Ponsel berdenting saat pesan masuk bertubi-tubi, saya masih mengunyah roti selai di restoran sebuah hotel di Yogyakarta. Pesan dibuka. Seorang kawan memberi tahu bahwa ada maskapai penerbangan asing yang menawarkan tiket promo ke London. Saya membuka aplikasi Traveloka seperti yang ia anjurkan.
Jantung mencelus rasanya saat melihat harga yang tertera di layar. Tiket promo dari Kuala Lumpur menuju London hanya berharga sembilan ratus ribu rupiah. Saya mengeklik “Sort by Lowest Price”. Sembilan ratus ribu rupiah muncul lagi di posisi teratas. Bonus bagasi tiga puluh kilogram pula.
Sometimes, the best things happen unexpectedly…
Apakah benar? Entah perjalanan mendadak dengan persiapan ala kadar tergolong demikian.
Saya dan Tama asyik menyantap roti lapis tuna yang dibeli di toserba di depan hostel. Ditemani sebotol soda yang harganya lebih murah ketimbang air mineral. Kami berjongkok di kursi kayu karena kedinginan. Ini malam yang membekukan di London. Namun, tak sabar rasanya menanti petualangan lebih dari ini esok hari.
Yang ternyata diawali dengan urusan bagasi.
“Bagaimana ini, tas kita kayaknya kegedean,” rajuk saya pada Tama saat mengantre check-in di Bandara London Gatwick.
Saya mendengar turis di depan diminta membayar kelebihan bagasi, ukuran kopernya melebihi aturan maskapai penerbangan. Saya panik melirik tas gunung 45 liter yang dibawa Tama. Bentuknya tak keruan karena bawaan sebulan perjalanan dijejalkan di sana. Bahkan, tas punggung berisi kamera dan perlengkapan yang saya panggul cukup babon.
Sebuah pesan teks dari Traveloka masuk ke ponsel sebulan sebelum perjalanan. Penerbangan ke London diubah jadwalnya ke tengah malam. Apa mau dikata, padahal saya sudah memesan tiket pesawat dari Jakarta ke Kuala Lumpur untuk tanggal 13 Februari 2017. Lebih awal sehari untuk mengantisipasi penerbangan esok paginya.
Saya langsung melirik aplikasi Traveloka. Ada fitur Easy Reschedule di halaman “Flight Itinerary,” di bawah keterangan “Manage Booking.” Pilihan saya cuma reschedule atau menghanguskan tiket karena sistem uang kembali tidak berlaku untuk tiket promo. Namun, kalaupun ganti jadwal, bagaimana dengan biaya selisih tiket? Jangan-jangan lebih besar dari harga tiket aslinya? Niat diurungkan.
Sejak awal saya menganggap tiket promo ke London adalah sebuah pertanda. Petunjuk untuk mewujudkan impian saya dan Tama untuk menyambangi Negeri Api dan Es di utara Bumi. Yang kemudian menjadi prioritas adalah mencari tiket pulang dari London ke Jakarta untuk pengurusan visa Inggris. Tiket promo yang kami beli hanya berlaku sekali jalan.
“Kita sudah menunggu tiga jam, mungkin Auroranya tak mau muncul karena langit berawan,” ujar saya membangunkan Tama.
Mobil kami diparkir di jalan setapak di sebuah desa antah berantah di tepi laut. Berdasarkan laman Wedur, Aurora Borealis harusnya muncul di sekitar sini. Saya memandangi langit hingga terkantuk-kantuk, jam mobil menerakan pukul satu malam. Perjalanan pulang ke rumah makan waktu dua jam, Tama pasti kelelahan. Malam terakhir di Islandia mesti ditutup tanpa cahaya hijau neon yang menari-nari di langit.
Perburuan Aurora sudah terjadi sejak malam-malam sebelumnya. Pun ia tak kunjung hadir, mungkin karena badai salju dan angin yang terus menerjang Islandia minggu-minggu belakangan. Saat menunggu Aurora di dekat Air Terjun Seljalandfoss, mobil sempat tergelincir karena Tama mengantuk dan saya telanjur terlelap. Kami sama-sama tersentak saat mobil oleng dan Tama buru-buru meluruskan setir. Kami pulang dengan tegang, memandangi badai salju tanpa berkedip sedikit pun.
Perjalanan impian kami harus disudahi. Besok sudah semestinyalah beranjak.
Saya ingat perkataan Tante Nana, kerabat yang kami tumpangi rumahnya, “Kalau lagi beruntung, di depan rumah juga bisa kelihatan Aurora, kok.”
Mungkin kami belum berjodoh dengan Aurora Borealis.
Saya agak kecewa ketika Tama menyalakan mesin dan mobil beranjak dari jalan berbatu. Kami kembali menyusuri jalan utama di Pantai Tenggara Islandia. Senandung lagu tahun ’90-an dari radio lokal membuat perjalanan menembus malam kian sendu. Tiada mobil lain yang melintas pada dini hari di musim dingin yang sadis di Islandia.
Saya menatap jendela dengan gundah. Tama menghibur dengan janji akan membawa saya kembali ke negeri ini untuk menyaksikan Aurora. Saya mengangguk sambil membayangkan betapa proses menuju hari ini amat panjang dan tak terduga. Apakah ada hal tak terduga lainnya yang akan menanti kami?
