Semarak Festival Danau Sentani 2015

“Kami grup Rebali Ayapo dari Kampung Ayapo,” ujar seorang pemuda berkulit hitam di hadapan saya.

Namanya Jonathan, disapa Johny, salah satu pemuda dari Kampung Ayapo di seberang Danau Sentani. Johny dan ketiga puluh temannya, laki-laki dan perempuan, sedang bersiap-siap untuk menampilkan Tari Ahohoi sebagai pembuka Festival Danau Sentani 2015.

Johny sudah beberapa kali mengikuti Festival Danau Sentani yang kini mencapai tahun kedelapan. Ia bersama kelompok tarinya sangat senang dapat berpartisipasi mempromosikan kesenian dan kebudayaan Sentani. Dengan senyum ramah, pemuda yang mengenakan rok jerami (kombou) dan ikat kepala yang dihiasi biji saga, biji jali, kerang, dan bulu kasuari ini, tak malu-malu untuk berpose saat saya memotretnya.

Bertempat di Pantai Khalkote, Sentani Timur, Kabupaten Jayapura, Papua, Festival Danau Sentani 2015 berlangsung selama lima hari, yaitu pada tanggal 19—23 Juni. Dengan tema “Budayaku Sejahteraku”, festival ini bertujuan agar masyarakat Sentani semakin melestarikan budaya yang mereka miliki, yang merupakan salah satu aset utama pariwisata Jayapura.

Seperti yang diungkapkan oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya saat meresmikan Festival Danau Sentani pada 20 Juni yang lalu, diharapkan festival ini dapat menggerakkan roda ekonomi dan berdampak positif terhadap pertumbuhan di berbagai bidang lainnya di wilayah Sentani, termasuk infrastruktur yang dibutuhkan.

Dua puluh empat grup ondoafi (kepala adat) dari empat distrik di sekitar Danau Sentani dan puluhan grup dari Kabupaten dan Kota Jayapura turut meramaikan festival. Tak ketinggalan Kabupaten Boven Digul, Asmat, Memberamo Raya, Yalimo, dan Sarmi. Total seratus grup tersebut akan mempersembahkan penampilan tari dan musik terbaiknya.

Tahun ini, ada kelompok tari dari suku terasing di pedalaman Sentani, yaitu Suku Elseng, yang baru pertama kali mengikuti Festival Danau Sentani. Pemuda-pemudi dari Kampung Binggun, Distrik Kemtuk, Kabupaten Jayapura ini sangat antusias mengikuti festival. Wajah dan tubuh mereka yang dicat merah dan hitam, dan alang-alang yang diikat pada kepala dan lengan mereka, terlihat mencolok di antara kelompok tari lainnya.

Sorak-sorai serta entakan kaki dan gerakan tari menggunakan tombak dan busur panah merupakan bagian dari Tari Sanggel. Tari yang biasanya mereka lakoni saat akan perang antarsuku atau saat cuaca tidak bersahabat, misalnya hujan besar, dengan tujuan agar dapat menciptakan keharmonisan antara alam dan manusia.

festival danau sentani
Kelompok tari dari Distrik Sentani Barat
festival danau sentani
Suku Elseng memamerkan panahnya
festival danau sentani
Salah satu kelompok tari yang mengikuti festival
festival danau sentani
Tari Isosolo di atas perahu yang dihias

Tari Perang di Atas Perahu

Ada begitu banyak tarian yang memeriahkan lima hari Festival Danau Sentani, tetapi salah satu yang dinantikan, dan selalu menjadi headline berbagai surat kabar setiap tahunnya, adalah tari perang di atas perahu yang ditampilkan pada hari kedua. Tari Isosolo atau Isolo.

Isosolo, menurut bahasa setempat, berasal dari kata iso dan solo. Iso berarti ‘bersuka cita dan menari mengungkapkan perasaan hati’ dan solo adalah ‘sekelompok orang dari berbagai usia.’ Jadi, Isosolo adalah tari yang mengekspresikan suka cita yang dibawakan oleh sekelompok orang. Para penari Isosolo pun meloncat-loncat sambil memainkan busur panah dan tombak, begitu pula yang masih kanak-kanak, untuk mengungkapkan kegembiraan.

Dari perahu adat yang sederhana dan dihiasi dedaunan serta rerumputan, mereka menepuk-nepuk air dengan tombak untuk menambah suasana gembira. Bunyi tifa, ikon Festival Danau Sentani 2015, pun bersahut-sahutan mengiringi tarian memukau yang berlatar belakang perbukitan Sentani yang menghijau.

Dari panggung saya terkesima menyaksikan gerakan serta nyanyian yang bergelora, memang cocok dijadikan penyemangat saat berperang. Namun, tari ini juga dapat ditampilkan untuk kesempatan lain. Saya dengar, Isosolo juga dapat ditarikan sebagai persembahan dari suatu desa kepada desa lainnya apabila mereka ingin melakukan pertukaran hasil bumi atau hasil kerajinan tangan.

 

Rekor MURI: Pelepasan Satu Juta Benih Ikan Nila

Setiap tahunnya, dalam rangkaian Festival Danau Sentani selalu diselipkan acara penghargaan meraih rekor MURI. Pada Festival Danau Sentani 2014, dua rekor MURI berhasil dipecahkan, yaitu membuat lukisan di atas kulit kayu sepanjang 100 meter dan membuat sempe (tempat mengolah tepung sagu menjadi papeda yang terbuat dari tanah liat) terbesar.

