Tentang Rumah dengan Pekarangan Luas di Hokkaido

Every day is a journey and the journey itself is home.

-Matsuo Basho

Saya selalu memimpikan sebuah rumah dengan pekarangan luas, boleh di depan atau belakang atau samping, yang bisa saya tanami dengan segala rupa pohon dan bunga dan rumput. Di depannya mungkin akan saya tanam sebuah pohon sawo–sebab ia tak terlalu raksasa seperti pohon mangga, lalu pohon sakura merah jambu dan putih, dan di bawahnya mungkin cocok untuk bebungaan. Apa saja boleh, yang penting berwarna-warni. Rumputnya tentu mesti rumput jepang yang halus bagai permadani. Dan di belakang, sebaiknya untuk tanaman apotek hidup saja, macam jahe dan kunyit dan temulawak, untuk menambah-nambah kadar kesehatan.

Agak serampangan memang, tetapi semacam itulah tata rumah yang saya inginkan. Ya, walaupun saat ini masih menumpang di rumah orang tua yang pada kenyataannya tak punya halaman melainkan pot-pot bunga di atas parit. Tama, tentu saja tahu tentang impian saya terhadap sebuah rumah. Ia pasti sudah bosan mendengar kicauan saya tentang rumah ini bagus-rumah itu bagus setiap kali kami melewati sudut Jakarta. Saya begitu mudah terpesona pada rumah–lebih tepatnya rumah orang lain–yang punya pekarangan luas.

Kami tentu saja berniat memilikinya suatu hari. Rumah dengan pekarangan luas. Tak harus spesifik di suatu kota, saya tak masalah di mana.

Ketika rencana perjalanan dadakan kami ke Hokkaido tercapai akhir Januari lalu, saya begitu gembira. Nama Hokkaido, dan ibu kotanya Sapporo, pertama kali saya temui pada komik Doraemon puluhan tahun silam. Alkisah Suneo memamerkan liburan mewahnya pada Nobita. “Aku makan ramen Sapporo yang paling terkenal,” ujarnya memanas-manasi Nobita. Saya lupa kelanjutannya, mungkin Nobita minta alat pembuat ramen Sapporo instan pada Doraemon atau minta Pintu Ke Mana Saja.

hokkaido
Rumah tertimbun salju
hokkaido
Sungai pun membeku
hokkaido
Rumah putih mungil
hokkaido
Rumah petani
hokkaido
Mau rumah kayu ini!

Sebagai pulau terbesar kedua di Jepang dan pulau paling utara, Hokkaido, yang juga merangkap nama prefektur, memang terkenal sebagai destinasi impian yang mahal. Beberapa orang Jepang yang saya kenal pun belum pernah ke sana ketika saya tanya. Atau mungkin juga mereka memang tidak sempat bertamasya. Meskipun begitu, urusan biaya tentunya bisa disiasati dengan berbagai cara.

Karena letak geografisnya, Hokkaido memang tak berkembang semeriah wilayah lainnya di Jepang. Kota-kotanya kalem-kalem saja, hanya Sapporo yang semarak, dan beberapa kota pelabuhannya di selatan dan timur. Jika kita menuju wilayah tengah Hokkaido, yang dihiasi pegunungan vulkanik dan beragam taman nasional yang cantik, terdapat sebuah desa yang dikenal sebagai desa tercantik di Hokkaido. Biei namanya.

Biei dapat dijangkau dengan mudah dari Asahikawa, sekitar satu jam menaiki kereta. Nah, di situlah asyiknya. Di sepanjang perjalanan menuju Biei, saya kembali membeo mau rumah ini-mau rumah itu saat menyaksikan deretan rumah bercat pastel dengan pekarangan luas. Tentu jangan bandingkan rumah-rumah pedesaan tersebut dengan di Indonesia–sungguh berbeda. Ia mesti dibikin tahan dingin dan gempa–banyak gunung vulkanik di Hokkaido, dan tetap memikirkan estetika. Ada yang kotak-kotak dan segitiga, ada yang dilengkapi garasi mungil dan lumbung, ada yang memiliki cerobong asap!

Dan ketika melihat rumah-rumah bertanah lapang itu saya tak habis pikir, kenapa orang Tokyo mau bersempit-sempitan? Ya, mungkin jawabnya memang tak seenteng itu. Semua tahu, Hokkaido adalah negeri yang dingin, dengan cuaca ekstrem yang mengharuskan penduduknya lebih sering mendekam di rumah. Toko-toko tak buka sampai malam. Hampir tak ada satu orang pun berjalan begitu senja tiba. Kami pun sempat terheran-heran dengan betapa sepinya desa ini.

hokkaido
Rumah loteng yang cantik
hokkaido
Sepeda mini
hokkaido
Pintu lapis kaca untuk menghalangi udara dingin
hokkaido
Bertahan di tengah salju
hokkaido
Rumah kuning yang manis
hokkaido
Dinding hijau mint
hokkaido
Ada cerobong asap!
hokkaido
Dan salju pun turun…

Ya, jika kau berkunjung ke Hokkaido pada musim dingin, apalah tujuannya kalau bukan untuk berpuas-puas menikmati salju?

Lahan pertanian Biei yang pada musim semi ditanami bebungaan dan kentang, kini putih seluruh. Seperti dunia Ratu Putih. Akan tetapi, untuk bocah yang gila salju seperti saya, Biei adalah dunia fantasi. Saya rela-rela saja disuruh tinggal di Biei, apalagi jika diberi rumah dengan pekarangan luas yang bisa ditanami kentang. Pun begitu, sebagaimana perjalanan adalah sebuah rumah, saya kemudian menemukan rumah saya ada di setiap sudut di Hokkaido. Saya akan selalu pulang ke rumah. Dan Tama, ya, dia hanya bisa geleng-geleng menatap jendela kereta di samping saya.