Sebuah Renungan dari Bukit Bendera Sawai

“Dekat, setengah jam saja,” ujar Pak Ali, menjawab pertanyaan saya tentang waktu tempuh ke sebuah bukit yang berada di samping Penginapan Lisar Bahari di Sawai. Saya perkirakan paling tidak butuh waktu dua kali lipat.

“Kenapa namanya Bukit Bendera, Pak?” tanya saya lagi penasaran.

“Waktu naik ke sana orang-orang pasang bendera, jadi namanya dari situ,” jawabnya sekenanya.

Oh, jadi kalau yang naik ke sana ibu-ibu pakai daster, namanya Bukit Daster? simpul saya dalam hati.

Namun, untuk hampir semua perkataan Pak Ali, jangan begitu saja percaya seratus persen. Bukan perkara musyrik, melainkan keabsahannya. Sering kali Pak Ali menjawab atau menceritakan sesuatu, entah sengaja atau tidak, dengan alasan-alasan yang serba ajaib dan konyol.

Contohnya adalah nama Pulau Jodoh untuk sebuah pulau kecil di wilayah Sawai, yang ternyata karangan Pak Ali semata. Dari cuitan di Twitter, saya mendapat informasi bahwa nama asli pulau yang biasa menjadi tempat makan siang itu adalah Sapalewa. Nama “jodoh” dipakai karena Pak Ali pernah membawa sepasang turis asing yang tak saling kenal ke pulau itu, yang akhirnya menjadi kekasih sepulangnya.

Karena itu, ketika bapak berkulit hitam bertubuh tak terlalu tinggi ini bercerita tentang Bukit Bendera, saya mendengarkan dengan saksama. Waspada barangkali ada guyonan lagi yang terselip. Saya pun bertanya-tanya, mengapa orang Indonesia senang betul dengan kata “bendera” untuk menamai tempat-tempat yang mereka temukan. Saya juga pernah mendengar sebutan Bukit Bendera dan Pulau Bendera untuk nama suatu tempat, yang sayangnya saya lupa di mana.

***

 

Pukul sembilan pagi saya dan teman-teman sudah siap berangkat ke Bukit Bendera. Botol air sudah ditenteng, begitu pula kamera—katanya pemandangan dari Bukit Bendera sangat menakjubkan. Kami pun pamit pada Pak Ali, yang mengantar kepergian delapan belas anaknya dengan senyum jenaka. Seorang pemandu yang diutus Pak Ali akan mendampingi kami.

Rute menuju Bukit Bendera di Desa Sawai mudah saja, dari penginapan belok kanan sekitar lima menit akan terlihat jalan setapak menanjak ke bukit. Dari situlah jalur trekking dimulai.

Saya langsung terengah-engah di tanjakan pertama yang tak tinggi-tinggi amat. Begitulah kalau sudah lama tak berolahraga dan naik gunung. Namun, semangat saya terpompa ketika melihat teman saya, Mba Nana, menggendong anaknya Arka, yang berusia delapan belas bulan saat itu, sambil mendaki. Luar biasa memang kekuatan seorang ibu, ia mampu mendaki Bukit Bendera selama dua jam untuk naik dan turun.

Trekking ke Bukit Bendera sebenarnya mudah, tanjakan tak terlalu terjal, hanya ada beberapa jalur yang licin karena tumpukan dedaunan basah, akar yang menjulur di tanah, dan semak-semak. Sepanjang jalan, pepohonan menjulang yang mungkin berusia ratusan tahun membuat saya terpesona, apalagi teman saya si pecinta botani, Lolik. Berulang kali ia mengamati tumbuhan yang ada dan bertanya-tanya pada sang Bapak Pemandu. Tentunya, tumbuhan di bukit ini tidak boleh ditebang atau diambil karena termasuk dalam kawasan Taman Nasional Manusela yang dilindungi.

Pohon-pohon kakap dengan buahnya yang menguning pun menggoda saya untuk memetiknya. Tentu tak saya lakukan. Sebenarnya cukup sayang karena buah-buah itu dibiarkan menghitam dan busuk.

Sawai
Bebatuan di puncak Bukit Bendera
Setelah tiga puluh menit trekking dengan beberapa kali berhenti untuk minum dan memotret, laut biru terhampar di sisi kanan, menyeruak di antara akar-akar pohon yang bergelantung. Begitu mendekati puncak, jalan setapak yang dilewati berganti menjadi bebatuan kelabu tua yang serba tajam di setiap sisinya. Saya pun berhati-hati menapakkan kaki, kalau-kalau tersandung dan menghantam batu. Sinar matahari yang semakin terik membuat saya buru-buru ingin sampai. Setelah melompat-lompat kecil di antara bebatuan, saya tiba di puncak Bukit Bendera yang sejuk karena pepohonan.

Tidak ada bendera? komentar saya polos begitu sampai. Saya pikir benderanya masih tertancap di sana.

Sawai
Desa Sawai dilihat dari jalan menuju puncak

Sawai
Hamparan laut biru

Sawai
Seorang teman yang asyik memotret

Sawai
Pepohonan lebat di Bukit Bendera

Sawai
Bergembira di Bukit Bendera

Sawai
Mba Nana, Arka yang tertidur, dan Pman

Sawai
Memandangi Desa Sawai
Saya dan teman-teman kegirangan begitu melihat pemandangan yang terhampar tanpa batas. Desa Sawai bagaikan ditumpahi sirup berwarna toska. Pulau-pulau kecil berjejer di lautan yang biru pekat. Sungguh, perjuangan trekking menuju puncak ini tak sebanding dengan pemandangan yang tersuguh. Nama “bendera” pun rasanya sangat tepat menggambarkan keagungan bukit ini. Seagung bendera yang kita elu-elukan.

Saya pun membingkai keindahan Desa Sawai dari Bukit Bendera di dalam benak, lalu mengamatinya lekat-lekat. Berharap memori semacam ini dapat saya buka lagi setiap kali saya butuhkan. Memori tentang betapa indahnya negeri Indonesia. Tak perlu repot memasang sang Merah-Putih untuk menunjukkan betapa sepotong nirwana ini milik Indonesia. Tak perlu juga memacaknya di setiap puncak gunung di Indonesia yang kita daki. Nasionalisme tak perlu simbol.

Sawai
Pulau-pulau kecil di Sawai
Dan, rasa-rasanya renungan akan nasionalisme itu tak harus timbul hanya saat kita berjalan-jalan ke suatu tempat yang elok dan jauh. Tak perlu menempuh berjam-jam penerbangan dan pelayaran untuk menemukan kecintaan terhadap tanah air. Bagi beberapa orang, nasionalisme dapat lahir saat mereka mengunjungi museum tua, saat menyusuri jalan-jalan becek di pasar tradisional, saat mengantre bus Transjakarta di halte, saat melamun-lamun di dalam kereta api.

Dan, pada momen-momen seperti itu. Sekali lagi saya diingatkan bahwa, di balik semua kemelut yang terjadi di negeri ini, saya tak malang-malang amat lahir di Indonesia. Malah, patut bersyukur.

Dirgahayu Republik Indonesia! #RI70