Nah, tahun ini rekor yang ditembus tidak berkaitan dengan kesenian, tetapi untuk kesejahteraan masyarakat Sentani. Mengamati berkurangnya populasi ikan endemis di Danau Sentani, yaitu ikan pelangi (Chilatherina sentaniensis), ikan pelangi merah (Glossolepis incisus), dan ikan gabus (Oxyeleotris heterodon), pemerintah berusaha turun tangan untuk mengatasinya.

Mengikuti kapal yang ditumpangi pihak kementerian dan media, saya berlabuh di Pulau Asei Besar untuk menyaksikan pelepasan satu juta benih ikan nila di Keramba Jaring Apung (KJA) Kampung Asei. Seremoni yang dipimpin oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya dan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Yembise ini tercatat dalam Rekor MURI. Ikan-ikan itu diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar serta menjadi mata pencaharian penduduk yang berprofesi sebagai nelayan.

festival danau sentani
Menteri Pariwisata Arief Yahya saat diwawancara media

Kerajinan Tangan dan Batu Akik Cycloops

Kita juga dapat menemukan berbagai kerajinan tangan dalam Festival Danau Sentani, seperti noken atau tas rajut yang terbuat dari kulit kayu dan pewarna alami, ikat kepala yang dihiasi bulu kasuari, lukisan kulit kayu, gerabah, dan lain-lain.

Untuk kerajinan tanah liat atau gerabah, penghasilnya adalah Kampung Abar, Distrik Ebungfauw, Sentani Tengah, sekitar 30 menit dari area festival dengan perahu motor. Hebatnya, Kampung Abar masih melestarikan cara tradisional untuk pembuatan gerabah, yaitu hanya menggunakan tangan, tanpa bantuan meja putar. Walaupun hasilnya cukup kasar, nilai budaya gerabah tersebut sangatlah tinggi.

Kampung Asei Besar juga memiliki kesenian warisan, yaitu lukisan kulit kayu. Kulit kayu terbuat dari batang pohon Khombouw yang dikuliti dan ditumbuk menjadi lembaran. Kemudian, pengrajin menggunakan kapur sirih, arang kayu atau jelaga, dan bata kapur merah untuk menghasilkan pewarna alami putih, hitam, dan merah. Motif-motif etnik pun digambar di atas lembaran kulit kayu.

Sayangnya, baik di Kampung Abar maupun Asei Besar, yang kerajinan tangannya turut dipamerkan di stand Festival Danau Sentani, tak ada atribut atau spanduk di kampung tersebut yang menandakan partisipasi mereka. Padahal, hal itu akan menambah daya tarik wisatawan.

Selain itu, festival kali ini turut meramaikan tren batu akik yang menyerang seluruh Nusantara. Ternyata, Papua juga memiliki batu akik khas yang terkenal hingga luar daerah, yaitu batu akik Cycloops. Batu akik ini berjenis kuarsa kristal dan biasanya berwarna hijau tua. Batu akik Cycloops, sesuai asal namanya, banyak ditemukan di Desa Ormu yang terletak di lereng Pegunungan Cycloops.

“Biasanya batu ini kita ambil dari sungai, ada juga yang dari bukit,” ujar salah seorang pedagang saat saya membeli batu akik Cycloops untuk oleh-oleh. Selain batu Cycloops hijau, batu Cycloops merah yang bernama Red Pacific juga menjadi kebanggaan Papua. Kabarnya, nama Red Pacific ini berasal dari Presiden Jokowi.

Di area pameran, kita dapat membeli batu akik mentah berupa bongkahan atau yang sudah menjadi batu cincin mengilap. Harganya mulai dari lima puluh ribu hingga jutaan rupiah, tergantung ukuran dan jenis serta kualitas batu. Batu akik Red Borneo, Pancawarna, Black Jade, Serpentine, dan Kecubung juga turut menghiasi area pameran. Komedian Tessy pasti akan sangat senang kalau ke sini.

festival danau sentani
Penjual noken di Dermaga Khalkote

Setelah puas menyaksikan beragam tarian dan membeli kerajinan tangan, saya menyusuri dermaga menembus arus pengunjung. Saya terkejut menyaksikan betapa ramainya pengunjung yang datang, yang mayoritas berasal dari Sentani dan Jayapura. Ada yang duduk-duduk di dermaga, ada yang berbelanja, ada yang berfoto-foto. Semua tampak begitu gembira.

Semoga ketika saya kembali lagi suatu hari, Festival Danau Sentani akan semakin semarak dan pariwisatanya semakin berkembang. Saya pun memandang danau yang tenang dan perbukitan yang menghijau, “Sampai jumpa lagi Danau Sentani!”

 

Tips:

  • Festival Danau Sentani biasanya berlangsung pada pertengahan bulan Juni, belilah tiket pesawat pada minggu-minggu itu jika ingin menyaksikannya.
  • Cuaca di sekitar area festival tidak menentu, biasanya hujan akan turun walaupun langit sangat cerah dan panas, jadi siapkan topi dan payung.
  • Makanan dan minuman banyak dijual di area festival, tak perlu takut lapar atau kesulitan mencari makanan.
  • Sediakan uang lebih jika ingin membeli kerajinan tangan dan pernak-pernik lainnya, jangan lupa pula naik perahu untuk berkeliling danau, harganya sekitar Rp10.000-25.000/orang.
  • Untuk akomodasi di Sentani, dapat menginap di Hotel Grand Allison, tak jauh dari bandara dan sekitar lima belas menit dengan kendaraan ke tempat festival.

 

As published in Maxim Indonesia magazine Oktober 2015 Issues.