Kalau ditanya kapan terakhir kali menginjak Lampung, mungkin saya perlu satu-dua kali memandang langit-langit sambil memutar bola mata. Sepuluh atau lima belas tahun silam saya rasa. Cukup lama memang, terakhir kali saat pulang kampung ke Medan dengan bus ALS selama tiga hari tiga malam. Memang, ketika itu ritual mudik dengan bus menjadi kesenangan tersendiri setiap menjelang Lebaran, menjelajahi Sumatera dari paling selatan hingga utara. Bermain air di sungai berliuk di Padang dan Palembang menjadi atraksi taman ria bagi saya dan dua saudara saya.
Saya pun punya kenangan tersendiri untuk setiap kota, misalnya pempek bakar untuk Palembang—suatu hari bus berhenti karena ban pecah dan saya membeli pempek bakar yang sangat nikmat—dan bakso daging berbulu untuk Padang—waktu itu ibu saya terkejut melihat bakso di mangkuknya. Nah, saya mengenal Lampung sebagai provinsi yang sangat panjang jalannya, bagaikan tiada ujung, dan gersang. Rasanya seperti takkan pernah sampai ke tujuan.
Kenangan semacam itu membuat saya tak pernah lupa pada tempat yang pernah saya lewati. Saya pun begitu girang saat mendapat undangan dari Kementerian Pariwisata untuk mengunjungi Pulau Pahawang di Lampung. Sudah satu dekade lebih saya tak ke sana! Saya sudah sering mendengar cerita tentang keindahan Pulau Pahawang dari kawan-kawan yang ke sana dan lucunya, pada minggu yang sama tadinya saya akan ke sana bersama teman jalan ke Ambon beberapa waktu yang lalu.
Cuaca memang tak terlalu bagus saat saya dan rombongan tiba di Lampung. Tiap senja luruh hujan turut jatuh. Begitu pula saat kami singgah di Rumah Makan Cikwo di Jalan Nusa Indah di wilayah Teluk Betung, Bandar Lampung. Di saat saya dan kawan-kawan mencicipi menu khas Lampung, tiba-tiba air hujan merembes. Tentu saja itu tak mengurangi semangat kami untuk menyantap beragam hidangan yang baru pertama kali kami lihat, seperti seruit, menu ikan goreng atau bakar yang dihidangkan dengan sambal terasi atau tempoyak (yang terbuat dari fermentasi durian) dan ditambah terung rebus atau bakar, dan Tabo Iwa Tapa Semalam atau gulai ikan yang sudah diasapi dari malam sebelumnya.
Esok paginya, kami pun siap berangkat ke Pulau Pahawang yang berada di Teluk Lampung, Kecamatan Punduh Pedada, Kabupaten Pesawaran. Pada akhir pekan, pulau ini tak pernah sepi karena daya tarik bawah lautnya. Di Jakarta, berbagai operator trip berebut mempromosikan perjalanan ke Pulau Pahawang dan sekitarnya, yang sayangnya membuat pesona bahari di pulau ini sedikit tercemar dengan banyaknya sampah. Kawan saya pernah berujar, ketika musim liburan tiba, seratus orang bisa menjejali lautan biru di Pahawang bagaikan cendol.
Ya, dalam dunia pariwisata ada tren yang silih berganti. Sebelumnya Lampung terkenal dengan Gunung Krakatau, lalu Kiluan, dan kini Pahawang. Karena lokasi yang tidak jauh, dari pusat kota Lampung ke Dermaga Ketapang lalu ke Pulau Pahawang hanya butuh waktu sekitar satu jam, banyak pengunjung dari Jakarta dan sekitar, yang mungkin sudah bosan dengan Pulau Seribu, lari ke Pahawang untuk mencari suasana baru.
Pulau Kelagian
Ini adalah destinasi pertama yang kami singgahi. Pulau tak berpenghuni dengan pasir putih nan halus ini—hampir serupa dengan di Tanjung Bira—menawarkan pemandangan yang sangat indah. Dengan garis pantai melengkung dan pohon-pohon dengan ranting menjulur, rasanya seperti berada di pulau kecil di Indonesia Timur. Beberapa pondok yang masih bagus berbaris menyambut pengunjung, saya buru-buru menaruh tas.
