dinantikan masyarakat setiap tahun. Tempat berkumpul menikmati hiburan dan panorama danau serta perbukitan hijau yang berpunuk-punuk.
Walaupun mungkin belum berhasil menembus jumlah turis asing yang ditargetkan, saya dengar pemerintah menargetkan 3.500 turis asing mengunjungi Festival Danau Sentani 2015, yang mana saya lihat tak sebanyak itu di lapangan, saya yakin festival ini akan terus memperbaiki diri. Andaikan saya dapat kembali lagi suatu hari, mudah-mudahan Festival Danau Sentani sudah menjadi salah satu festival terbesar dan terpopuler di Indonesia. Foi moi!