Sebelum mengenal wisata Lampung lebih jauh, saya selalu menganggap Negeri Siger* ini sebagai daerah yang biasa saja. Yang terkenal darinya paling hanya gajah dan kopi—saya pernah diberi kopi Lampung oleh dosen saya yang merupakan pecinta kopi sejati, Maman S. Mahayana. Kopinya memang nikmat. Namun, bukan hanya itu keistimewaan Lampung. Setelah mengarungi lautan di Pulau Pahawaung, saya semakin tertarik dengan provinsi paling selatan di Sumatera ini.
Lampung Bukan Hanya tentang Tempoyak, Cobalah Seruit!
Siapa bilang Lampung cuma punya tempoyak dan keripik pisang berlapis cokelat bubuk? Sebagai penggemar durian, saya sebenarnya tak terlalu suka dengan tempoyak yang biasa dipadukan dengan sambal. Saat mencium aromanya, durian yang diawetkan ini sepertinya lebih asyik disantap segar saja. Pun begitu, Seruit tentunya salah satu menu khas Lampung yang tak boleh ketinggalan dicicipi. Seruit adalah hidangan ikan yang digoreng atau dibakar yang disajikan dengan sambal terasi dan tempoyak. Seruit juga dilengkapi lalapan segar, seperti, dan petai serta jengkol. Dan tentunya julang-jaling atau kabau (Pithecolobium ellipticum). Tumbuhan polong ini sekilas memiliki aroma seperti lamtoro, tetapi efeknya jauh lebih dahsyat. Bau yang ditimbulkan lebih kuat daripada petai dan jengkol. Ketika saya gigit sedikit, rasanya agak getir dan baunya sangat melekat.
Awalnya Seruit tercipta dari kebiasaan mayarakat Lampung, seperti masyarakat lainnya di Indonesia, untuk berkumpul dan bersilaturahmi. Saat itulah diperlukan makanan yang dapat disantap bersama-sama, yaitu Seruit. Dengan hidangan ikan-ikan dan lalapan serta sambal di atas tampah, semua orang pun dapat mengisi perut dengan akrab.
Kopi Hitam Sudah Biasa, Ada yang Lebih Unik!
Semua orang saya rasa pernah minum kopi hitam, baik suka sungguhan atau sekadar mencoba. Lampung terkenal dengan kopi hitamnya yang berasal dari biji kopi robusta. Robusta memiliki kekentalan yang lebih tinggi daripada kopi arabika, begitu pula kandungan kafeinnya. Nah, ketika mampir di Rumah Makan Cikwo, selain menyantap Seruit dan makanan khas lainnya, saya juga memesan Kopi Jelly. Alasan utamanya karena kehabisan Serbat Kuini, minuman segar yang terdiri dari irisan mangga kuini dan siraman gula aren.
Kopi Jelly ini bukanlah kopi yang dicampur dengan jelly manis warna-warni, melainkan susu yang dicampur dengan jelly yang terbuat dari kopi. Jadi, ketika menyesap susu dan mengunyah jelly-nya, cita rasa kopi Lampung pun akan membuat kita kecanduan. Saya suka sekali dengan minuman ini dan rasa-rasanya akan mencoba membuatnya sendiri di rumah.
Monumen Krakatau, Tugu Peringatan Letusan Gunung Krakatau
Berada di tengah Taman Dipangga yang berlokasi di Jalan W.R. Supratman, Teluk Betung, Bandar Lampung, Monumen Krakatau terlihat sederhana ketika saya melihatnya siang itu. Di puncaknya terdapat pelampung suar seberat 250 kilogram, alat bantu navigasi pelayaran yang biasanya dipasang di tengah lautan. Monumen ini melambangkan peristiwa tsunami yang menyerang Lampung tak lama setelah peristiwa letusan mahadahsyat Gunung Krakatau pada 27 Agustus 1883. Diperkirakan ketika itu banyak kapal yang terdampar hingga daratan akibat tsunami setinggi 40 meter. Sesungguhnya, pelampung suar ini adalah alat yang sangat bermanfaat untuk memperingatkan para navigator tentang adanya bahaya, seperti karang, air dangkal, gusung, kerangka kapal, dan untuk menunjukkan perairan aman serta pemisah alur.
