Berbeda dengan sebelumnya, perjalanan The Gateway of Java Kaping Gangsal pada 2024 ini bertema seni dan budaya. Karenanya, untuk pertama kalinya, Ambarrukmo sebagai penyelenggara mengajak kami melipir dari Yogyakarta menuju Surakarta.
Lantas, pengalaman seni dan budaya apa yang saya (dan teman-teman, tentunya) dapatkan saat berkunjung ke Yogyakarta dan Surakarta? Mari simak cerita berikutnya.
Bicara Surakarta dan Yogyakarta adalah bicara Mataram Islam. Keduanya bagaikan kakak dan adik yang senantiasa mewariskan kekayaan sejarah dan budaya. Jawa, utamanya.
Berikut ini destinasi utama kami di Surakarta dan Yogyakarta yang pantas untuk diikuti oleh para pecinta budaya Indonesia.
Kasunanan Surakarta Hadiningrat
Di Surakarta, saya berkunjung ke Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Jujur, ini kali pertama saya memasuki Kasunanan karena sebelumnya hanya sempat berfoto-foto di gerbangnya yang cantik membiru.
Disambut oleh Gusti Raden Ajeng Putri Purnamaningrum atau yang biasa disapa Gusti Putri, kami diajak belajar tentang jarik dan wiru. Barangkali masyarakat Jawa sudah terbiasa mendengar kedua kata tersebut, namun tidak bagi saya yang berasal dari Sumatera.
Wiru adalah lipatan kecil pada salah satu sisi jarik yang memiliki jumlah tertentu dan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Apabila perempuan memakai wiru ke arah kanan, maka laki-laki sebaliknya ke arah kiri.
Sementara itu, jarik adalah kain tradisional Jawa yang biasanya memiliki motif batik dengan berbagai corak. Di sini kami juga mendapat pengetahuan tentang beragam makna corak yang dipakai di Kasunanan.
Untuk wiru sendiri, amat mudah dibuat dengan tangan dan biasanya jumlah lipatan harus ganjil. Semakin banyak lipatan, semakin banyak pula berkah yang diharapkan didapat. Contoh, wiru berjumlah tiga belas akan lebih bermakna ketimbang yang lima.
Beres membuat wiru–saya berhasil bikin tujuh, maklum pemula, kami diajari memakai jarik dan stagen untuk mengencangkan busana kami pagi itu. Senang sekali akhirnya saya berkesempatan melihat bagaimana cara memakai jarik yang benar.
Usai urusan kain-berkain, kami sempat diajak berkeliling Kasunanan dan saya terpukau karena ini kali pertama melihat isinya. Yang menarik perhatian adalah kehadiran menara bertingkat lima yang ternyata menyimpan sejarah amat kuat terhadap perjalanan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Tak cukup puas menjelajahi Kasunanan, tetapi kami sudah harus melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya yang belakangan ini gencar mempromosikan kegiatan seni dan budaya.
Pura Mangkunegaran
Siapa yang hari begini tidak tahu Pura Mangkunegaran?
Ini kunjungan saya yang kesekian ke Pura karena memang senang sekali mengikuti kegiatan seni dan budaya yang diprakarsai Gusti Bhre dan Gusti Sura, sahabat saya. Tahun lalu saya juga menyaksikan pentas Sudamala di Pura yang diproduseri oleh Nicholas Saputra dan Happy Salma.
Kali ini tujuan utamanya adalah Pracima Tuin, taman di Pura Mangkunagaran yang terkenal dengan keindahan arsitektur bangunan dan lansekap tamannya yang sekilas mengingatkan saya pada taman di Versailles, Prancis. Memang, arsitektur Pracima Tuin merupakan ide Mangkunegara V yang kemudian direalisasikan oleh Gusti Bhre alias Mangkunegara X.
Spesialnya lagi, saat ini masih berlangsung pameran seni kolaborasi dengan Tumurun Private Museum yang bertajuk Surakusuma di Pracima Tuin. Sambil menikmati senja yang menghiasi langit Pracima, kita bisa menjelajahi instalasi-instalasi seni sarat makna di sini.
