Ini adalah perjalanan tak terduga. Sebuah undangan dari Wisata Thailand tiba ketika saya menikmati hari-hari terakhir yang melankolis di New York. Ajakan untuk mengunjungi kembali Negeri Gajah Putih. Yang serta-merta diiyakan walaupun saya masih mengucek-ngucek mata di apartemen kawan di Queens. Kapan lagi bisa ke Krabi dan destinasi-destinasi lain di Thailand Selatan yang kebetulan belum pernah saya sambangi? Terlebih, trip bertajuk Amazing Luxperience itu ditujukan bagi blogger dan awak media dari ASEAN. Dua pulau terlewati sekali dayung, menjajal kemewahan pariwisata Thailand dan bertemu jaringan baru.
Maka, di antara jet lag dan kesibukan yang membayangi kepulangan dari New York, saya menyiapkan diri untuk perjalanan delapan hari ke Thailand. Dari Indonesia, saya ditemani penulis dari majalah Asia Dreams. Kami baru berkenalan saat tiba di Bandara Suvarnabhumi, Bangkok. Disambut eksklusif oleh staf Park Hyatt Bangkok, kami digiring ke dalam BMW berfasilitas mewah menuju hotel.
Baru tiba saja sudah dimanjakan begini, duh.
Rehat Sejenak di Park Hyatt Bangkok
Saya dan rombongan dijadwalkan terbang ke Krabi esok paginya, sayang memang cuma semalam di Park Hyatt di Central Embassy. Berada di lantai 20, kamar tipe Park King yang saya tempati luasnya sekitar 48 meter persegi dan menghadap jalan utama yang dibarisi gedung-gedung bertingkat. Karena cuma punya waktu luang dua jam sebelum makan malam, saya menikmati fasilitas kamar yang paripurna.
Mulai dari bathtub dengan jendela kaca, peralatan mandi dari Le Labo (kali ini aroma Bergamote 22!), hingga pengeras suara Bose. Keasyikan mendengar musik keras-keras dan menikmati camilan, tahu-tahu malam larut. Saya pun turun ke The Penthouse Grill, restoran yang terkenal dengan wagyunya, dan saya malah memesan tuna.
Semua peserta trip sudah duduk manis, malam itu baru beberapa nama yang berhasil diingat. Shenny, DJ dan Lifestyle Blogger dari Singapura di sisi kanan saya. Lin, Blogger Singapura, di depan saya. Di sisi kiri ada staf dari Tourism Authority of Thailand (TAT) yang bermarkas di Bangkok. Sementara, kawan setanah air, Steven, heboh dengan anggur putih entah gelas keberapanya. Malam itu berjalan santai, dengan jamuan eksklusif steik dan tuna, juga anggur merah dan putih yang bertubi-tubi.
Kami punya rencana seru malam itu berkat Steven. Teman kuliahnya, orang Bangkok, datang dan mengajaknya ke pasar malam. Saya dan Shenny mendaftarkan diri. Mengingat jadwal yang padat, ini satu-satunya kesempatan untuk belanja-belanja sedikit (dompet sudah kempes sepulang dari USA!) di Bangkok.
Bermalam Minggu di Rod Fai Train Night Market Srinakarin
Masih serupa pasar malam yang saya kunjungi tahun sebelumnya, kali ini kami berdesak-desakan di Rod Fai Train Night Market Srinakarin yang buka dari Kamis hingga Minggu, sejak matahari tenggelam hingga tengah malam. Berhubung malam Minggu, butuh satu jam hingga kami tiba di pasar malam. Sebenarnya barang-barang yang dijual seragam saja, mulai dari fesyen, aksesori, hingga makanan dan pernak-pernik lainnya.
Kalau dihitung-hitung barang di sini cukup murah. Saya membeli tujuh pasang kaus kaki seharga seratus baht dan dua potong baju saja. Godaan untuk membeli kacamata dan sepatu Vans dan pernak-pernik lainnya berhasil dibendung. Shenny tidak demikian, sepanjang jalan ia berkata, “I haven’t spent a lot of money, lah.”
