Seorang teman pernah berceletuk, “Bagaimana hubungan kalian sekarang? Sudah terasa hambar, kan? Pasti mulai bosan, kan!” lalu tertawa-tawa keasyikan.
Pertanyaan itu tentu sangat serius, apalagi disampaikan oleh Teddy, teman saya dari The Dusty Sneakers, yang punya hobi menghancurkan citra teman sendiri. Bualan itu terlontar begitu saya dan Sadewa memasuki rumahnya suatu malam, seperti biasa ketika kami datang untuk mencari yang hangat-hangat. Vira dan Diyan, teman kami yang satu menara dengannya, juga hadir untuk acara kumpul-kumpul tak resmi di Apartemen Rasuna itu. Dan, tentu saja, sebagai teman yang baik, saya harus menghargai persahabatan kami. Maka, pertanyaan itu saya tanggapi dengan tawa saja. Toh, ia tak betul-betul butuh jawabannya.
Teddy pun saya maafkan karena ia menyajikan teh chocolate mint yang begitu nikmat dari koleksi teh serbaenak milik Maesy, yang malam itu berhasil menyelamatkan diri lebih dulu ke kamar. Tinggallah kami, berlima mengobrol ngalor-ngidul, yang penting tetap hangat dan membuat mata melek. Biasanya, selain menyesap teh hangat dan memperbincangkan hal hangat cenderung panas dan bombastis—atau sebaliknya remeh saja, Teddy juga akan menyetel rangkaian lagu yang mendukung suasana, bisa Jazz, bisa Country, bisa juga lawas. Semau-maunya dialah. Terkadang Sadewa juga berebut peran sebagai operator musik.
Begitulah, sering kali malam-malam itu menjadi lebih bergairah hingga saya dan Sadewa lupa waktu, pulang tengah malam dengan terkantuk-kantuk. Pernah juga kami harus menginap karena telanjur teler–bukan dalam artian mabuk, dengan obrolan seru malam harinya. Namun, saya sangat bersyukur. Paginya saya terbangun di sofa, menatap cahaya jingga menyilaukan yang berpendar dari jendela besar yang tak ditutup gordennya. Wah, rupa-rupanya matahari terbit dari lantai tiga puluh dua ini boleh juga, pikir saya, lalu terlelap kembali.
Mungkin saat ini saya sedang sentimental. Sadewa pulang kampung. Maesy ke London untuk urusan pekerjaan. Teddy juga pulang kampung esok hari. Saya masih harus masuk kantor sebelum libur Idul Fitri selama satu minggu. Saya bingung akan ke mana, biaya pulang kampung ke Medan terasa begitu mencekik. Sempat ingin ke Bali atau Lombok, harganya tak semencekik ke Medan, tetapi Gunung Raung sedang asyik mahsyuk membuat jadwal penerbangan kacau balau.
Dan omong-omong soal Bali, saya teringat perjalanan ke sana akhir tahun lalu, tepat menjelang tahun baru. Semenjak menginjak Bali pertama kalinya pada tahun 2009, saya memang senang betul dengan laut dan pantainya. Kuta, Sanur, Dreamland, Padang-Padang. Namun, ketika berkunjung ke Lombok dan menemukan ketenangan di tengah hiruk-pikuk Gili Trawangan, saya langsung menyingkirkan Bali seperti seorang perempuan mendepak mantan pacarnya yang tak asyik lagi.
Tahun-tahun berikutnya pun saya lebih sering ke Lombok, di Bali hanya singgah untuk terbang ke Jakarta atau menginap semalam sebelum menyeberangi Selat Lombok. Saya tak terlalu tertarik lagi dengan pantai-pantainya, walaupun saya lihat banyak teman yang memamerkan foto mereka di Pantai Pandawa dan Petitenget, yang baru-baru ini semakin meramaikan linimasa sosial media.
Ini memang pemikiran sempit karena saya belum betul-betul menjelajahi Bali seutuhnya. Buktinya, ketika Teddy bercerita tentang festival yang baru ia ketahui sudah berlangsung bertahun-tahun di kampungnya, Festival Buleleng, saya penasaran setengah mati. Bagaimana tidak, ia menggembar-gemborkan tentang group band Bali dan artis lokal yang tampil di acara itu, tentang pertunjukan-pertunjukan seni demi misi promosi, tentang judi mong-mongan yang digilai orang sana, bahkan oleh anak kecil.
Tampaknya, ini memang bukan soal gairah semata. Bukan karena saya tak merasa bergairah lagi terhadap pantai-pantai di Bali, dan secara umum terhadap Bali. Mungkin saya harus menemukan hal baru di Bali. Menemukan ketenangan seperti yang saya rasakan di Lombok. Dan, hal itu saya temukan di Ubud.
***
Saya sudah sering mendengar tentang Ubud. Tentang teman-teman saya yang beruntung yang dapat mengikuti Ubud Writers & Readers Festival. Tentang Ubud Village Jazz Festival. Dan, yang terlalu hipster, tentang film Eat, Pray, Love yang bercerita tentang Elizabeth Gilbert yang menemukan cintanya di Ubud.
