8Sudah tiga tahun berlalu semenjak saya mengunjungi Jepang, menikmati musim dingin selama hampir dua minggu di Hokkaido. Rencana untuk kembali ke Jepang sudah tebersit lama. Siapa sangka, Tobu Railway melalui Japon Magazine mengundang saya untuk berkunjung ke Tokyo dan Tochigi. Sebuah kesempatan yang tak saya sia-siakan.
Minggu malam, 27 Januari 2019, saya dan Ola pun bertolak ke Jepang. Saya bertemu Ola sebelumnya pada perjalanan ke Ngong Ping tahun lalu. Ini jadi kunjugan pertamanya ke Jepang. Kami sama-sama gembira bisa memenuhi undangan Tobu. Seperti yang tercantum dalam jadwal perjalanan, kami akan menjajal Tokyo Skytree terlebih dulu.
Pesawat mendarat sekitar pukul enam pagi, supir jemputan sudah menanti di gerbang kedatangan. Sanada-san yang berjas hitam rapi memegang kertas bertuliskan nama kami. Dengan ramah ia menyapa selamat pagi dengan bahasa Inggris lumayan bagus. Saya meminta izin untuk menukarkan kupon JR Pass.
Sejam kemudian kami tiba di Tobu Levant Hotel yang berada di Sumida, berhadapan dengan Tokyo Skytree. Kami menitipkan koper karena belum waktunya check-in, kemudian memutuskan berkeliling. Hotel bersebelahan dengan Stasiun Kinshicho, yang berarti berjejer pusat perbelanjaan untuk disambangi. Mulai dari Zara sampai Uniqlo, lantas kami singgah ke Family Mart dan membeli makanan wajib di Jepang: onigiri. Nasi kepal rasa tuna mayones.
Memboyong dua potong onigiri dan sebotol kopi hitam panas, kami bersantai di Kinshi Park sambil membunuh angin dingin empat derajat. Pukul dua belas kami kembali ke hotel dan bersiap-siap untuk bertandang ke Tokyo Skytree.
Tokyo Skytree, Menara Pemancar Simbol Harmonis Tradisi dan Modernitas
Memadukan desain tradisional dan neo-futuristik, Tokyo Skytree mewarnai dirinya dengan nuansa putih dan biru indigo yang disebut aijiro dalam bahasa Jepang. Menara pemancar tertinggi di dunia ini sengaja dibangun setinggi 634 meter; yang dalam bahasa Jepang kuno disebut “mu-sa-shi.” Musashi adalah nama provinsi di Jepang pada masa lalu, yang menaungi area Tokyo, Saitama, dan sebagian Kanagawa.
Bagaimanapun, Tokyo Skytree memang berada di Musashi. Konsep ini bertujuan agar masyarakat Jepang selalu mengingat sejarahnya.
Selain sebagai pemancar transmisi digital–menggantikan fungsi yang dahulu dipegang Tokyo Tower, Tokyo Skytree juga berguna sebagai menara antibencana apabila terjadi bencana alam. Hebat betul. Karena kecantikan desainnya pula, kini Tokyo Skytree jadi atraksi utama wisata di Tokyo. Setiap hari menara ini tak pernah sepi, apalagi di bawahnya terdapat pusat perbelanjaan bernama Tokyo Solamachi.
Kami berangkat pukul empat sore dengan taksi, saya langsung terpukau melihat Tokyo Skytree. Begitu pula dua kawan kami dari Filipina, Sean dan Boom dari Our Awesome Planet. Kami juga ditemani pemandu lokal, Yumi, yang belakangan ketahuan berusia 61 tahun. Ia terlihat awet muda.
Sesampainya di Tokyo Skytree, kami langsung diberi Fast Skytree Ticket. Satu jenis tiket lagi bernama Same-day Ticket. Keduanya sebaiknya bisa dibeli di lokasi. Bedanya, Fast Skytree Ticket bisa mendapatkan akses lebih cepat menuju puncak, yaitu Tembo Deck di ketinggian 350 meter dan Tembo Galleria 450 meter. Untuk tiket Combo mengakses kedua tempat itu berharga 4.000 yen. Informasi lengkapnya bisa dicek di sini.