Pulau ini kecil saja, pantai di belakangnya dipenuhi batu karang besar. Saya menyusuri jalan di antara pepohonan yang sudah meranggas, debu beterbangan, dan rintik-rintik air menetes. Hujan lagi. Beberapa kawan masih asyik berenang di pantai, beberapa melompati karang, dan saya sejenak bersantai di ayunan yang tergantung di dahan sebuah pohon. Ya, ya, pemberhentian pertama di pulau ini rasanya akan menjadi pembuka manis bagi petualangan di tempat-tempat berikutnya.
Pulau Pahawang Besar
Saya pun mencoba snorkeling di dekat Pulau Pahawang Besar, atraksi utama wisata bahari Pahawang. Ada tulisan “I Love You Pahawang” di sekitar terumbu karang, tempat orang-orang biasa berfoto. Saya memandanginya lantas menjauh demi mencari ikan badut (Amphiprion ocellaris) yang katanya banyak berkeliaran di antara karang-karang. Namun apa daya, laut agak keruh siang itu dan ikan-ikan kecil tak terlihat jelas, hanya karang kecokelatan dan anemon yang memikat mata. Ada juga beberapa terumbu karang yang baru ditanam tepat di bawah perahu, tentu butuh waktu dan usaha untuk menjaga kelangsungan hidupnya.
Di sekitar pulau ini juga terdapat banyak ubur-ubur kecil, yang lagi-lagi tak saya temukan, mungkin saya kurang jeli. Kawan saya, Satya, malah sempat tersengat di pahanya dan gatal-gatal. Namun, itu tak membuatnya duduk manis saat berada di Pahawang Besar, sementara saya dan kawan-kawan makan siang dengan lahap, ia sibuk mempraktikkan jalannya yang seperti kepiting dan memasang hammock di pinggir pantai.
Di Pulau Pahawang terdapat lima dusun, yaitu Pahawang, Kalangan, Suak Buah, Penggetahan, dan Jeralangan, yang kemudian berkembang lagi menjadi beberapa dukuh, yaitu Suak Gebang, Suak Latak, Cukuh Nyai, Cukuh Kunda, Cukuh Bedil, dan Suak Panjang. Penghuninya sekitar 1.500 jiwa. Di sinilah biasanya pengunjung dapat menginap untuk menyelami kehidupan sehari-hari masyarakat Pahawang. Seperti yang kita tahu, keragaman alam dan budaya merupakan salah satu Pesona Indonesia yang tiada duanya. Sore itu pun kami dijamu hidangan laut dan sambal yang sangat nikmat.
Pulau Pahawang Kecil
Terletak tak jauh dari Pahawang, pulau Pahawang Kecil terkenal dengan hamparan pasir putih yang muncul ke permukaan saat laut surut, yang menjadi penyambung antara Pulau Pahawang Kecil dan Pahawang Besar. Ketika perahu bersandar menjelang senja, hamparan pasir ini sudah tenggelam, menonjolkan air jernih kebiruan. Tempat ini mengingatkan saya pada hamparan pasir putih di depan Pulau Raja yang terdapat di Sawai, Seram Utara.
Anehnya, di pulau kosong ini terdapat sebuah vila bernuansa Jawa yang katanya dimiliki oleh orang Prancis. Vila itu terlihat menyendiri di kejauhan. Selain gusungnya (pasir timbul), pulau ini juga memiliki hutan bakau (mangrove) yang terjaga. Kepala Desa Pahawang, Ahmad Salim, pernah menyampaikan bahwa selain terumbu karang, warga desa juga dituntut untuk menjaga kelestarian bakau. Dua hal itulah yang menjadi ikon wisata bahari Pahawang. Ia pun mendukung upaya masyarakat untuk menjadikan pariwisata sebagai sumber penghasilan baru, selain melaut.
Saya kembali merendam tubuh di antara pasir putih, membayangkan para nelayan yang menambatkan perahu, disambut oleh tawa anak-anak. Drone beterbangan seperti lebah di langit yang semakin lembayung, petang terasa begitu singkat.
Sumber: antaralampung.com
Lampung adalah kota pertama yang dituju dalam acara Social Media Trip & Gathering 2015 yang diselenggarakan oleh Kementerian Pariwisata Indonesia (www.indonesia.travel). Saksikan foto dan video perjalanan ini di Twitter dan Instagram melalui tagar #PesonaIndonesia dan #SaptaNusantara.