Saya terjaga oleh dering alarm telepon genggam yang bertubi-tubi pada pukul 05.00 WIT, yang sama sekali tak mampu membangunkan pemiliknya. Karena posisi kamar berada paling depan, saya dapat mendengar teman-teman lain yang bercengkerama di teras yang menghadap laut. Saya pun keluar, tak lupa menenteng kamera, seperti ritual pagi sebelumnya. Subuh di Desa Sawai sangat hening dan damai. Sebuah perahu terlihat meluncur perlahan, bagaikan tak menyentuh air sama sekali karena tiadanya riak.
Waktu terasa berjalan lambat saat saya duduk menikmati pemandangan laut yang masih kelabu, dengan teh hangat di tangan. Ketika akhirnya sinar matahari membuat deretan kamar apung berkilau keemasan, saya dan beberapa teman memutuskan untuk berjalan-jalan ke dalam desa.
Senin pagi itu saya sangat beruntung dapat melihat beragam aktivitas warga yang baru bangun, yang membuat saya merasa akrab. Ada anak-anak yang sedang menggosok gigi di sungai kecil–yang kami sebut Little Venice karena pada malam hari para pemuda berkumpul di sini dengan perahu masing-masing, ada ibu-ibu yang mencuci beras. Sungai yang lebih mirip kolam renang ini merupakan sumber air bersih di Desa Sawai, yang berasal dari bebatuan di bawah tebing yang berbatasan dengan hutan.
Desa Sawai terletak di Kecamatan Seram Utara, Kabupaten Maluku Tenggara. Dengan luas sekitar 15 hektar dan penduduk sekitar 4.000 jiwa, desa ini memiliki potensi alam yang lengkap. Jika ingin menikmati laut dan terumbu karang, kita bisa langsung melompat dari depan kamar. Jika ingin merasakan tantangan, bisa trekking ke Bukit Bendera untuk menikmati panorama Sawai dan pulau-pulau sekitarnya dari ketinggian.
Selain itu, Sawai juga merupakan desa penyangga bagi Taman Nasional Manusela yang memiliki luas 189.000 hektar. Karena merupakan taman nasional, hutan beserta satwa di area ini tentu saja dilindungi kelestariannya. Warga Sawai pun tidak pernah mengambil kayu dari kawasan ini.
***
Mata saya menangkap tulisan “Kawasan Germany” saat berhenti di tengah jalan. Saya pun bertanya pada para ibu yang menjajakan kue dan donat. Ternyata warga Desa Sawai adalah pecinta olahraga sepak bola. Mereka memiliki negara sepak bola favorit masing-masing. Jadi, jangan heran bila melihat rumah-rumah yang dicat menyerupai warna bendera negara Jerman, Spanyol, dan Brazil. Ya, kecintaan masyarakat Indonesia Timur terhadap olahraga ini memang tak diragukan lagi.
Ketika kaki melangkah ke sebuah lapangan di tengah desa, yang didampingi oleh masjid besar dan bangunan administrasi desa serta sebuah sekolah, SD Negeri Sawai, saya tersenyum melihat hiruk pikuk anak-anak yang hendak pergi sekolah. Ada yang berseragam, ada pula yang mengenakan celana olahraga dengan kaus bebas. Mereka membawa sapu lidi, ember berisi air, dan pisau kecil.
Awalnya saya terkejut melihat beberapa anak laki-laki bermain dengan menodongkan pisau kecil, ternyata pisau itu digunakan untuk memangkas rumput di sekolah. Senin pagi itu anak-anak SD Negeri Sawai membersihkan ruang kelas dan halaman sekolah. Rutinitas yang mengingatkan saya pada masa sekolah dasar puluhan tahun silam, saat saya membawa taplak meja dan sapu ijuk ke sekolah pada hari piket.
Begitulah. Senin pagi di Desa Sawai sungguh berbeda, lucu sekaligus menenangkan. Terkenang keramahan ibu-ibu yang menyapa saat kami lewat, senyum riang anak kecil yang melambai-lambaikan tangan. Saya tak benci-benci amat dengan Senin di Jakarta, yang identik dengan hari kerja nan sibuk dan jalan yang macet. Namun, Senin pagi di Sawai rasa-rasanya akan selalu menerbitkan rindu.
Sambil menyusuri jalan pulang ke guesthouse, saya meloncat-loncat kecil menghindari kotoran kambing yang bertebaran sementara si kambing sedang asyik berjemur. Selamat pagi dari Sawai!