Saya tak harus bermeditasi atau yoga atau menemukan cinta di Ubud untuk jatuh cinta pada desa ini. Saya tak harus memuja-muji Ubud dengan norak. Ubud adalah Ubud. Ya sudah. Sudah begitu keadaannya. Sudah membuat saya bergairah begitu pertama kali melewati jalan kecilnya yang dipenuhi toko dan kafetaria. Gang sempit berkelok-keloknya yang ternyata mengejutkan saya dengan sawah hijau terhampar.
Masih banyak tempat di Indonesia yang memiliki sawah tak kalah hijau dan tak kalah cantik. Masih banyak tempat di Indonesia yang menawarkan pengalaman yoga dan membuat gerabah atau perak dan menari yang tak kalah seru. Namun, semua itu memiliki kombinasi yang pas di Ubud. Pas membuat saya merasa senang dan santai saat menyusuri jalan-jalannya untuk mencari kopi ataupun makan malam.
Saya pun menemukan penginapan yang tenang di Jalan Abangan, Gusti Garden 2 Guesthouse. Penginapan ini sempat membuat saya tersesat hingga jalan buntu seukuran satu motor dengan parit lebar yang siap menyambut bila kita lengah. Saya sebenarnya juga tak yakin benar dengan jalannya, tetapi menurut saja pada Google Maps. Setelah tanya sana-sini, akhirnya ketemu, berada di gang sempit tak jauh dari jalan buntu tadi. Bedanya, di depannya terhampar sawah dan bebek. Dan rupanya wilayah ini termasuk rute jalan kaki tepi sawah di Ubud yang diminati turis asing.
Gusti Garden 2 bergaya khas rumah adat Bali. Di pintu masuknya kita disambut oleh pura kecil yang dipenuhi sesajian bebungaan. Kolam renang mungil menjadi nilai tambah bagi penginapan yang asri ini. Kamarnya nyaman, dengan nuansa kayu dan teras menghadap sawah. Sarapan panekuk dengan selai stroberi dan nanas dan buah-buahan tropis serta kopi dan teh hangat siap menemani duduk santai di teras.
Kita bisa leyeh-leyeh saja di tempat tidur dengan jendela terbuka, memandangi langit dan menikmati udara Ubud yang sejuk. Kamar di sini tak memiliki pendingin udara, dan memang tak perlu. Sementara turis-turis asing mulai menyusuri jalan di tepi sawah, saya memilih untuk menikmati hari tanpa tujuan.
Siangnya, dengan sepeda motor yang disewa jauh-jauh dari Kuta, saya dan Sadewa menuju Pasar Ubud yang berjarak sepuluh menit. Motor diparkir lalu kami berjalan kaki. Dari Jalan Raya Ubud ke Jalan Hanoman, lalu Dewi Sita, Wenara Wana, Suweta, dan kembali ke Jalan Sriwedari. Saya seperti sedang berputar-putar di dalam kisah Ramayana. Untunglah tak bertemu Rahwana.
Di Jalan Sriwedari saya menemukan dua tempat yang saya sukai. Pertama adalah Dapur Bunda. Restoran yang bergaya shabby dan retro ini menyajikan menu masakan rumahan, dengan pilihan nasi putih atau nasi merah. Porsinya pas dan saya suka masakannya yang bercita rasa Bali. Apalagi interiornya yang bernuansa hijau mint, yang membuat saya kegatalan minta dipotret di setiap sudut.
Setelah puas mengisi perut, kami menyusuri Sriwedari lagi dan menemukan tempat kedua: Seniman Cold Brew Bar. Yang memproklamirkan diri sebagai “The First Cold Brew Bar in Indonesia.” Saya percaya saja. Selain kopi, di sini juga tersedia teh cold brew. Karena sedang berada di Bali, saya memesan Bali Kintamani Black Cold Brew Ice dan Kintamani & Almond Milk Cold Brew.
Barista yang melayani kami siang itu, Bli Alit, pun menggerakkan tangannya dengan lincah. Menuangkan kopi ke dalam shaker, lalu mengocok-ngocoknya selama beberapa menit dan menuangkannya ke gelas. Rasanya sangat nikmat, cold brew buatan Teddy masih di bawahnya (kau harus belajar lagi, Ted!). Bli Alit dulu berprofesi sebagai koki restoran, tetapi berpaling ke dunia kopi karena menurutnya lebih menantang. “Untuk membuat kopi yang tepat, kita harus pandai-pandai memanipulasi rasa, mulai dari keasaman hingga kemanisannya,” ujarnya. Ternyata, Bli Alit orang yang manipulatif. Kalian para perempuan harus waspada!
Saya juga sempat bertemu sang pemilik kedai kopi yang gayanya memang seperti seniman: nyentrik! Pria bernama David, asal Australia, ini mendirikan Seniman Coffee dan Seniman Cold Brew Bar, yang posisinya berseberangan, berdua dengan temannya, yang saya lupa namanya. Uniknya, Seniman Coffee juga memiliki jasa coffee roastery yang diberi nama Tetap Happy. Ya, saya juga tetap happy kalau melihat wajah jenaka David!
Kami pun pulang dengan perut kenyang dan hati riang sore itu. Tak susah-susah amat membuat saya bergairah atau merasa tenang dan senang, cukup ajak makan enak, menyesap kopi nikmat, dan jalan kaki menyusuri toko-toko seni dan kerajinan unik, dijamin saya takkan menggerutu karena lelah atau bosan.
Photos: me & @tamagraph