Tentang Seorang Kawan dari Moyo

“Ki, teman saya ditipu sama kenalanmu, nih.”

Kalimat itu menyadarkan saya dari lamunan. Di hadapan saya seorang kawan mengernyit menunggu tanggapan. Kami sedang minum kopi di salah satu kedai kopi di pusat Jakarta.

“Siapa maksudmu?”

“R, pemandumu di Moyo itu.”

Ia pun bercerita bahwa temannya kena tipu saat naik kapal umum bersama R dari Pelabuhan Muara Kali ke Labuhan Aji di Pulau Moyo, Sumbawa Besar. Ia diminta membayar seratus ribu rupiah, padahal setahu pria yang membaca tulisan di blog saya itu, ongkosnya dua puluh lima ribu.

Moyo. Mungkin namanya bagai begitu asing bagi beberapa. Pertama mendengarnya pun, saya mengira pulau ini tidak berada di Indonesia. Mungkin di sekitar Amerika Selatan sana. Pulau Moyo barangkali ada benarnya lebih dikenal oleh turis asing. Konon, Putri Diana, Edwin van der Sar, Mick Jagger, dan Maria Sharapova pernah menyambanginya.

Saya baru mencari tahu lebih banyak tentang Moyo setelah direktur kantor lama saya memamerkan foto liburannya. Foto di sebuah air terjun dengan kolam berundak berwarna biru-kehijauan. Oh, Moyo ada di Sumbawa, pikir saya bagai mendapat wahyu waktu itu.

Padahal, semua berkat Google.

ohelterskelter.com moyo
Dusun Labuhan Aji, Moyo
ohelterskelter.com moyo
Anak-anak bermain di pantai

Pulau yang berpenduduk 1.944 jiwa (Sensus 2010) ini memiliki luas 32.044,86 hektar. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan RI No.308/KTPs-11/1986, sebagian Pulau Moyo dijadikan Taman Wisata Alam Laut (6.000 hektar) dan Taman Buru (22.250 hektar) di bawah pengendalian Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Wilayah II Sumbawa.

Saya memboyong ibu saya ke Sumbawa setahun kemudian. Ia gemar bermain di laut, kami serupa. Jalur darat dari Lombok ke Sumbawa ditempuh, lalu naik feri menuju Pelabuhan Poto Tano. Sebenarnya bisa saja langsung terbang ke Sumbawa, dengan pesawat dari Bandara Internasional Lombok di Praya (Lombok Tengah) ke Bandara Sultan Kaharuddin di Sumbawa Besar. Tapi, saya ingin mampir ke Pulau Kenawa di Poto Tano.

Pun apa daya, rencana berkemah di pulau tak berpenghuni di barat Sumbawa ini batal karena cuaca buruk. Ibu saya gemetar menghadapi badai di tengah pulau dan perahu yang kami sewa datang menyelamatkan. Jadilah kami menginap di rumah sang tukang perahu, menghabiskan malam menonton ajang pencarian bakat dangdut di televisi.

Esoknya cerah, setelah puas menjelajahi Gili Balu, kami menunggu bus serupa Metro Mini yang bertujuan keSumbawa Besar. Tiga jam ditempuh, melewati pura-pura kecil di antara padang rumput dan bukit tandus. Wilayah barat Sumbawa memang didominasi pendatang dari Bali. Yang saya dengar baru-baru saja mengalami konflik dengan warga Sumbawa Besar. Ada polisi asal Bali yang berkelahi dengan warga setempat karena urusan perempuan.

Saya tiba di Sumbawa Besar sekitar pukul empat sore, memutuskan menginap dulu karena kapal umum ke Moyo hanya berlayar pagi hari. Malam itu, saya dan ibu saya menyusuri jalan di depan bandara, mencari warung di antara gelap dan lengangnya malam. Kota ini tidur terlalu dini.

Pukul delapan esok paginya, kami meluncur dengan ojek menuju pelabuhan. Ada dua pelabuhan tujuan Moyo; Muara Kali untuk kapal umum dan Labuhan Badas untuk kapal sewaan. Sayangnya, saat ke Muara Kali hari Selasa itu, tak ada kapal yang berangkat ke Moyo. Kami putus asa, menyewa kapal butuh biaya berkali-kali lipat, yang tak saya perhitungkan.

Lalu seorang pemuda menghampiri kami yang duduk di warung. R, ia memperkenalkan diri. Ia menawarkan naik kapal karyawan Amanwana Resort, yang berangkat setiap hari pukul satu siang untuk mengantar karyawan dan membawa barang kebutuhan hotel. Amanwana Resort adalah satu-satunya resor di Moyo—direktur saya menginap di sana. Kami pun menuruti R.

