Saya tak pernah menyangka akan kembali lagi ke Labuan Bajo tepat satu tahun kemudian. Pada bulan November, hanya berlainan tanggal. Perjumpaan dengan perbukitan cokelat yang dihiasi pepohon lontar menjelang pesawat mendarat di Bandar Udara Internasional Komodo membuat nostalgia dengan Labuan Bajo terbayarkan.
Pun, kali ini saya tidak membahas kerinduan pada sinar matahari dan rerumput kering ataupun pasir merah jambu di Taman Nasional Komodo.
Saya terkenang pada seorang penari berkain songke yang melayang di udara dengan pecutnya. Ditingkah langit biru yang menaungi Desa Liang Ndara di Kecamatan Mbeliling, Kabupaten Manggarai Barat. Sepersekian menit berkendara dengan sepeda motor dari Pelabuhan Labuan Bajo.
Saya menyaksikannya, sang Paki, bagai kuda terbang yang siap menyerang musuh paling bebuyutan. Sementara, lawannya menangkis dengan memegang perisai dan busur. Bunyi pecutan yang nyaring seperti mengentak kesadaran para penonton yang terkesima.
Ini bukanlah pertarungan, melainkan tarian perang khas Manggarai. Tari Caci namanya; melambangkan keperkasaan dan kepahlawanan. Tari ini dibawakan oleh dua kelompok yang terdiri dari delapan penari laki-laki, yang memiliki peran sebagai penyerang dan penangkis. Paki, penari penyerang, bersenjata pecut rotan yang ujungnya terbuat dari lilitan kulit kerbau yang sudah dikeringkan (lempa) ataupun lidi enau yang masih hijau (pori).
Ta’ang, penari yang menangkis serangan, memegang perisai bundar (nggiling) yang juga terbuat dari kulit kerbau serta semacam busur (agang atau tereng) yang terbuat dari bambu dan rotan yang dibentuk melengkung. Kemudian, mereka juga mengenakan topeng (panggal) berbentuk tanduk kerbau yang dihiasi bulu dan kain warna-warni. Ini menyimbolkan rang atau karisma dan kekuatan. Separuh wajah di bawah hidung dibalut kain sebagai pelindung. Di bawah dagu dipasang tubi rapa atau manik-manik perlambang kebesaran dan keagungan orang Manggarai.
Memang, atraksi dalam Tari Caci bertujuan menghantam lawan. Tak heran, apabila serangan diperbolehkan mengenai tubuh bagian atas yang tak berlapis benang. Tubuh bawah, yang tak boleh diserang, dilapis celana panjang putih yang melambangkan kepolosan dan ketulusan hati dan dipadu songke (kain songket Manggarai) sepanjang lutut, perlambang kesantunan. Pada bagian pinggang penari dipasang hiasan rotan yang dipilin rambut ekor kuda (lalong denki) dan dilengkapi lonceng besar (nggorong) yang bergelantungan.
Tiap gerakan dan entakan kaki serta tabuhan gendang dan gong menciptakan bunyi yang selaras dengan senandung penari.
Ya, selain mengandalkan tubuh yang liat dan kuat untuk menyerang (lime), penari Caci semestinya memiliki keahlian seni gerak (lomes) dan vokal (bokak). Sebelum atraksi dimulai, Tari Caci diawali dengan pentas Tari Danding atau Tandak Manggarai yang dibawakan laki-laki dan perempuan. Lirik-lirik yang disenandungkan menjadi penggugah semangat Paki dan Ta’ang yang bergoyang menirukan gerak gemulai kuda sebelum bertarung.
Paki dan Ta’ang yang beradu dalam sekali pecutan akan melompat ke udara dan saya menyaksikannya bagai adegan lambat dalam sebuah film. Pecutan itu tak hanya mengincar tubuh lawan, tetapi juga mata. Dan apabila mata Ta’ang terkena, ia dianggap kalah (beke) dan keduanya mundur untuk digantikan sepasang penari lainnya.
Sesungguhnya, filosofi Tari Caci adalah memperkuat persaudaraan dan kasih sayang. Luka yang didapat dalam tarian ini tak dijadikan penyakit hati, tetapi kebanggaan dari laki-laki yang jantan dan berjiwa satria laksana kuda. Pecutan adalah ungkapan rasa hormat dan pembersihan jiwa dari dendam dan prasangka.
Nama Caci berasal dari dua kata, ca yang berarti ‘satu’ dan ci yang berarti ‘uji’. Jadi, caci adalah uji ketangkasan satu lawan satu. Konon, tarian ini di berawal dari legenda kakak-beradik yang menggembala kerbau di sebuah padang rumput. Tiba-tiba, sang adik terjerumus ke lubang dan tak bisa keluar. Kakak yang kebingungan pun menyembelih kerbaunya dan memakai kulitnya untuk menarik sang adik.
Keduanya selamat dan Tari Caci diciptakan untuk merayakan kasih sayang mereka. Kini ia dipertunjukkan pada hari-hari besar atau perayaan adat, seperti perayaan musim panen (hang woja), ritual tahun baru (penti), pembukaan lahan baru, dan penyambutan tamu.
Di Liang Ndara, saya merasa disambut hangat kembali untuk kedua kalinya. Dikalungi selendang hitam khas Manggarai, saya diajak bertamu ke salah satu rumah. Sang tetua memulai upacara dengan nyanyian dan tamu harus memberikan selembar uang dan sopi, arak khas Manggarai, kemudian disuguhkan. Sebuah ritual sambutan tuan rumah terhadap tamunya.
Saya masih ingat betul wajah-wajah ramah para tetua yang bersimpuh di hadapan saya. Mereka adalah pelestari tradisi Tari Caci yang bersahaja. Sementara para pria bersenandung, perempuan menyiapkan kopi dengan gula merah di teras. Kopi panas dan gula yang gurih membuat hari kian semarak.
Kopi dan Tari Caci adalah nostalgia yang memikat dari Manggarai. Saya merasa seperti melakukan reuni hangat ke Liang Ndara.
Tak lama, para perempuan berkostum merah jambu menyiapkan gong dan alat musik lainnya, para pria mulai keluar dan berkumpul di halaman berumput. Tabuhan gong dan senandung lagu adat seperti memanggil saya untuk beranjak dari kursi kayu yang menghadap ke bentangan alam hijau Manggarai. Saya pun bersiap-siap dengan kamera, tak mau ketinggalan dengan atraksi kuda jantan yang perkasa.
Dan ketika langit sedang biru-birunya, ketika lonceng bergemirincing riuh, saya kembali terkesima menyaksikan Paki dan Ta’ang yang bagai menari di udara.