Asyiknya datang sore hari adalah bisa menikmati matahari terbenam yang amat cantik dari ketinggian, ini mengingatkan saya saat berkunjung ke Rockefeller Center di New York. Selain menikmati panorama, pengunjung juga bisa menjajal fasilitas yang tersedia, dari photo booth sampai permainan interaktif, dan restoran romantis. Dua jam kami habiskan berebut posisi dengan pengunjung yang sedang ramai-ramainya.
Dengan lift supercepat, kami naik ke Tembo Galleria dan melihat panorama dengan lebih santai karena pengunjung lebih sepi. Saat itu juga sedang berlangsung pameran anime Fantasy World. Pengunjung bisa membeli suvenirnya.
Tobu World Square, Miniatur Dunia di Tengah Alam Cantik Nikko
Pukul delapan pagi keesokan harinya kami sudah berada di kompartemen Tobu SPACIA Limited Express, bertolak dari Stasiun Asakusa. Ya, selain kereta dan hotel, kami akan mengunjungi properti Tobu Railway lainnya, Tobu World Square. Sebuah taman hiburan yang menampilkan miniatur bangunan bersejarah dari seluruh dunia.
Dua jam perjalanan dengan kompartemen pribadi terasa seperti adegan dalam film Harry Potter, seru sekali. Rute kereta ini menuju Kinugawa Onsen, tetapi kami turun di Stasiun Tobu World Square, di seberang taman yang akan kami kunjungi. Lebih serunya lagi, salju turun tepat saat kereta mendarat. Ini salju pertama bagi Ola, ia pun kegirangan.
Suhu di Nikko jauh lebih dingin daripada Tokyo, sambil memasuki area taman; petugas memberikan heat pack yang bisa ditempelkan di punggung sebagai penghangat. Namun, sebelum memulai penjelajahan, hal utama yang harus disampaikan tentang Tobu World Square adalah fasilitasnya yang ramah muslim. Tersedia musala terpisah antara laki-laki dan perempuan, dengan area wudu yang sangat bersih. Kemudian, di dalam juga terdapat restoran dengan menu halal.
Makan siang kami amat nikmat, Yuba Soba Set Halal dengan hidangan utama Soba ditemani Tempura Jamur dan Ubi dan Yuba, sejenis kembang tahu khas Tochigi. Sobanya sangat spesial, dengan kuah miso yang lezat, dan tempura yang renyah. Yuba dimasak dengan kuah miso yang juga tak kalah lezat. Patut dicoba apabila bermain ke Tobu World Square, tetapi pesan dahulu sebelum waktunya makan, ya. Menu halal lainnya bisa dicek di sini.
Ternyata, dua jam rasanya tak cukup untuk mengelilingi semua zona di Tobu World Square, yang terdiri dari zona Modern Japan, America, Egypt, Europe, Asia, dan juga Japan. Sayangnya, di Asia Zone belum terdapat bangunan bersejarah dari Indonesia. Saya berharap ke depannya akan dibangun Candi Borobudur, apalagi Angkor Wat juga sudah ditampilkan.
Tiket masuk ke taman ini seharga 2.800 yen dan untuk anak-anak setengahnya saja. Tobu World Square buka sepanjang tahun pada pukul 09.00-17.00. Tidak masalah apabila ingin pergi dan pulang dari Tokyo, tapi jika menginap, bisa juga sekaligus main ke Edo Wonderland yang berjarak sepuluh menit saja dengan mobil.
Lalu apa bangunan favorit saya di Tobu World Square? Tentu saja Piramida dan Kuil Akropolis di Athena. Intinya semua bangunan yang belum saya kunjungi langsung bikin penasaran. Apalagi skalanya 1:25 dengan bangunan asli, jadi cukup besar untuk dipandangi. Total 102 bangunan terdapat di sini, dengan 47 di antaranay merupakan World Heritage.
Paling uniknya lagi, beberapa bangunan bisa dinyalakan dengan memasukkan kupon yang didapat saat membeli tiket. Dengan begitu kita bisa mendengar bunyi atau melihat gerakan atau aktivitas di bangunan tersebut. Sebagai contoh, kita bisa melihat miniatur penari yang menari di Kuil Gyongbokgung di Korea. Seru sekali, bukan? Bagaimana, tertarik untuk mengunjungi Tobu World Square?