Kapal umum dari Muara Kali berlabuh di Labuhan Aji, sementara kapal yang saya tumpangi berlabuh di dermaga Amanwana Resort yang berjarak sekitar 9 km dari Dusun Labuhan Aji. Setelah pengalaman janggal, berada di antara karyawan resor yang keheranan memandang saya dan ibu saya, kami tiba di Moyo disambut oleh kerumunan monyet.

ohelterskelter.com pulau moyo
Dermaga Amanwana
ohelterskelter.com pulau moyo
Jalan terhalang pohon tumbang
ohelterskelter.com moyo sumbawa
Air Terjun Diwu Mbai kala petang
ohelterskelter.com moyo
Siapa berani?

R meminta kami menunggu. Ia menghampiri temannya, karyawan Amanwana. Ternyata ia meminta tumpangan ke Labuhan Aji. Jadilah kami bertiga menumpang sepeda motor karyawan yang hendak pulang. Perjalanan menuju Labuhan Aji bagai rute penuh bahaya dalam olahraga sepeda motor ekstrem. Jalan di tengah hutan yang berbatu dan tanah yang mengebul membuat jantung saya melompat-lompat. Saya harus turun beberapa kali karena turunan curam atau terhalang pohon yang tumbang.

Di tengah perjalanan saya sempat melihat papan bertuliskan “Cycling Track”. Ini adalah jalur sepeda untuk tamu Amanwana. Kami kemudian berpapasan dengan penduduk yang membawa obor berasap. Mereka mencari madu di pohon, jelas R. Madu putih adalah hasil alam andalan Sumbawa.

Setelah hampir tiga puluh menit “berjoget tanpa musik”, istilah warga setempat untuk menyebut perjalanan naik motor yang penuh rintangan dan membuat badan bergoyang-goyang, kami tiba di Labuhan Aji. Pak Suhardi, sang Kepala Desa, menyambut di teras rumahnya. Tawanya sesekali lepas bercerita tentang joget tanpa musik. Ia kemudian mengantarkan kami ke homestay di depan pantai. Saya merasa bagai tamu kehormatan.

Setelah menaruh tas dan rehat tak berapa lama, R mengajak ke Air Terjun Diwu Mbai di Dusun Brang Rea. Ia pun mengambil motor di rumah pamannya, yang berada di belakang homestay. Ia sempat berceloteh punya banyak saudara di sini, pantas saja setiap orang menyapanya. Dan ia bekerja sebagai staf Puskesmas di dusun ini. Rumah ayahnya ada di Muara Kali. Ibunya berdagang beras di Bekasi, ceritanya belakangan. “Ibu saya cantik seperti bule, kata orang-orang. Saya belum pernah bertemu dengannya.” Orang tua R berpisah semenjak ia kecil.

Wajahnya sendu saat kami tiba di Air Terjun Diwu Mbai. Suasana petang itu sepi, hanya ada kami bertiga. R asyik mengobrol dengan ibu saya sementara saya merendam kaki yang pegal. R seperti memiliki ketertarikan terhadap ibu saya, atau barangkali terhadap sosok ibu.

Seorang anak kecil datang dan langsung menarik tali dari pohon. Ia melompat ke sungai di bawah yang tingginya sekitar tiga meter. Hari semakin gelap, sinar matahari menerobos dari balik rimbun pepohonan. Kami menyudahi mandi sore itu.
ohelterskelter.com moyo
Mata Jitu

Air Terjun yang konon lebih cantik adalah Mata Jitu di Dusun Brang Kua. Jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari Dusun Labuhan Aji. Kita bisa berjalan kaki atau naik ojek ke sana. Sama seperti rute dari dermaga Amanwana ke Dusun Labuhan Aji, tanah berbatu menghiasi perjalanan. Debu tebal yang berkepul karena membuat saya terbatuk-batuk. Jangan harap bisa melihat jalan beraspal di Moyo, motor saja tak berpelat.

Air Terjun Mata Jitu termasuk dalam Taman Buru Pulau Moyo, jadi tidak heran bila berpapasan dengan ular, biawak, monyet, dan beragam burung bersuara merdu.

Saya pun terpukau begitu melihat Air Terjun Mata Jitu. Ia tak terlalu tinggi, tetapi di bawahnya terdapat tujuh kolam yang terbentuk secara alami seperti terasering karena adanya endapan kapur. Airnya jernih dan berwarna biru-kehijauan. Ia sempat populer disebut Queen Waterfall karena Putri Diana pernah berendam di sini saat berlibur tahun 1993 silam.

ohelterskelter.com moyo

ohelterskelter.com moyo

Saya pun loncat ke kolam dangkal di bawah. Tubuh gigil seketika namun rasanya enggan beranjak. R berteriak memanggil. Katanya masih ada kolam yang lebih indah lagi di bawah. Saya bangkit, ibu saya mengikuti setelah asyik berenang kegirangan. Setelah menuruni jalur di pinggir aliran Mata Jitu, terlihat sebuah kolam di tengah hutan. Hijau dan hening. Tak mampu berkata-kata menyaksikannya.