Malam pertama di Thailand kaki saya sudah mau patah.
Kami baru tiba di hotel sekitar pukul satu malam, dengan ongkos taksi paling murah yang pernah saya temukan selama berpergian ke luar negeri. Kelopak mata sudah berat, namun saya tak mampu menahan godaan dari bathtub. Jadilah malam itu saya menyalakan keran, menggeser meja dan menghubungkan musik ke Bose, memboyong sepinggan buah klengkeng dan rambutan, lalu berendam melemaskan otot.
Singgah di Koh Klang, Desa Nelayan Muslim, di Tepi Krabi Town
Sebuah monumen kepiting menyambut van kami di Krabi Town. Cuaca terik, langit amat biru, dan sinar matahari yang menyilaukan membuat semua terlihat gelap. Beberapa kawan mulai berfoto dengan kepiting tersebut. Yin, pemandu wisata kami menuturkan bahwa kepiting bakau itu merupakan simbol Krabi.
Ya, walaupun Krabi secara harfiah berarti ‘pedang’. Bukan ‘kepiting.’
Saya memandangi muara tempat Sungai Krabi dan Laut Andaman bertemu; hutan bakau mendominasi, pemuda-pemuda memancing di air. Perahu berbaris di dermaga yang dibuat dengan sangat rapi. Tukang perahu bersahut-sahutan menawarkan jasa. Sepuluh menit berlayar dari Dermaga Chaofa, tibalah kami di Koh Klang.
Pulau Klang (lebih dikenal sebagai Koh Klang Village) memiliki luas 26 kilometer persegi dan terdiri dari empat dusun. Penduduknya sekitar 5.000 orang dan mayoritas beragama Islam. Tak heran, di sini kita dapat melihat banyak masjid dan perempuan berjilbab.
Penduduk Koh Klang Village mencari nafkah sebagai nelayan, juga petani musiman, yang menanam padi saat musim penghujan tiba. Selain itu, mereka juga berkebun pohon karet dan kelapa sawit. Jangan bayangkan Koh Klang dihiasi pantai berpasir putih. Pulau yang berada di muara laut tentu berair keruh karena fungsinya sebagai rumah bakau dan pelindung daratan dari abrasi. Namun, asyiknya kita dapat melihat berbagai spesies burung, kera, dan ular bakau.
Kegiatan pertama di Koh Klang Village adalah mengunjungi tempat pembuatan batik. Perlu saya tambahkan, selain melaut dan bertani, warga Koh Klang juga mengembangkan pariwisata. Sederhana saja, turis dapat menjajal moda transportasi tradisional mirip becak motor, Tuk-tuk, untuk menjelajahi desa. Perbukitan, rawa-rawa, hutan karet, padang rumput dan kerbau, rumah panggung. Mata akan dimanjakan oleh panorama menghijau. Lima belas menit menikmati sepoian angin, rombongan tiba di tujuan.
Ini adalah pusat kerajinan batik di Koh Klang Village. Lho, Thailand juga punya batik?
Tradisi batik diturunkan secara lisan. Konon, penduduk pertama Koh Klang adalah pelaut dari Indonesia, yang kemudian mengembangkan tradisi kampung halamannya. Selain itu, karena berada di wilayah selatan yang berbatasan dengan Malaysia, Provinsi Krabi menyerap banyak budaya Melayu. Hal itu tercermin pada penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa ibu di beberapa wilayah dan agama Islam yang dianut, juga budaya dan gaya hidup.
Pembuatan batik di Koh Klang serupa yang saya kenal. Teknik cap juga dipakai untuk mempercepat proses membatik. Corak yang dipilih beragam, utamanya flora dan hewan cantik seperti kupu-kupu dan burung. Warnanya lebih meriah, namun bahan yang digunakan sintetis, bukan pewarna alami.
Kemudian, kami diajak mewarnai corak batik yang sudah digambar pada selembar sapu tangan. Kawan-kawan dari Singapura, Vietnam, dan Tiongkok bersemangat sekali memadukan warna ke corak yang mereka pilih. Saya sudah beberapa kali mengikuti kelas batik dan lucu juga karena bisa mencobanya di negara lain.
