Siapa sangka setelah berulang kali diberi pertanyaan destinasi apakah yang belum saya kunjungi di Indonesia dan saya menjawab muram, “Kalimantan,” kesempatan manis itu tiba. Sebuah pesan masuk ketika saya sibuk mengisi perut bersama kawan-kawan di Bangkok. Penawaran untuk menyaksikan festival adat di Kutai Kartanagara, sebuah kabupaten di Provinsi Kalimantan Timur. Saya menjawab iya, tentunya.
Akhirnya saya ke Kalimantan!
Perjalanan ini bertepatan pula dengan Festival Erau yang berlangsung di Tenggarong, ibu kota Kabupaten Kutai Kartanagara, yang lebih dikenal sebagai Erau Adat Kutai and International Folk and Arts Festival (EIFAF) 2017. Dalam petualangan lima hari ini saya turut mengajak Jo si Ransel Usang, penasaran karena mengenal sebatas di dunia maya. Perjumpaan dengan kawan-kawan baru di Kalimantan Timur pun bikin hati makin senang.
Karena itu, untuk tulisan pertama dari trip #PesonaKutaiKartangara ini saya ingin membagi hal yang ringan-ringan dan senang-senang saja, misalnya destinasi kece apa saja yang cocok untuk foto-foto ala Instagram. Bagaimanapun, saya dan kawan-kawan mesti mempromosikan destinasi melalui media sosial, dan yang paling hits saat ini tentunya Instagram.
Jadi, jangan lewatkan 5 spot Instagrammable ini kalau kamu berkunjung ke Kutai Kartanagara, ya.
1. Pulau Kumala
Sebenarnya pulau ini merupakan delta yang membentang di Sungai Mahakam, di sisi barat daya Tenggarong. Pulau ini dibangun tahun 2000 oleh mantan bupati yang terkena kasus korupsi, yang menyebabkan kondisinya terbengkalai kini. Pun begitu, kita bisa melihat jejak-jejak perpaduan taman rekreasi modern dan tradisional di sini. Ada Sky Tower setinggi 100 meter dan permainan kereta gantung, juga rumah adat Kalimantan Timur yang bernama Rumah Lamin.
Pulau Kumala dapat ditempuh sekitar tiga jam (ya, sejauh itu jaraknya) dari Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman Sepinggan (ya, sepanjang itu namanya) di Balikpapan, dan akan melewati Jembatan Kutai Kartanagara yang sempat runtuh pada 2011 dan kini berdiri kokoh dengan warna kuning Golkarnya yang mencolok.
Jadi, mau foto di mana di Pulau Kumala? Ya, mana lagi kalau bukan di jembatannya yang bernama Repo-Repo. Yang berarti ‘gembok.’ Di Jembatan Repo-Repo pengunjung diperbolehkan memasang gembok cinta di pagar, lalu berkhayal berada di Ponts des Arts, Paris. Gembok bisa dibeli di dekat pintu masuk, dan jangan lupa beli tiket masuk Pulau Kumala seharga tujuh ribu.
2. Danau Melintang
Sebenarnya tujuan ke danau yang bersisian dengan Sungai Mahakam ini adalah mencari pesut. Sejenis lumba-luma air tawar yang merupakan hewan endemis Mahakam. Saya tak pernah melihat pesut di habitatnya, kalau di Ancol rasanya pernah. Danau Melintang bersebelahan dengan Danau Semayang, keduanya berada di tepi Mahakam dan merupakan destinasi yang kami lewati dengan perahu dari Kota Bangun ke Muara Muntai, masih di Kabupaten Kutai Kartanagara.
Nama “melintang”, atau kenohan dalam bahasa Kutai, dipakai karena bentuk danau yang melintang di hadapan desa terapung di sana. Adalah Desa Melintang yang kami singgahi pula hari itu. Desa Melintang terkenal dengan budi daya ikan untuk industri ikan asin, juga ternak kerbau kalang atau kerbau rawa. Kalang adalah istilah setempat untuk kandang tak beratap.