Hari semakin petang dan gelap merambat, kami harus pulang. Dengan berat hati saya meninggalkan Mata Jitu. Malamnya kami menyantap ikan segar di teras homestay yang menghadap laut. Sambil menikmati senja yang luruh bak lautan logam. Listrik sudah menyala, suara televisi terdengar dari rumah sebelah. Seperti penanda bahwa listrik di Moyo, yang hanya menyala pukul enam sore hingga enam pagi, telah kembali.

Malam itu saya mengobrol banyak bersama R, memandang bintang di langit Moyo yang gemerlap. Anak laki-laki ini begitu rentan, saya kira semacam itulah. Ia merindukan sosok ibunya yang kini berada di pulau seberang. Ia agak mengingatkan saya pada kakak laki-laki saya yang sangat manja pada ibu saya.
ohelterskelter.com moyo
Kopi dan laut

R tak bisa minum alkohol lagi. Ia sempat terserang penyakit lambung. Kini ia berharap bisa hidup sehat setelah berhenti kerja dari perusahaan tambang emas di barat Sumbawa. Ketika itu, dengan gaji yang cukup besar dan hiburan yang terbatas, ia menghabiskan uang untuk minuman keras. Kini ia masih harus menyelesaikan pendidikan kesehatan untuk menjadi pegawai tetap di Puskesmas Labuhan Aji.

Esok harinya ia kembali memperkenalkan saya kepada seorang pemuda yang wajahnya, entah mengapa, mengingatkan saya pada komedian asal Tiongkok. Ia adalah nakhoda kami siang ini. Zul namanya, dari Zulkarnain. Kami akan menyelam ke Takat Sagele, sebuah daratan yang timbul pada saat laut surut, biasanya saat petang. Kami memulai perjalanan dengan konyol, bayangkan saja, baru melaju perahu langsung menabrak perahu lain yang sedang berlabuh.

Takat Sagele adalah pulau karang kecil atau lebih tepatnya gundukan karang yang hancur karena ulah nelayan yang mengebom terumbu karang di sekitarnya untuk mencari ikan. Pengeboman ini sudah dilarang dan tak dilakukan lagi. Namun, serpihan-serpihan karang menumpuk di satu tempat karena arus gelombang laut dan membukit.

Saya bersorak norak melihat keindahan Takat Sagele. Gusung ini seperti dikelilingi gradasi biru tua, biru muda, dan hijau. Saya langsung melompat dari perahu. Rasanya sungguh menakjubkan karena berada di tengah lautan lepas. R lebih dulu meluncur ke air, saya mengikutinya. Area penyelaman di sekitar Takat Sagele tidak terlalu dalam, dua meter saja. Tapi, arusnya cukup kencang. Walaupun karang-karangnya hancur, tapi ikannya beragam. Menyelamlah ke palung yang lebih dalam, dijamin terumbu karang yang subur dan aneka biota laut lainnya akan terlihat.

ohelterskelter.com moyo
Zul sedang bertugas
ohelterskelter.com moyo sumbawa
Tanpa filter di Takat Sagele

Takat Sagele juga terkenal sebagai tempat romantis untuk menikmati matahari tenggelam. Tapi, Zul si tukang perahu ceroboh, mengajak kami ke Crocodile’s Head. Sebuah tebing yang termasuk dalam kawasan Amanwana. Dari tebing ini kita bisa menyaksikan keindahan matahari tenggelam. Sebelum mendaki, saya memandangi pantai yang jernih dengan terumbu karangnya. Dan seperti yang saya duga, Zul malah melompat ke arah karang saat turun dan kakinya tergores. Betisnya mengucurkan darah. Saya ingin tertawa, tapi tak enak.

Di tebing Crocodile’s Head terdapat meja dan kursi dari sebilah kayu. Kami duduk menanti senja. Saya memandangi sekeliling tebing, terlihat tenda-tenda di pinggir pantai dan kapal-kapal Amanwana di kejauhan. Saya memilih kembali mengamati terumbu karang yang bagaikan dipajang dalam akuarium raksasa. Pun begitu, kami tiba-tiba nestapa. Petang berangsur mendung dan matahari tenggelam tak sempurna tertutup awan.

Kami kembali ke kapal dalam diam. Ini adalah malam terakhir saya di Moyo. Tak terasa sudah dua malam saya habiskan di Moyo, singkat memang.

Saya akan menyusul ke Jakarta untuk mencari ibu saya, bisik R saat mengantar kami pulang ke Sumbawa Besar.

“R kawan saya, bukan pemandu.”

Teman minum kopi saya terdiam, ia kembali berceloteh bahwa temannya kecewa karena ditipu.

Kalau temannya itu tahu ongkosnya cuma dua puluh lima ribu, bukan seratus ribu, kenapa ia tak protes langsung kepada Ryan? Saya mengatakannya dalam hati.

Malam semakin larut dan kopi semakin dingin.

ohelterskelter.com moyo
Senja di Moyo

Photos: me & @tamagraph