Menjawab tantangan (atau saran?) Diyan di Twitter beberapa hari yang lalu, bahwa saya sebaiknya menulis suatu hal yang menarik tentang Kerala, sebuah negeri di selatan India, yang sangat ingin saya sambangi–tentunya apabila terpilih sebagai peserta Kerala Blogger Express Season 3, saya pun mengumpulkan amunisi.
Diyan menyebut tentang Kalaripayat, atau Kalaripayattu dalam Bahasa Tamil, seni bela diri yang berasal dari Kerala. Jujur saja, baru kali itu saya mendengarnya, mungkin karena saya tak banyak mengikuti sejarah bela diri India. Pengetahuan saya sebatas bela diri Jepang yang saya baca dari komik Samurai X dan Jurus Tanpa Bentuk dari Nagabumi karangan Seno Gumira Ajidarma. Baru-baru ini saya tertarik pada Wing Chun setelah menonton Ip Man 3. Ternyata, seni bela diri “Nyanyian Musim Semi” ini memiliki banyak pengikut di Indonesia. Saya sekilas teringat pada Chinmi si Kung Fu Boy.
Saya kemudian mengenal bela diri lain asal Korea dari status Facebook Farchan. Ia bercerita baru saja mendaftar Hapkido, teknik bela diri yang tak bertujuan menaklukkan lawan. Filosofinya adalah kemampuan pengendalian diri untuk menerima serangan lawan.
Lalu, apa yang dimaksud dengan Kalaripayattu? Kalaripayattu adalah seni bela diri yang berasal dari wilayah India Selatan, tepatnya Kerala, yang diperkirakan sebagai salah satu yang tertua di dunia. Kalau kalian mengira Kung Fu dari daratan Tiongkok adalah ilmu silat tertua, jangan yakin dulu. Bodhi Darma, yang mempopulerkan Kung Fu di kuil-kuil Shaolin, adalah seorang biksu Buddha dari India dan master Kalaripayattu. Jangan-jangan sebenarnya Kung Fu dan Kalaripayattu bersaudara adanya?
Kalaripayattu Adalah tentang Tenaga Dalam dan Kekuatan Hewani
Dua hal yang membedakan Kalaripayattu dari bela diri lainnya adalah ia mengutamakan aliran energi yang berasal dari dalam tubuh dan kekuatan yang diilhami oleh pergerakan hewan. Jadi, wajar saja apabila jurus-jurus Kalaripayattu merupakan tiruan dari gerakan hewani. Singa, harimau, gajah, ular, buaya, dan babi hutan dikenal memiliki kekuatan unggul. Bayangkan bila jurus-jurus yang terinspirasi dari gerakan hewan tersebut digabungkan dengan ilmu tenaga dalam mahadahsyat? Mungkin Pendekar Tongkat Emas perlu waspada.
Riwayat Kalaripayattu, sama seperti kebanyakan hal lainnya di dunia ini, terungkap dari tradisi tulisan. Ia muncul pertama kali pada Era Sastra Sangam yang berkembang pada abad ke-3 SM hingga 2 M. Ketika itu diceriterakan tentang para prajurit yang memiliki keahlian tarung menggunakan senjata tombak, pedang, perisai, dan panah. Mereka juga dilatih mengendarai kuda dan gajah demi kepentingan militer. Inilah cikal bakal Kalaripayattu.
Pada abad ke-3 M, Kalaripayattu mendapat pengaruh dari Yoga SÅ«tras, kumpulan aforisme yoga karangan Patañjali yang terkenal pada Abad Pertengahan sampai-sampai diterjemahkan ke bahasa Jawa Kuno, dan gerakan jari-jemari dalam tarian India–yang kemudian memunculkan identitas baru di kemudian hari. Barulah pada abad ke-11, pada Era Wangsa Chera dan Chola, Kalaripayattu semakin berjaya dengan adanya jurus menyerang, tendangan, dan cengkeraman yang identik dengan pertarungan keras.
Lebih lanjut, Kalaripayattu juga dikaitkan dengan pengobatan. Agastya, salah seorang dari Saptarsi atau Tujuh Resi, disebut-sebut sebagai penemu Kalaripayattu Aliran Selatan–Kalaripayattu terbagi menjadi dua sesuai wilayah asalnya di Kerala, Utara dan Selatan–dan metode pengobatan varmam, yaitu menyembuhkan penyakit dengan menekan titik-titik vital tertentu pada tubuh. Uniknya, metode ini dapat dilakukan dengan tangan ataupun alat, misalnya tongkat, dengan mengincar sistem saraf, pembuluh darah, otot, organ tubuh, dan persendian. Bayangkan, ia menggabungkan antara bela diri dan pengobatan. Luar biasa!
Apakah Kini Kalaripayattu Menjadi Sekadar Seni Pertunjukan?
Bisa dikatakan Kalaripayattu mengalami asimilasi, dari seni bela diri kemudian pengobatan. Akan tetapi, mengingat kejayaannya sebagai ilmu silat yang diwariskan secara tertutup dan rahasia, jauh dari pandangan awam, pada masa Wangsa Chola, Chera, dan Pandya, Kalaripayattu saat ini justru menghadap ke arah mata angin sebaliknya. Setelah jatuhnya kedinastian, Kalaripayattu seperti tanggal giginya.
Kini ia dianalogikan sebagai burung phoenix, tak lagi singa garang. Kalaripayattu, seni bela diri klasik ini, menjelma sebagai rangkaian gerakan tarian–baik tradisional maupun kontemporer–dalam dunia pertunjukan. Ia dipertontonkan di hadapan khalayak, itulah yang terjadi pada tahun 1920-an ketika India Selatan mengalami geger budaya. Kalaripayattu pun diajarkan sebagai seni pertunjukan di Bangalore, di Kalari Academy of Performing Arts. Saya bertanya-tanya, apakah mungkin karena zaman peperangan sudah berlalu, lantas seni bela diri dirasa tak relevan lagi? Manusia saat ini tak perlu adu otot, yang penting rekreasi? Tentu saja ini pertanyaan stereotipikal yang belum saya temukan jawabannya.
Yang saya tahu, pemerintah India memang sedang melestarikan Kalaripayattu. Ia bahkan dipromosikan dalam beberapa film laris, salah satunya Asoka (2001) yang dibintangi Shahrukh Khan–ia beradu peran dengan Kareena Kapoor yang aduhai betul. Ini adalah film favorit saya karena bercerita tentang Kekaisaran Gupta dan sejarah agama Buddha di India, dan lagu-lagunya juga bagus. Saya baru tahu kalau gerakan silat mengggunakan pedang sambil melompat-lompat yang ia praktikkan dalam film itu adalah Kalaripayattu.
Ya, semoga, apabila saya berkesempatan menginjakkan kaki di Kerala, saya dapat menemukan jawaban yang saya cari.
Dari berbagai sumber.
Foto utama berasal dari sini.
P.S. Kalaripayattu ini juga mengingatkan saya pada Tari Caci, tari perang dari Manggarai Barat, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, yang menggunakan cambuk dan perisai. Mungkin tari ini juga mendapat pengaruh dari India. Tari ini akan saya bahas lagi kemudian.