Senangnya, kami juga menikmati Afternoon Tea di Pracimaloka dan dijamu oleh Beksan Ballet. Penampilan balet kontemporer asuhan Mangkunagaran. Malamnya, ditutup dengan santap ala Sultan di Pracimasana.
Surakarta memang memesona, pun kami mesti kembali ke Yogyakarta karena kami akan mencoba sebuah program baru di Keraton.
Karaton Ngayogyakarta HadiningratÂ
Berpindah ke Karaton Ngayogyakarta, beruntung kami juga berkesempatan menjadi peserta pertama untuk Abdi Dalem Experience. Sebuah program wisata baru yang diprakarsai Gusti Kanjeng Ratu Bendoro. Bagi pengunjung Karaton, semestinya sudah terbiasa melihat kehadiran Abdi Dalem yang biasanya berseliweran ataupun bersila di selasar Karaton.
Yang belum tentu semua tahu, bagaimana seluk beluk menjadi seorang Abdi Dalem?
Abdi Dalem, yang biasanya dipanggil kanca, yang berarti teman atau saudara, merupakan orang yang memiliki tugas dan kepangkatan masing-masing di Keraton.
Hal pertama yang kami pelajari untuk menjadi Abdi Dalem adalah pengangge atau busana. Untuk Abdi Dalem Jaler atau laki-laki, busana yang dikenakan adalah pranakan, yang secara harfiah berarti “rahim” atau “kandungan” yang menandai cara pemakaiannya. Dimasukkan ke bagian kepala terlebih dahulu atau dislobokke.
Pranakan terbuan dari kain lurik berwarna biru tua dan hitam yang dikombinasikan dengan corak garis berjumlah tiga dan empat. Pola ini diciptakan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I (1755-1792) dan disebut telupat, singkatan dari telu-papat. Pranakan akan dilengkapi dengan blangkon dan jarik.
Untuk Abdi Dalem Estri atau perempuan memakai tangkeban, semacam kebaya tanpa bef (kutubaru) yang sering disebut kebaya Kartinian. Tangkeban wajib berwarna hitam polos atau motif kembang batu dan tidak diperbolehkan berbahan brokat.
Tangkeban akan dilengkapi oleh jarik dan riasan rambut rikma ukel tekuk. Disebut juga sanggul tekuk, gaya penataan rambut ini merupalan khas Karaton Ngayogyakarta. Kemudian, perempuan juga tidak diperbolehkan memakai perhiasan, kecuali subang atau giwang, gelang, dan jam tangan.
Setelah berbusana lengkap, kami diantar dengan becak menuju Keraton. Dengan agak berdebar karena ini pengalaman pertama, saya memasuki Keraton tanpa alas kaki, seperti aturan wajib bagi Abdi Dalem. Sambil menapaki pasir yang mengalasi Keraton, saya dan teman-teman yang sudah berbaris sesuai Urut Kacang atau urutan usia pun langsung mempraktikkan kewajiban Abdi Dalem.
Kami belajar unggah-ungguh atau tatra krama, mulai dari cara sembah, bersila, etika makan dan minum, cara berjalan dan berjongkok, dan banyak lagi. Kami juga diajak mengintip pekerjaan para Abdi Dalem di Laboratorium Konservasi Keraton Yogyakarta.
Salah satu yang paling menarik adalah saya juga belajar nyorek batik atau menjiplak batik dengan cara tradisional–yang memang masih dipraktikkan para pebatik di Yogyakarta. Sederhana saja, motif batik dijiplak di atas meja kaca yang di bawahnya disinari oleh lampu. Sungguh pengalaman yang berkesan karena kami juga berkesempatan berdialog dengan Abdi Dalem tentang serba-serbi kehidupan mererka.