Selama ini saya hanya mengetahui kisah kerbau rawa dari Danau Panggang, Kalimantan Selatan, ternyata di Kalimantan Timur juga ada. Di Desa Melintang, petak-petak kalang dibangun di atas rawa. Saat kami singgah tengah hari, kerbau rawa yang bertanduk lebih panjang asyik memamah rumput di kalang. Sayang, tak bisa menyaksikan mereka beraktivitas di rawa, jadilah foto-foto saja di sisi kandang yang ternyata cukup Instagrammable.
3. Bukit Bangkirai
Berada di Kecamatan Samboja, Bukit Bangkirai adalah kawasan wisata alam yang dikelola PT Inhutani Unit I Balikpapan. Objek wisata ini terkenal sebagai konservasi hutan hujan tropis, tak heran pohon besar seperti Bangkirai, Ulin, dan Jelutung tumbuh subur. Pencinta flora mesti berkunjung ke sini karena bisa mengadopsi pohon pula, dengan biaya dua juta rupiah untuk tahun pertama dan satu juta lima ratus ribu untuk tahun berikutnya. Biaya ini tentunya digunakan untuk perawatan pohon; pemupukan, penyiangan gulma, dan sebagainya. Nantinya nama pengadopsi bisa dipasang di papan nama pohonnya.
Saya ingin melihat Anggrek Hitam di sini, tapi sayangnya bukan musim mekar. Lantas beralih ke Canopy Bridge yang terkenal di Bukit Bangkirai. Tiket masuk Bukit Bangkirai enam ribu, sementara Canopy Bridge dua puluh lima ribu rupiah. Jembatan Tajuk bikinan Amerika Serikat pada 1998 ini membentang sepanjang 64 meter, menghubungkan lima Pohon Bangkirai dengan ketinggian 30 meter. Ia yang pertama di Indonesia dan percaya tidak, proses pembangunannya sebulan saja.
Bincang-bincang dengan petugas, jembatan ini tiap hari diperiksa keamanannya dan hanya boleh dilewati satu orang. Jadi mesti sabar bergantian kalau ingin berfoto di jembatan yang selalu bergoyang ditiup angin dan membuat dengkul gemetar ini.
4. Batu Dinding
Masih dari Samboja, objek wisata alam ini berada di kawasan Taman Hutan Raya Soeharto atau Bukit Soeharto atau Bukit Merdeka menurut penuturan warga. Dari jalan utama menuju Desa Merdeka yang berada di Jalan Soekarno-Hatta kilometer 45, masih harus menempuh 8 kilometer menuju bukitnya.
Karena itu, carilah tukang ojek di sekitar, biasanya warga bersedia jadi ojek dadakan yang mengantar hingga kaki bukit yang ditandai papan petunjuk nama kawasan hutan. Lanjutkan perjalanan sekitar 200 meter dan menanjak hingga puncak bukit. Di sanalah Batu Dinding, yang disebut-sebut bagai Tembok China buatan alam, berada.
Kondisi Batu Dinding yang dipenuhi batu-batu tinggi di jalur yang tak terlalu lebar sudah dipasangi tali pembatas. Sangat aman bagi pengunjung yang datang untuk bersantai di bawah pohon menikmati pemandangan dan berfoto-foto. Lebih baik datang jelang matahari terbit karena pemandangannya dijamin menawan.
5. Pantai Tanjung Harapan
Pantai ini tak jauh dari Batu Dinding dan sering disebut pula Pantai Tanah Merah. Mungkin karena benar tanahnya merah, dan ditumbuhi pohon cemara yang rimbun menjulang. Tadinya saya mengira pantai ini biasa saja, ternyata tidak. Hutan cemara yang berada tepat di pinggir pantai membuat suasana sejuk dan menyediakan ruang yang luas bagi pengunjung yang ingin piknik atau berkemah.
Sayangnya, terlihat banyak sampah bertebaran dan kurangnya tempat pembuangan sampah. Saat main ke sini sore-sore, air laut sedang surut hingga garis pantai terlihat jauh sekali dan akar pohon bakau menyembul di sana-sini. Beberapa orang terlihat asyik mencari kerang dan memancing.
Angin sepoi-sepoi dan tempat tidur gantung yang dipasang Frisca, saya pun tak melewatkan kesempatan untuk bersantai memandang kapal yang bagai teronggok di kejauhan. Beberapa kawan asyik berfoto di antara pepohon yang dirambati sinar matahari. Fotonya nanti saja, saya masih betah berlama-lama.