Pada hari ketiga di Bukittinggi, barulah saya bisa menjelajahi bentang alam yang berada di ketinggian sembilan ratus meter di atas permukaan laut ini. Berada di antara Bukit Barisan menjadikan kota berbukit-bukit ini—sesuai namanya Bukittinggi—berhawa sejuk dan diapit dua gunung berapi, Singgalang dan Marapi.
Belum lagi, delapan puluh persen lahan di Bukittinggi merupakan lahan budi daya, sisanya hutan lindung. Maka, bicara Kota Bukittinggi, yang pada masa kolonial disebut Fort de Kock, adalah bicara tentang perbukitan dan lembah yang menghijau.
Dan, Ngarai Sianok adalah primadonanya!
Ngarai atau lembah yang membentang sepanjang lima belas kilometer di perbatasan Kota Bukittinggi dengan Kabupaten Agam ini menyimpan keindahan yang tiada berkurang dari masa ke masa. Justru, saat ini kawasan Ngarai Sianok tertata lebih rapi.
Bukit Takuruang
Perjalanan menjelajahi Ngarai Sianok dimulai sedari pagi, dengan singgah di daerah Tabiang Takuruang. Di sini terdapat bukit kecil yang berada di tengah lembah, diapit tebing dan sungai, hingga dinamai Bukit Takuruang. Bukit yang terkurung. Dan, di puncaknya tumbuh sebatang pohon.
Jika ingin menikmati panorama di sekitar bukit, mampirlah ke Taruko Cafe. Kedai ini berada di tepi sungai, dengan padang rumput menghadap Bukit Takuruang. Pesanlah secangkir kopi, lalu nikmati suasana sejuknya. Taruko Cafe buka sejak tahun 2010 dan tahun ini saya baru bisa menginjakkan kaki di sana.
Karena gatal melihat sungai kecil yang jernih, saya dan kawan-kawan langsung melempar sandal dan terjun. Bebatuan kecil terasa nyaman dipijak, ditambah air yang dingin. Di penghujung, tebing Ngarai Sianok terlihat begitu megah. Kalau saja tujuan kami cuma ke sini, mungkin saya akan sekalian main air, dan mandi!
Bukit Takuruang konon merupakan tebing yang termasuk dalam jajaran Ngarai Sianok. Karena gempa, tebing ini terpisah dan membentuk sebuah bukit. Ia seperti bisul di tengah lembah. Namun, terkadang sebuah kejanggalan menawarkan keelokan yang menawan hati. Ia hanya satu di Bukittinggi. Sayangnya, kami tak bisa berlama-lama. Usai menyesap segelas kopi, saya buru-buru naik mobil untuk menuju Nagari Koto Gadang!
Janjang Koto Gadang (The Great Wall of Koto Gadang)
Mobil melaju ke arah sebuah pemukiman cukup mewah dan asri. Ini adalah Nagari Koto Gadang, tempat orang kaya membangun rumah peristirahatan, begitu ujar pemandu kami. Melihat arsitektur bergaya klasik dan kolonial, rasa-rasanya ingin turun dan memotret semuanya. Jalan berkelok-kelok dan menanjak, saya sempat cemas kalau-kalau harus turun dari mobil.
Tak berapa lama tibalah kami di pintu masuk Janjang Koto Gadang. Yang lebih populer disebut The Great Wall of Koto Gadang. Objek wisata yang diresmikan pada 26 Januari 2013 ini diprakarsai oleh Tifatul Sembiring. Putra Bukittinggi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika.
Awalnya, di sini hanya terdapat tangga sederhana sebagai akses untuk mengambil air ke sungai, juga untuk menuju Kota Bukittinggi di seberang. Namun, terinspirasi oleh The Great Wall of China dan teringat sulitnya perjalanan ke sekolah dahulu, Tifatul pun membangun The Great Wall of Koto Gadang.
Tembok ini tentu berbeda dengan yang ada di Tiongkok. Lebarnya dua meter saja dan ia seperti terbuat dari semen kemarin hari. Saya berharap temboknya akan dirambati tanaman agar terlihat lebih alami. Supaya tak janggal berada di antara tebing yang menghijau. Tak butuh waktu lama untuk sampai di dasar. Yang langsung akan menyambut kita dengan pemandangan lembah amat cantik.
Ngarai Sianok
Kita pun tiba di Ngarai Sianok! Jalur Janjang Koto Gadang memang tembus ke Ngarai Sianok. Karena itulah, pemandu menyarankan untuk memilih jalur ini. Lebih baik turun ketimbang naik.
Tebing-tebing dengan sungai kecil di tengah, Batang Masang namanya, adalah simbol utama Ngarai Sianok. Tebing yang menjulang, dipadu langit biru yang cerah, membuat saya betah memandang-mandang ke atas.
Ngarai Sianok banyak berubah, ujar kawan saya. Dahulu belum ada tiang lampu yang berdiri, dan jalannya belum tersusun dari paving block. Sungainya kini dibatasi tembok semen. Kondisinya cukup bersih, meski sampah terlihat di beberapa titik sungai, terbawa aliran dari hulu. Sayangnya, perbaikan Ngarai Sianok ini seperti kurang pertimbangan. Ia sekilas mirip taman sungai buatan di tepi kota, yang kurang asri. Padahal, sebaliknya, suasana alam di sekeliling Ngarai Sianok sangat asri. Rumah bagi keluarga monyet ini masih terjaga kerimbunan hutannya.
Pun begitu, saya tak bisa serta-merta menggerutu. Ngarai Sianok semestinya sudah berjalan ke arah yang lebih baik. Ia adalah tempaan alam yang bertahan hingga kini. Hingga saatnya menginjakkan kaki lagi di Bukittinggi, saya yakin Ngarai Sianok akan tetap cemerlang. Karena ia adalah pesona alam kebanggaan Indonesia.
Jika ingin berkunjung ke Ngarai Sianok, belilah tiket pesawat menuju Padang. Jaraknya sekitar dua jam ke Bukittinggi. Kemarin saya menumpang Garuda Indonesia, satu jam saja dari Jakarta, dijamin bakal kecantol dengan pesona alam Sumatera Barat yang memukau.
Aaah, sambil menyusuri Ngarai Sianok, saya menghirup udara dalam-dalam. Merasakan ketenangan yang amat. Tapi malang, mobil sudah menunggu di depan. Kami harus menyudahi penjelajahan.