Pura Pakualaman
Masih di Yogyakarta, belum lengkap rasanya perjalanan budaya ini tanpa mengunjungi Pura Pakualaman. Yang hari itu membuka pintunya khusus untuk kami. Setelah tur singkat mengelilingi Pura yang kaya sejarah dan memesona kecantikan arsitekturnya, kami kemudian diboyong ke Sasana Jemparingan Kadipaten Pakualaman.
Jemparingan, sudah pernah dengar? Ini sebenarnya kali ketiga atau keempat saya melakukan jemparingan. sebuah tradisi memanah Jawa yang menggunakan busur dan anak panah yang terbuat dari bambu pilihan yang sudah dijemur secara alami secara berbulan-bulan kemudian dibentuk sesuai standarnya.
Uniknya lagi, ketika melakukan jemparingan harus duduk bersila dan memanah dengan menyamping. Tentunya posisi duduk ini, selain menunjukkan kesantunan orang Jawa, menuntuk konsentrasi dan fokus lebih agar anak panah dapat mengenai sasaran.
Karena untuk sementara Pura Pakualaman tidak dibuka untuk umum, apabila teman-teman ingin mencoba jemparingan dapat mengecek ke Hotel Royal Ambarrukmo yang memiliki jadwal kegiatan tersebut.
Hotel Royal Ambarrukmo
Selain jemparingan, ada lagi yang tak kalah seru dan cuma bisa kalian temukan di Hotel Royal Ambarrukmo. Tentu penasaran bukna kenapa Royal Ambarrukmo menjadi destinasi wisata di Yogyakarta? Ya, karena Royal Ambarrukmo selama bertahun-tahun senantiasa melestarikan dan mempromosikan budaya Jawa.
Berikut tradisi budaya Jawa yang cuma bisa kalian temukan di Royal Ambarrukmo.
Patehan
Ritual minum teh ala Keraton ini begitu sakral sehingga hanya Royal Ambarrukmo yang mendapa izin dari Keraton untuk melangsungkannya di area hotel yang dulunya merupakan Pendopo Keraton yang ditempati oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VII.
Ritual ini sederhana saja, kita akan dijamu dengan teh dan penganan khas Keraton yang nikmat. Oh, tentunya apabila ingin mengikuti Patehan, bisa juga menyewa kebaya tradisional supaya bisa lebih menyatu dengan kegiatan.
Ladosan Dhahar
Secara harfiah berarti ritual makan yang dilayani ala Sultan. Uniknya, hidangan  dibawa oleh pramusaji dalam wadah kayu yang disebut jodhang yang dipikul di pundak. Kemudian, arak-arakan ini dipimpin oleh seorang punggawa yang berjalan sambil memegang payung kuning kerajaan (songsong).
Acara santap siap ini makin spesial karena diadakan di area Bale Kambang, yang dulunya merupakan tempat duduk favorit Hamengku Buwomo VII. Kapan lagi bukan bisa merasakan pengalaman menjadi keluarga Sultan dan menyantap hidangan Sultan?
Bagi pengunjung umum, bisa melakukan reservasi untuk Ladosan Dhahar dengan biaya Rp550.000++ per orang dan minimal diikuti 6 orang. Biaya tersebut meliputi sewa pakaian adat Jawa.
Tentunya hidangan yang berjumlah 11 ini juga merupakan favorit Hamengku Buwono VII-IX, antara lain Bir Jawa, Roti Jok Semur Ayam, Ledre Pisang, Salad Mentimun, Nasi Pandan Wangi, Dendeng Age, Sapitan Lidah, Zwaart Zuur (Bebek Asam Hitam), Lombok Kethok Sandung Lamur, Setup Pakis Taji, dan Rondo Topo dengan Saus Karamel.
Perpaduan hidangan tradisional yang menggiurkan bukan? Sungguh pengalaman budaya yang tak boleh dilewatkan di Yogyakarta.
Bagaimana, kira-kira kegiatan apa yang paling ingin kalian coba dari semuanya? Tenang saja, kalau ingin tahu detail kegiatan budaya apa yang menarik di Surakarta dan Yogyakarta, kalian bisa mengakses itinerary The Gateway of Java di link berikut ini. Selamat mengulik-ulik!