Di bagian bawah monumen terdapat enam sisi relief yang menggambarkan situasi ketika meletusnya Krakatau, seperti masyarakat yang tinggal di pesisir yang berlarian dengan latar belakang gunung meletus. Monumen ini terbilang cukup baik kondisinya, tidak ada coret-coret ulah orang iseng. Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda, di sini dibangun Kantor Residen Lampung, tetapi kini monumen di sini merupakan titik nol kilometer Lampung. Taman yang sangat rindang dan nyaman ini cocok dijadikan tempat bersantai dan menikmati sore. Seorang bapak dan balitanya pun saya lihat asyik menyusuri jalan setapak. Fasilitas tempat sampah juga terlihat di beberapa sudut. Saya, sih, bisa betah berlama-lama di sini.
Klenteng Thay Hin Bio di Pusat Pecinan Lampung
Mengunjungi daerah pecinan tentunya tak lengkap tanpa singgah di klenteng. Itu pula yang saya lakukan saat berada di Bandar Lampung, mampir ke Klenteng Thay Hin Bio di Jalan Kakap No.35. Akan tetapi, ini bukan sembarang klenteng tua. Ia adalah saksi sejarah peristiwa letusan Gunung Krakatau. Bayangkan, dengan letusan yang merenggut lebih dari tiga puluh lima ribu jiwa, bangunan ini tetap berdiri meskipun rusak di beberapa bagian. Kiranya serupa dengan Masjid Baiturrahman yang berdiri kokoh saat peristiwa Tsunami Aceh tahun 2004 silam.
Awalnya, klenteng ini bernama Cettiya Avalokiteśvara atau Cettiya Kuan Im Thing, yang berarti tempat persinggahan Dewi Kwan Im. Ya, dahulu ada seseorang bernama Peng Ho yang meletakkan patung Dewi Welas Asih ini. nama Thay Hin Bio, yang berarti vihara yang besar dan jaya, baru dipakai setelah renovasinya pada tahun 1967, dengan dana yang dikumpulkan dari umat dan masyarakat setempat.
Klenteng ini dapat dikunjungi mulai dari pukul setengah tujuh pagi hingga lima sore. Sayangnya saya tidak bisa berlama-lama mengelilinginya karena harus menuju tempat lain. Namun, jinzhi (kertas emas) atau uang arwah yang bertumpuk di tong di bawah altar membangkitkan memori masa kecil saya, ketika saya harus melipat-lipatnya membentuk perahu—seperti bentuk uang China zaman dahulu—di sela-sela waktu, ketika ada sanak saudara yang meninggal. Mata saya masih perih membayangkan asap yang menyeruak saat uang-uang itu dibakar.
Kain Tapis Aneka Warna khas Lampung
Kain Tapis adalah kain tenun khas Lampung yang terkenal karena warnanya yang mencolok, juga motifnya yang unik, seperti siger dan gajah, ikon tanah Lampung. Saat mampir di Toko Putra Indonesia di Jalan S. Parman, saya pun mengamati ciri khas kain ini dari balik kaca etalase. Siang itu saya dan kawan-kawan tak dapat menyaksikan proses pembuatannya, sayang sekali memang. Namun, melihat keindahan warnanya cukup mengobati rasa kecewa.
Kain Tapis yang terbuat dari benang emas memiliki harga hingga jutaan rupiah, sama seperti Kain Songket di Palembang. Kain seperti ini biasanya dipakai sebagai busana pengantin tradisional, sebagai bawahan dan selendang. Ah, rasanya saya ingin memborongnya kalau tidak ingat kondisi dompet. Namun, bukan hanya Kain Tapis, pengunjung juga dapat membeli berbagai suvenir khas Lampung di sini, mulai dari tas dan dompet bermotif khas Lampung hingga gantungan kunci dan patung-patung rumah adat dan gajah.
Lagi-lagi, keragaman alam dan budaya merupakan salah satu Pesona Indonesia. Dan budaya Lampung kini membuat saya semakin tertarik. Semoga saya bisa segera kembali ke Lampung dan menemukan kekayaan tradisi dan hal-hal unik lainnya.
*Siger adalah mahkota berwarna keemasan yang memiliki sembilan puncak dan menjadi simbol keagungan dan kehormatan masyarakat Lampung. Dahulu mahkota ini terbuat dari emas, tetapi kini dari kuningan.
Lampung adalah kota pertama yang dituju dalam acara Social Media Trip & Gathering 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia (www.indonesia.travel). Temukan foto-foto dan video perjalanan ini di Twitter dan Instagram melalui tagar #PesonaIndonesia dan #SaptaNusantara.