“Itu Aurora, ya?” senggol saya pada Tama yang menyetir. Di langit terlihat cahaya berwarna samar.
“Masa? Coba difoto.”
Mobil dihentikan di tengah jalan. Tidak ada bahu jalan tempat mobil melipir. Tama meraih kamera dan menjepret ke arah gunung salju di sebelah saya. Kami langsung melihat hasilnya di layar. Semburat hijau melayang-layang di langit.
“Iya. Ini Aurora!” teriak saya kegirangan hingga berjongkok di jok mobil.
Setelah cemas menunggu empat belas hari, visa Inggris kami disetujui. Berkat Traveloka, kami langsung membeli tiket pulang dari London saat harga pas di kantong muncul. Kali ini jatuh pada maskapai nasional Vietnam. Namun, ada satu visa lagi yang mesti diurus. Visa Schengen untuk Islandia, dan jadwal penerbangan tinggal dua minggu. Hari terasa berjalan amat lambat, hingga visa rampung lima hari sebelum keberangkatan.
Semua begitu mendadak dan mendesak. Ya, kami tak pernah mengira perjalanan ke Islandia terkabul secepat ini. Beberapa bulan sebelumnya kami sibuk berkutat dengan harga tiket pesawat ke Eropa. Kebingungan memilih negara untuk bertolak ke Islandia. Inginnya Denmark—yang dekat dengan Islandia, tapi tiketnya mahal.
Tiket promo ke London adalah kejutan tak terduga. Tiket yang membuat kami #JadiBisa ke Islandia secepat ini. Padahal ini kali pertama saya membeli tiket pesawat internasional melalui Traveloka, sejak tahun 2014 saya hanya berlangganan tiket domestik.
Sungguh, perjalanan ini merupakan rangkaian hal-hal tak terduga yang memiliki efek tak terbayangkan. Mengingat kejutan-kejutan yang mengantarkan kami ke Islandia, hingga kenaasan yang berulang kali muncul di tengah jalan, bikin saya senyum-senyum sendiri. Untunglah bagasi kami pun lolos check-in saat terbang ke Islandia.
Pada hari terakhir di Islandia, saya bersikeras mengajak Tama ke wilayah barat untuk menikmati kolam air panas alami yang berada di tepi pantai. Saya tak pernah puas, padahal malamnya sudah mengharu biru melihat Aurora. Terbayang hangatnya berendam di antara tumpukan salju dan memandang laut lepas. Mengandalkan peta online, kami meluncur ke daerah yang masih asing. Hingga terlihat palang tempat yang dituju dan belokan jalan kecil menurun yang tertimbun salju.
“Mobil kita gak mungkin bisa lewat,” ujar Tama.
“Bisalah, kemarin juga bisa di Jökulsárlón,” saya mencari-cari alasan.
Mobil menuruni jalan bersalju tebal, saya tetap optimis. Kami tiba di depan sebuah kabin dan Tama hendak memarkir mobil ketika tiba-tiba…
Ban belakang mobil amblas di salju. Saya turun dengan sigap dan mendorong mobil sementara Tama mengendalikan setir. Tak bergerak selangkah pun. Saya pun menghampiri dan mengetuk kabin di sana. Seorang perempuan berambut pirang keluar dan saya menceritakan kenaasan kami. Juga alasan datang ke sana.
Ia menjelaskan bahwa jalan ke kolam air panas tertimbun salju. Tak bisa dilewati.
Ban berhasil kembali ke jalan setelah didorong tiga orang. Kami memutuskan pulang karena sesungguhnya kami harus mengejar pesawat dalam dua jam. Saya berterima kasih dan buru-buru masuk ke mobil. Namun, kami panik lagi melihat tanjakan menuju jalan raya.
Dan benar saja, mobil tak kuat menanjak. Saya turun lagi, berusaha memandu agar ban keluar dari es, tapi malah makin terperosok. Untunglah, sebuah mobil mengekor di belakang. Mahasiswa asal Kanada yang tadi membantu kami cengar-cengir.
“I knew this would happen,” ujarnya sambil tertawa. Ia bersiul memanggil temannya. Tiga belas orang Kanada; satu laki-laki dan dua belas perempuan berbondong-bondong menghampiri. Sebagian keluar dari mobil, sebagian dari kabin.
Kami sudah duduk di kursi pesawat Atlantic Airways dengan tujuan Faroe Islands. Setelah bermacam drama tak terduga di Islandia, kami bisa tenang sejenak. Mungkin karena berawal dari tiket tak terduga, semestinya saya siap dengan segala kejutan dalam perjalanan ini.
Dari balik jendela, terlihat gugusan pulau berselimut salju. Pramugari menghampiri dengan sekaleng soda, pesawat harusnya mendarat sebentar lagi.
“Do you hear what the pilot says?” tanyanya amat ramah.
“No, Mam,” saya memang tidak memperhatikan.
“We can’t land right now because of the strong wind, we will wait for 30 minutes or we will continue the flight to Stavanger.”
Saya masih menelaah perkataannya hingga ia mendekat kembali tiga puluh menit kemudian.
“We’re going to Norway,” jelasnya sambil tersenyum.
Tama menatap saya dengan ekspresi bingung bercampur gembira.
Entah apa lagi yang akan menanti kami di sana.