Menikmati Hidangan Laut di Restoran Terapung Baan Ma-Ying
Ini wajib dicoba saat mampir ke Koh Klang. Tempatnya mungkin sederhana, dengan meja dan kursi kayu di atas rumah terapung yang bergoyang tiap kali perahu melintas. Namun, menu hidangan laut yang disajikan sungguh nikmat. Dengan nasi putih yang berkualitas, sajian ikan kakap goreng, gonggong rebus, telur dadar khas Thailand, dan tumis sayur daun melinjo yang segar; rasanya tak ingin berhenti menyendok semuanya.
Tentu saja, bintang utamanya adalah Keng Som. Sup kari ikan asam-pedas yang sangat kuat cita rasanya. Perpaduan asam dari kari dan pedas cabai dijamin bakal bikin mata melek dan semangat membara-bara. Pedasnya membuat saya terbatuk-batuk namun ketagihan, untunglah Tom Yum Goong hadir sebagai penawar. Ah, saya suka sekali kuliner Thailand.
Penampilan restoran ini tak semewah restoran di tengah kota, tapi yang terpenting adalah rasa dan kesegaran bahan-bahannya. Perlu diingat, harus tahan pedas karena makanan di sini lumayan pedas. Siapkan banyak air. Dengan pemandangan hutan bakau yang menghijau, perhatikan pula kera yang banyak berlompatan di dahan, santap sore di Baan Ma-Ying terasa makin istimewa.
Memanjakan Diri di The ShellSea, Penginapan di Tepi Pantai Krabi
The ShellSea adalah penginapan mewah tepi pantai yang menawarkan vila-vila pribadi nan cantik dan luas untuk liburan keluarga. Dengan interior dan dekorasi bernuansa laut dan kulit kerang, tak heran warna putih mendominasi tiap kamar. Tak hanya itu, anyaman bambu yang terdapat pada pintu kamar mandi dan dinding menambah cantik nuansa kamar di tepi pantai.
Bathtub tentu tersedia, dengan jendela lebar menghadap kolam renang dan lautan. Ruang duduk dengan sofa lebar dan jamuan minuman dan buah tropis, rasanya bakal betah bermalas-malasan di kamar. Di balkon juga terdapat sepasang kursi yang menggoda untuk santai sore.
Kenyamanan kamar sebanding pula dengan fasilitas lain di The Shellsea. Ada dua kolam renang tersedia, satu di depan kamar saya, satunya lagi kolam renang keluarga ( ada kolam anak-anak) di dekat restoran. Tentu saya menyempatkan berendam di depan kamar sementara kawan yang lain entah ke mana. Mungkin keasyikan leyeh-leyeh di ranjang ekstra besar.
Pukul tujuh malam senandung musik mulai terdengar, seorang penyanyi perempuan bergaun biru menyambut kami untuk santap mewah. Lapangan rumput dengan dekorasi meja panjang dan bebungaan segar, alunan lagu-lagu romantis, dan anggur merah dan putih yang mengalir terus. Rasanya seperti menghadiri pesta pernikahan.
Suasananya begitu sempurna untuk pernikahan intim. Saya dan kawan-kawan pun bercanda, barangkali ada yang ingin sekalian merayakan pernikahannya. Hidangan steik dan laut, juga menu khas Thailand menggempur malam berangin itu. Manajer The Shellsea turut memeriahkan makan malam, juga kawan-kawan dari TAT yang kemudian memulai tradisi memberikan Suk Chai, boneka maskot TAT, tiap malam sepanjang trip.
Orang pertama yang beruntung adalah Steven, berkat idenya mengajak saya dan Shenny untuk main ke pasar malam pada hari pertama tiba di Bangkok. Karena membolos hidangan pencuci mulut malam itu, ia malah dapat boneka. Sungguh, perjalanan hari-hari berikutnya di Thailand Selatan tampaknya akan penuh dengan kejutan.